close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak kembar. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi anak kembar. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 29 Agustus 2025 19:10

Kenapa banyak keluarga yang anak-anaknya semua laki-laki atau semua perempuan?

Peluang punya anak laki-laki atau perempuan ternyata tak sesederhana lempar koin. Riset terbaru ungkap faktor biologis dan preferensi orang tua.
swipe

Secara teori, punya anak itu sesederhana lempar koin: peluangnya 50% laki-laki, 50% perempuan. Tetapi, kenyataan di banyak keluarga tak sesederhana itu. Ada keluarga yang semua anaknya laki-laki, atau justru semuanya perempuan—dan ini muncul jauh lebih sering dibanding sekadar kebetulan statistik.

Riset terbaru yang terbit di Science Advances mencoba menjawab misteri ini. Dalam studi tersebut, para peneliti menganalisis data dari Nurses’ Health Study II dan III, penelitian jangka panjang yang melibatkan puluhan ribu perawat di AS. 

Data yang dihimpun bukan hanya jumlah anak yang mereka miliki, tetapi juga jarak antar-kehamilan. Dari 58.007 perempuan, lahir 146.064 anak—rata-rata 2,5 anak per keluarga. Hasilnya mengejutkan: jumlah keluarga dengan anak semua laki-laki atau semua perempuan jauh lebih tinggi dari sekadar “lempar koin”.

“Sejak kecil, saya selalu memperhatikan pola keluarga yang hanya punya anak laki-laki atau perempuan, dan bertanya-tanya, apakah ini murni kebetulan, atau ada dasar biologis di baliknya,” ujar Siwen Wang, peneliti di Harvard T.H. Chan School of Public Health, yang juga penulis studi ini, seperti dikutip dari National Geographic, Jumat (29/8). 

Pertanyaannya, mengapa bisa begitu? Apakah faktor biologis membuat sebagian orang tua lebih condong punya anak laki-laki atau perempuan? Atau justru faktor perilaku—misalnya orang tua terus mencoba hingga merasa komposisi anak mereka “lengkap”?

Apapun jawabannya, pola ini membuka jendela baru tentang betapa rumitnya kaitan antara biologi, perilaku, dan keputusan manusia soal reproduksi. “Data ini menunjukkan bahwa hasilnya tidak sepenuhnya acak,” kata Wang.

Kalau faktor biologis tak cukup menjelaskan, perilaku mungkin jadi kuncinya. Analisis lanjutan yang dipublikasikan dalam bentuk preprint menunjukkan bahwa preferensi orang tua terhadap jenis kelamin anak adalah pendorong utama.

“Ketika kita lihat keluarga dengan tiga anak atau lebih, pola itu makin jelas,” kata Judith Lok, ahli statistik di Boston University. “Bukan berarti prosesnya tidak acak. Tapi banyak orang tua akan terus mencoba sampai mereka punya dua gender sekaligus.”

Hal ini diamini oleh Marcos Huerta, ilmuwan data sekaligus astrofisikawan. Menurutnya, bahkan setelah penelitian mencoba menghapus bias—misalnya dengan mengabaikan anak terakhir atau keluarga yang jelas-jelas ‘mengoleksi’ gender—preferensi orang tua tetap kuat memengaruhi data.

Faktanya, preferensi ini bukan fenomena baru. Studi tahun 2023 melacak data sejak 1850 dan menemukan pola yang sama. Pada abad ke-19, keluarga 2 persen lebih mungkin punya anak ketiga bila dua anak pertamanya sejenis kelamin. Kini, angkanya melonjak jadi 6–7 persen.

“Ketika orang tua memulai dengan dua anak berjenis kelamin sama, mereka lebih cenderung menambah anak lagi,” jelas Todd Jones, ekonom dari Mississippi State University. “Dari luar terlihat seolah sebagian orang tua ‘berbakat’ punya anak laki-laki atau perempuan saja. Padahal murni karena preferensi punya kombinasi keduanya.”

Menariknya, preferensi ini bukan berarti satu gender lebih diutamakan. Baik keluarga dengan anak semua laki-laki maupun semua perempuan sama-sama cenderung “mencoba lagi”.

Ilustrasi keluarga. /Foto Pixabay

Biologi juga punya andil?

Meski preferensi jelas berperan, ada juga indikasi biologis yang membuat sebagian orang tua lebih sering punya anak dengan jenis kelamin tertentu. Secara global, misalnya, rasio kelahiran memang tidak seimbang: rata-rata lahir 105 bayi laki-laki untuk setiap 100 bayi perempuan.

Ada pula fenomena “efek prajurit pulang”—jumlah bayi laki-laki melonjak setelah perang besar. Namun, mengapa hal itu bisa terjadi masih jadi teka-teki.

Beberapa teori mencoba menjawab fenomena itu. Salah satunya ialah ihwal waktu pembuahan. Asumsinya, hubungan seksual yang terjadi lebih dekat ke masa ovulasi disebut-sebut meningkatkan peluang bayi laki-laki, meski buktinya belum konsisten.

Lalu ada yang mengaitkan dengan pH rahim. Lingkungan kimia dalam rahim diduga bisa memberi keuntungan pada sperma X (perempuan) atau Y (laki-laki), karena struktur dan daya tahannya berbeda.

Selain itu, ada yang mengaitkan dengan stres ibu. Tingginya hormon kortisol—penanda stres—dikaitkan dengan kecenderungan melahirkan anak perempuan, mungkin karena embrio laki-laki lebih rentan di kondisi penuh tekanan.

Lantas, ada juga teori tentang faktor ayah. Beberapa studi terbatas bahkan berhipotesis bahwa pria yang lebih tinggi, kaya, atau agresif cenderung lebih mungkin punya anak laki-laki. Namun, semua ini masih berupa potongan puzzle. Bukti yang ada sering kali kecil, tak konsisten, dan sulit direplikasi.

“Meneliti reproduksi manusia itu rumit, karena bukan hanya soal biologi, tapi juga perilaku,” ujar Wang. “Jumlah anak yang lahir sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan keinginan orang tua soal ukuran keluarga.”

Pada akhirnya, punya anak laki-laki atau perempuan memang tak sesederhana lempar koin. Preferensi orang tua untuk punya “pasangan lengkap” jelas memainkan peran, sementara biologi memberi bumbu tambahan yang misterinya belum tuntas.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan