Shrekking, tren pacaran yang toksik?
Istilah shrekking beberapa waktu belakangan menjadi tren berpacaran yang viral di media sosial. Istilah itu sama sekali bukan pujian.
Menurut penulis Bruce Y. Lee dalam Psychology Today, shrekking merujuk pada praktik sengaja berpacaran dengan seseorang yang dianggap di bawah standar kita, dengan tujuan agar kita bisa memegang kendali dalam hubungan. Harapannya, pasangan yang dianggap kurang menarik itu bisa memujanya dan tidak menyakitinya.
Praktik lama
Istilah yang populer di kalangan generasi Z ini terinspirasi dari Shrek, karakter utama dalam film animasi DreamWorks. Shrek digambarkan sebagai raksasa berkulit hijau yang berpenampilan tidak menarik sama sekali. Di awal cerita, sifatnya pun kurang menyenangkan.
“Kunci di balik perilaku ini adalah pasangan akan merasa sangat beruntung memiliki Anda, sehingga dia akan terus berusaha keras untuk membuat Anda bahagia,” tulis Lee.
Menurut New York Times, praktik seperti ini bukan hal baru. Hanya saja, dahulu jarang diungkapkan secara terang-terangan, atau lebih sering merupakan penilaian dari orang lain terhadap pasangan yang tampak tidak seimbang.
“Lucunya, bahasa Inggris sering kali menciptakan kata dan istilah baru untuk menggambarkan konsep yang sebenarnya sudah ada sejak lama,” kata konsultan kencan dan pemerhati generasi Z Rae Weiss kepada Newsweek.
Fakta kalau tren ini viral di media sosial, menurut Weiss, menunjukkan banyak orang merasa terhubung dengan fenomena shrekking.
“Saya rasa praktik ini kembali populer, dan sekarang memiliki istilah khusus, karena semakin banyak orang merasa frustrasi dengan norma kencan modern, seperti ghosting dan hubungan yang tidak jelas,” ujar Weiss.
Konsultan kencan Alexis Germany Fox mengatakan, fenomena ini bukan bentuk perlawanan terhadap “trophy dating”—berkencan dengan pasangan yang sangat menarik secara fisik. “Ini sebenarnya evolusi dari pepatah lama bahwa perempuan sebaiknya bersama laki-laki yang lebih mencintai mereka,” kata Fox kepada Newsweek.
Fox menjelaskan, banyak orang yang salah memahami konsep shrekking. “Shrekking bukan tentang tiba-tiba menemukan seseorang yang dianggap tidak menarik dan menyadari kalau mereka bisa lebih mencintai Anda,” ucap Fox. “Ini sebenarnya tentang melindungi diri sendiri.”
Menurut Fox, meski perempuan generasi Z sering berbicara tentang kepercayaan diri dan tak peduli pada pendapat orang lain, tetapi mereka tetap takut dihakimi. “Kalau mereka terang-terangan berpacaran dengan pria yang dianggap 'kurang menarik' oleh teman-temannya, risiko mereka terus-menerus dinilai negatif,” tuturnya.
Dengan membingkai hubungan itu dan mengakui dia bertemu dengan pria yang jelek karena akan memperlakukannya lebih baik, mereka membalik persepsi orang lain.
“Sekarang, yang tadinya bisa dilihat sebagai rasa tidak aman justru tampak seperti pilihan sadar yang keren dan melawan arus,” kata Fox.
Sementara itu, profesor madya di James Madison University, Jennie Rosier mengatakan, media sosial dan budaya aplikasi kencan telah memperkuat hierarki penampilan. Hal ini bisa membuat orang yang sangat menarik merasa selalu menjadi pusat perhatian sekaligus merasa sangat rentan.
Lantas, menurut Rosier, sebagian perempuan akhirnya mengembangkan strategi perlindungan. Setelah berkali-kali didekati hanya karena penampilan atau mengalami penolakan dan pengabaian, mereka mungkin mulai mencari hubungan yang memberikan lebih banyak keyakinan dan keamanan emosional. Dia juga menyoroti fokus generasi Z pada kesehatan mental dan batasan dalam hubungan.
“Banyak orang bereksperimen dengan strategi kencan yang menukar daya tarik konvensional dengan stabilitas dan risiko sakit hati yang lebih rendah,” ujar Rosier kepada Newsweek.
Dampak buruk shrekking
Meski begitu, perilaku shrekking punya konsekuensi. Dikutip dari Forbes, salah satu risiko shrekking adalah dapat secara diam-diam mendistorsi cara orang berinteraksi dengan ketertarikan dan komitmen.
“Ketika salah satu pasangan merasa seolah-olah mereka ‘di atas’ pasangannya, hal itu dapat menciptakan pola pikir di mana kendali dan validasi menjadi lebih penting daripada kesetiaan sejati,” tulis Forbes.
“Dalam kasus ini, perasaan berkuasa dalam hubungan bahkan dapat meluap menjadi perilaku perselingkuhan.”
Selain itu, shrekking bisa mendorong dominasi dan kontrol. Maka, berasumsi kalau seseorang berada di luar jangkauan pasangan, secara otomatis dapat menciptakan rasa kontrol yang merendahkan, di mana seseorang hampir mengharapkan orang lain untuk berterima kasih atau terlalu akomodatif terhadap pasangan.
“Pada awalnya, rasa kendali ini mungkin terasa memberdayakan dengan memberi Anda ilusi keamanan dan kepercayaan diri, tetapi perlahan-lahan dapat bergeser menjadi bentuk kendali hubungan yang berbahaya,” tulis Forbes.
Bruce Y. Lee mengingatkan, shrekking berbeda dengan berkompromi, meluangkan waktu untuk mengenal seseorang, atau melihat kebaikan dalam diri seseorang. Dalam shrekking, seseorang sengaja bertemu dengan orang lain yang dianggap lebih rendah, dengan tujuan punya dominasi lebih dalam hubungan.
Dengan demikian, seseorang merasa tak perlu berusaha keras, bisa menyembunyikan kekurangan, dan tak khawatir bakal ditinggalkan. “Pasangan dianggap akan terus bersyukur memiliki Anda, sehingga posisinya selalu ‘mengejar’, sementara Anda ‘dikejar’,” ujar Lee dalam Psychology Today.
Lebih lanjut, Lee menjelaskan shrekking didasari anggapan kalau dunia kencan punya hierarki yang jelas dan berlaku sama untuk semua orang. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu.
Menentukan “peringkat” seseorang dalam dunia kencan, kata Lee, hampir mustahil karena standar setiap orang berbeda. Ada yang lebih menekankan penampilan, penghasilan, latar belakang keluarga, jenis pekerjaan, atau popularitas. Ada juga yang menilai dari hal-hal unik. Belum lagi faktor yang lebih abstrak, seperti kepribadian dan nilai hidup.
“Semua itu sangat subjektif—seseorang yang dianggap menarik oleh satu orang, bisa terlihat biasa saja di mata orang lain,” tulis Lee.
Asumsi lainnya dalam shrekking adalah setiap orang tahu posisi mereka dalam “hierarki” hubungan dan bersedia menerimanya. Seolah-olah, jika seseorang menganggap pasangannya berada “di bawah standar”, mereka hanya akan mengiyakan dan menerima begitu saja.
“Padahal, kenyataannya jauh lebih rumit. Banyak orang tidak pandai menilai diri sendiri. Ada yang melebih-lebihkan daya tariknya. Ada pula yang ‘meremehkan’ diri sendiri, meski sebenarnya sangat menarik,” kata Lee.
Di samping itu, posisi seseorang tak bersifat permanen. Seiring waktu, banyak yang bisa berubah, seperti penampilan, kekayaan, koneksi sosial, atau pekerjaan. Saat hubungan semakin dalam, hal-hal yang awalnya terasa penting sering kali tergantikan dengan hal yang lebih mendasar. Misalnya, perut rata, gaji besar, atau pekerjaan bergengsi, mungkin menarik di awal, tetapi tak cukup untuk mempertahankan hubungan jangka panjang.
“Inilah risiko besar dari shrekking, posisi Anda yang awalnya ‘di atas’ bisa tiba-tiba berubah. Bisa saja ‘nilai’ Anda turun, sementara pasangan justru ‘naik’,” tulis Lee.
“Perubahan ini bisa mengguncang keseimbangan dalam hubungan. Jika hubungan sejak awal hanya bertumpu pada ketimpangan kekuatan, fondasinya mudah runtuh ketika situasi berbalik.”


