close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bermimpi. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi bermimpi. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 23 Agustus 2025 18:07

Kenapa kita bermimpi? Tafsirnya bisa beda di tiap sudut dunia

Apa yang kita mimpikan erat kaitannya dengan tempat tinggal atau budaya setempat yang jadi tradisi turun-temurun.
swipe

Bayangkan dunia yang hanya kamu kunjungi saat mata terpejam. Sebuah lanskap tanpa batas, tempat logika jungkir balik. Satu menit kamu berjalan di hamparan padang bunga, menit berikutnya jatuh bebas dari tebing. Gigi tiba-tiba rontok tanpa alasan, atau seekor ular muncul begitu saja dari sudut mata.

Kita menghabiskan sepertiga hidup untuk tidur. Artinya, ada begitu banyak waktu bagi otak menciptakan jagat paralel: dunia mimpi. Tapi pertanyaannya, apakah mimpi sekadar bunga tidur, atau menyimpan makna yang lebih dalam? Jawabannya, ternyata bergantung pada siapa yang ditanya.

“Kalau kamu paham apa yang diyakini satu kelompok tentang mimpi, berarti kamu memahami kebudayaannya,” kata Robin Sheriff, antropolog di University of New Hampshire, seperti dikutip dari National Geography, Sabtu (23/8). 

Dalam berbagai catatan sejarah, mimpi sering dianggap jendela menuju yang gaib. Di era Romawi kuno, misalnya, mimpi dipercaya sebagai pesan dari para dewa. Tafsir mimpi bahkan ikut mempengaruhi keputusan politik para kaisar. 

Praktik serupa hidup di Tiongkok pada era Dinasti Zhou (1046–256 SM). Menurut peneliti budaya Hong, tafsir mimpi—atau oneiromansi—pernah jadi panduan dalam hal asmara, kesehatan, hingga strategi pemerintahan. Namun, pengaruhnya meredup seiring runtuhnya kekaisaran di awal abad ke-20.

Di Papua Nugini, makna spiritual mimpi tetap dipertahankan hingga sekarang. Roger Lohmann, antropolog di Trent University, Kanada, menemukan mimpi dianggap sebagai perjalanan jiwa oleh orang-orang Papua Nugini. 

Bukan sekadar khayalan, tapi pengalaman paralel yang bisa mengandung pesan profetik. Lohmann pernah bermimpi catatan risetnya terbakar saat sedang berada di perbatasan Indonesia. Ia menafsirkan itu sebagai kecemasan soal laptopnya yang mungkin akan rusak. 

"Saya menceritakan hal itu kepada seseorang yang saya temui di pagi hari dan dia mengatakan, 'Kamu sebaiknya berhati-hati. Waspada terhadap api di tungku'," ujar Lohman. 

Sentuhan ilmiah

Di Barat, tafsir mimpi mendapat sentuhan ilmiah lewat Sigmund Freud dan Carl Jung. Freud menulis pada 1900 bahwa mimpi adalah cara bawah sadar memenuhi keinginan terpendam, termasuk yang naluriah semisal hasrat seksual.

Jung menolak pandangan itu mentah-mentah. Bagi psikolog asal Swiss itu, mimpi bukan saluran libido, melainkan percakapan antara sadar dan bawah sadar—cara otak memecahkan masalah nyata. Ia juga mengenalkan konsep ketidaksadaran kolektif, gudang simbol universal seperti ibu, pahlawan, atau penipu. 

Namun, para antropolog membantah universalisme ala Jung itu. Simbol mimpi, kata Lohman dan Sheriff, selalu kontekstual—dibentuk budaya tempat kita hidup.

Ambil contoh ular. Di Barat, tafsir ala Freud mengaitkannya dengan seksualitas. Jung menyebutnya lambang kekuatan atau bahaya. Dalam Hindu, ular bisa jadi pertanda kekayaan dan kesuburan, apalagi jika kita memakannya dalam mimpi itu.

Suku Hopi dan Pueblo menghubungkan ular dengan kesuburan tanah dan siklus panen, sedangkan komunitas Pentakosta di Zambia justru menafsirkannya sebagai wujud iblis.

Di tradisi Tiongkok, simbol populer bukan ular, tapi naga dan matahari—tanda keberuntungan dan restu ilahi. Meski ada catatan kuno: ular dalam mimpi wanita hamil bisa menandakan kelahiran anak laki-laki… atau justru anak perempuan.

Jadi, apa mimpi Itu? Sepanjang hidup, kita akan menampung ribuan mimpi—tak semuanya punya arti. Di Tiongkok menjelang runtuhnya kekaisaran, mimpi yang lahir karena “pikiran terlalu sibuk” dianggap tak layak ditafsir.

Dalam tradisi Barat modern, makna mimpi sering kali subjektif. Tak ada standar universal.

“Mimpi, seperti puisi atau seni, memberi cara baru memahami pengalaman manusia,” kata Sheriff. “Tafsirnya bisa bagus atau buruk. Tetapi, kita tak punya alat ukur objektif untuk membuktikannya.”


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan