close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi penderita gangguan kesehatan mental. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi penderita gangguan kesehatan mental. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 08 Oktober 2025 11:00

Kenapa ADHD kian marak di kalangan orang dewasa?

ADHD tak hanya dialami anak-anak. Riset menunjukkan jutaan orang dewasa baru menyadari mereka memiliki ADHD, dipicu faktor genetik, hormon, dan budaya digital yang memperpendek fokus.
swipe

Selama bertahun-tahun, banyak psikiater percaya bahwa anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas—yang lebih dikenal sebagai attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)—akan “sembuh” seiring usia. Namun, keyakinan itu kini mulai runtuh.

Data terbaru dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan kenyataan yang mengejutkan: sekitar 15,5 juta orang dewasa Amerika hidup dengan ADHD dan setengah di antaranya baru mengetahui diagnosis itu setelah dewasa. Artinya, gangguan ini bukanlah masa kecil yang terlewat, melainkan sesuatu yang tumbuh bersama seseorang, beradaptasi, lalu bersembunyi di balik kedewasaan.

“Anak dengan ADHD mungkin tak bisa duduk diam di kelas. Tapi versi dewasanya bisa jadi orang yang gelisah menunggu lampu hijau di jalan,” kata Jill RachBeisel, profesor psikologi di University of Maryland Medical Center, seperti dikutip dari National Geographic, Rabu (8/10).

Perbedaannya tipis—dari yang tampak tak terkendali menjadi yang diam-diam tak sabar.

ADHD pada orang dewasa sering tersamar. Mereka mungkin tampak berfungsi dengan baik, tapi di balik rutinitasnya, ada otak yang berjuang keras untuk tetap fokus, menahan dorongan bicara, atau melawan rasa bosan yang datang terlalu cepat. 

Gejala bisa ringan atau berat, tapi satu hal pasti: mereka sering kesulitan menyelesaikan tugas, bahkan yang tampak sederhana. “Ciri-ciri inatentif biasanya bertahan,” jelas Craig Surman, psikiater di Massachusetts General Hospital.

Lonjakan kasus ADHD dewasa sebagian besar disebabkan oleh kesadaran yang meningkat. Banyak orang yang dulu luput terdiagnosis kini mulai mencari bantuan. Sebagai gangguan neurodevelopmental, ADHD erat kaitannya dengan genetika, meski faktor lingkungan—seperti kondisi kehamilan—juga punya peran.

Namun, ada satu tersangka baru yang kini diperbincangkan: teknologi.

Kita hidup dalam dunia yang menuntut otak untuk bekerja tanpa jeda. Ponsel bergetar, layar menyala, notifikasi datang bergelombang. “Manusia kini didorong untuk multitasking, dan ini bisa mempersingkat rentang perhatian,” kata John Ratey, psikiater dari Harvard Medical School. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk acquired attention deficit—bukan ADHD bawaan, tapi “dilatih” oleh budaya digital yang terus menuntut perhatian instan.

Penelitian memang belum bulat. Tapi tanda-tandanya mengkhawatirkan. Sebuah studi di Psychology of Addictive Behaviors menemukan hubungan antara ADHD dan penggunaan berlebihan media sosial serta gim daring. Riset lain dari UCLA pada 2020 menunjukkan bahwa korelasi serupa muncul di semua kelompok usia, bukan hanya anak dan remaja.

“Selama ini, kami bertanya-tanya: apakah orang dengan ADHD lebih suka dunia digital karena sesuai dengan pola pikir mereka—atau justru dunia digitallah yang menumbuhkan gejala ADHD?” ujar Elias Aboujaoude, profesor klinis di Stanford University. 

Ia yakin keduanya saling memengaruhi: layar memperkuat perilaku impulsif, sementara otak yang mudah terdistraksi makin terikat pada layar.

Meski begitu, tidak semua sepakat. Lidia Zylowska, psikiater dari University of Minnesota, melihatnya dari sisi lain. “Budaya yang selalu aktif, terhubung lewat ponsel, membuat banyak orang merasa terpecah. Ini mungkin memperburuk ADHD yang sudah ada, atau melatih otak yang sehat menjadi mudah teralih,” katanya.

Faktor lain juga berperan. Perubahan hormon pada masa menstruasi atau menopause, misalnya, dapat memicu gejala ADHD laten pada perempuan. “Banyak perempuan yang tak pernah didiagnosis, malah diberi obat antidepresan atau antikecemasan, padahal yang mereka alami adalah ADHD,” kata Ratey.

ADHD pun jarang berdiri sendiri. Zylowska menyebutnya sebagai "pengembara yang selalu membawa rombongan". Stres, kurang tidur, efek samping obat, bahkan gangguan tiroid bisa meniru gejala serupa. Karena itu, diagnosis yang tepat jadi kunci. "Seperti demam, masalah fokus bisa muncul dari berbagai sebab," ujarnya.

Mark Stein, psikolog dari University of Washington, menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh. “Jangan menunggu. ADHD yang tidak ditangani bisa memperburuk gangguan lain,” katanya. Diagnosis yang tepat membuka jalan pada terapi—baik lewat obat, maupun terapi perilaku kognitif.

Ilustrasi penderita ADHD. /Foto Canva-AI generated content

Muncul sejak dini 

Menariknya, ketika seseorang akhirnya menerima diagnosis ADHD di usia dewasa, banyak yang menemukan bahwa gejalanya sebenarnya sudah ada sejak kecil. Guru, orang tua, bahkan mereka sendiri, mungkin hanya menganggapnya sebagai “anak yang pelupa” atau “mudah bosan”. 

Tapi seiring waktu, sistem yang dulu membantu—jadwal tetap, bimbingan orang tua, rutinitas sekolah—lenyap. Barulah kekacauan mulai terasa. “Mereka sadar harus bekerja dua atau tiga kali lebih keras untuk mencapai hasil yang sama,” kata RachBeisel.

Kabar baiknya, ADHD bisa diatasi. “Gangguan ini sangat bisa ditangani,” kata RachBeisel. Dengan kombinasi pengobatan dan terapi yang tepat, banyak pasien berhasil menemukan ritme baru dalam hidupnya.

Dan meski sering dipandang sebagai kelemahan, ADHD juga membawa anugerahnya sendiri. “Ada kreativitas, rasa ingin tahu, antusiasme, kesetiaan, dan fokus luar biasa ketika seseorang benar-benar tertarik pada sesuatu,” kata Ratey. 

Tantangannya, kata dia, adalah menemukan lingkungan yang bisa membuat otak ADHD bersinar: pekerjaan yang tepat, teman yang mendukung, dan pasangan yang memahami.

ADHD, pada akhirnya, bukan sekadar gangguan. Ia adalah cara otak bekerja—berbeda, tapi tidak kurang.


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan