

Karma baik untuk diri sendiri, karma buruk untuk orang lain

Banyak orang di seluruh dunia percaya pada karma—gagasan bahwa keadilan Tuhan akan menghukum orang yang berbuat jahat dan memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik. Namun, kepercayaan itu berlaku berbeda bagi diri sendiri dan orang lain, menurut penelitian yang terbit baru-baru ini di jurnal Psychology of Religian and Spirituality bertajuk “Karma rewards me and punishes you: Self-other divergences in karma beliefs”.
Cindel White dari Universitas York dan rekan-rekannya berhipotesis bahwa keinginan kita untuk percaya pada dunia yang adil—dunia tempat perbuatan buruk dihukum—mendorong kita untuk berfokus pada hukum karma ketika memikirkan tentang bagaimana karma memengaruhi orang lain.
Namun, dikutip dari situs American Psychological Association, motivasi psikologis yang bersaing—bias positif terhadap diri sendiri atau keinginan untuk melihat diri kita sebagai orang baik—berarti kita lebih cenderung berfokus pada bukti karma baik dalam kehidupan sendiri.
Konsep karma berasal dari tradisi agama Buddha dan Hindu. Ada banyak variasi dalam cara karma dipraktikkan di berbagai kelompok. Maka, penelitian ini mengambil sampel peserta dari Amerika Serikat, Singapura, dan India untuk mendapatkan berbagai latar belakang budaya dan agama.
Para peneliti melakukan beberapa eksperimen terhadap lebih dari 2.000 parsitipan, di mana mereka meminta orang untuk mengingat dan menulis tentang peristiwa karma dalam kehidupan sendiri atau orang lain.
Dalam eksperimen pertama, para peneliti menganalisis data dari 478 partisipan di Amerika Serikat, yang semuanya menyatakan percaya pada karma. Mereka berasal dari berbagai latar belakang agama—29% beragama Kristen, 36% Buddha, 22% Hindu, 4% agama lain, dan 15% ateis.
Peserta diminta untuk menulis tentang peristiwa yang dipercaya karma yang terjadi pada sendiri atau orang lain. Pembuat kode yang terlatih kemudian mengevaluasi setiap respons untuk menentukan apakah itu tentang peristiwa karma positif atau negatif, dan apakah terjadi juga pada peserta atau orang lain.
Mayoritas peserta (86%) memilih menulis tentang sesuatu yang terjadi pada diri mereka sendiri. Sebagian besar dari mereka (59%) menulis tentang pengalaman positif yang disebabkan karma baik. Sebaliknya, dari 14% peserta yang menulis tentang pengalaman karma yang terjadi pada orang lain, 92% menulis sesuatu yang negatif, seperti kemalangan menimpa pasangan yang berselingkuh, teman yang berutang, perundungan, dan rekan kerja yang buruk.
Dalam eksperimen kedua, lebih dari 1.200 peserta secara acak ditugaskan menulis tentang sesuatu yang terjadi pada diri mereka atau orang lain. Percobaan ini melibatkan peserta di Amerika Serikat serta sampel penganut Buddha di Singapura dan Hindu di India.
Mayoritas (69%) peserta yang ditugaskan menulis tentang diri sendiri menulis soal pengalaman karma positif, sementara hanya 18% dari mereka yang ditugaskan menulis tentang orang lain menulis soal pengalaman positif.
Analisis komputer terhadap sentimen kata-kata yang digunakan peserta juga menemukan, cerita tersebut cenderung memiliki sentimen positif ketika orang menulis peristiwa karma dalam kehidupan mereka sendiri.
“Kami menemukan pola yang sangat mirip di berbagai konteks budaya, termasuk sampel Barat, di mana kami tahu orang-orang sering berpikir tentang diri mereka sendiri dengan cara yang sangat positif, dan sampel dari negara-negara Asia di mana orang-orang cenderung lebih kritis terhadap diri sendiri,” kata Cindel White dalam situs American Psychological Association.
“Di semua negara, peserta cenderung mengatakan orang lain menghadapi hukuman karma, sementara mereka menerima imbalan karma.”
Secara keseluruhan, kata White, penelitian menunjukkan orang menerapkan kepercayaan supernatural secara strategis untuk membantu mereka memahami dan merasa senang dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
“Memikirkan karma memungkinkan orang untuk mengambil keuntungan pribadi dan merasa bangga atas hal-hal baik yang terjadi pada mereka, bahkan ketika tidak jelas apa yang mereka lakukan untuk menciptakan hasil yang baik, tetapi hal itu juga memungkinkan orang untuk melihat penderitaan orang lain sebagai pembalasan yang dapat dibenarkan,” ucap White.
Menurut psikolog riset di Consumer Financial Protection Bureau, Patrick Heck, dilansir dari CNN, studi ini mengidentifikasi kecenderungan untuk melihat diri sendiri sebagai pantas mendapatkan keberuntungan, bahkan tanpa adanya penyebab langsung, yang merupakan bentuk attribution bias.
“Attribution theory dan attribution bias adalah gagasan umum bahwa orang mengaitkan hal-hal tertentu yang terjadi pada mereka atau orang lain dengan cara yang membuat mereka merasa baik tentang diri mereka sendiri,” ujar Heck kepada CNN.
White menjelaskan, dalam beberapa kasus, attribution bias berfungsi untuk meningkatkan harga diri, yang membantu orang menghadapi tantangan dalam hidup. Namun, di waktu yang lain, itu bisa menyesatkan orang ketika mereka gagal mengenali kontribusi orang lain atau faktor eksternal dari kesuksesan.
“Di sisi lain, keyakinan bahwa penderitaan orang lain adalah bentuk hukuman berasal dari kebutuhan untuk percaya bahwa dunia ini adil. Keyakinan ini dapat membantu orang memahami konpleksitas kehidupan,” ujar Heck.
Di sisi lain, keyakinan bahwa penderitaan orang lain adalah bentuk hukuman berasal dari kebutuhan untuk percaya bahwa dunia ini adil. Keyakinan ini dapat membantu orang memahami kompleksitas kehidupan, kata Heck.
“Saya pikir, karma adalah cara yang dirancang dengan baik yang mungkin telah menemukan jalannya ke dalam agama dan sistem kepercayaan lainnya.”


Tag Terkait
Berita Terkait
Keuntungan jadi orang introver
Kenali lebih jauh inner child kita
Letologika: Ingat muka, lupa nama
Apa penyebab hilangnya empati?

