sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menguliti kelas menengah ala Mice Cartoon

"Kelas menengah bisa ke atas, bisa ke bawah. Tapi anehnya, orang menengah enggak mau melihat ke bawah, tapi ke atas enggak sampai-sampai."

Annisa Saumi
Annisa Saumi Sabtu, 04 Agst 2018 23:09 WIB
Menguliti kelas menengah ala Mice Cartoon

Puluhan kartun karya Muhammad ‘Mice’ Mirsad terpampang di dalam gedung D galeri Nasional Jakarta. Koleksi kartunnya yang dikuratori Evelyn Huang dan Yulian Ardhi memuji, menyindir, meledek, dan mengangkat perangai orang Indonesia dengan berbagai macam latar belakang.

Mice sendiri tak pernah kehabisan tema untuk ia garap dalam komiknya. Inspirasi untuk cerita kartunnya diakui datang dari kehidupan sehari-hari. “Dinamis banget negeri ini, apalagi Jakarta dengan beragam karakter di sini. Jujur saya sebagai komikus enggak kehabisan tema, enggak kehabisan bahan intinya, malah kelebihan bahan,” tutur Mice pada Alinea di sela-sela kesibukannya memberikan workshop di Galeri Nasional, belum lama ini.

Bermunculannya komik-komik digital saat ini tak lantas membuat Mice mengalihkan teknik menggambarnya sepenuhnya ke digital. Mice mengapresiasi kemunculan komikus-komikus digital yang menurutnya telah memiliki karakter dan ciri khas.

“Saya enggak beralih ke digital, karena saya ngerasa tidak punya berkas gitu, kayak wujud yang jadi dokumentasi ya. Saya masih cinta kertas, saya masih cinta media buku. Untuk proses mewarnai kartun, saya pakai digital, warnanya masih ceplak-ceplok saja kan, hanya fill-fill biasa,” imbuh Mice.

Nama Mice mulai dikenal luas oleh publlik saat ia rutin mengisi rubrik kartun di harian Kompas Minggu bersama Benny Rachmadi tahun 2003. Namun, jauh sebelum itu, ia telah menekuni dunia gambar sedari kecil. Mice ingat, ia mulai rutin menggambar sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Muhammad 'Mice' Mirsad ketika berbincang dengan Alinea (Annisa Saumi/Alinea)

“Saya menggambar sejak SD, dan saya enggak putus untungnya karena setiap anak itu ada bakat gambar. Tapi, bakat itu selesai saat dia berhenti. Kalau sudah lanjut, maka lanjut terus,” kata Mice.
Kesenangannya menggambar berlanjut. Hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia mulai membuat kartun dan mengirim karya-karyanya ke beberapa media. “Aku inget sih, gambar aku pertama kali dimuat di majalah Kartini, sekarang majalah Kartini sudah enggak ada. Itu sekitar 1987,” cerita Mice.

“Terus saya juga dulu redaktur koran dinding kampus, di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Jadi, rutin seminggu sekali ditunggu sama anak-anak kampusnya. Ceritanya tentang keseharian mahasiswa seni rupa IKJ. Motret peristiwa dan realita dari situ awalnya,” kenang Mice.

Sponsored

Sejak di kampuslah Mice mulai menggambar kartun dengan muatan kritik sosial. Ia menuturkan, kritik sosialnya saat itu berangkat dari kehidupan di kampus. “Terus merambah tuh ke Jakarta, karena tinggal di Jakarta. Menurut saya, Jakarta itu ajaib, lucu, beragam karakter, beragam suku numplek di sini, apalagi kalangan menengahnya itu lho yang asyik digarap,” tutur Mice.

Di kampus itu pulalah ia menemukan pasangan duetnya, Benny Rachmadi. Mereka berdua rutin menggambar untuk koran dinding di kampus mereka. Tanpa mereka sadari, kartun-kartun mereka di koran dinding kampus diamati oleh seseorang dari grup Gramedia.

 
Kartun Mice di Galeri Nasional (Annisa Saumi/Alinea)

Mereka berdua akhirnya ditawari kontrak untuk mengisi di harian Kompas Minggu secara rutin. “Menarik nih sepertinya, kan waktu itu Kompas Minggu hanya ngomongin politik. Pembaca hari Minggu disuguhi politik lagi. Kompas minta dibantu untuk mencairkan suasana di hari Minggu dengan cerita sehari-hari. Kami dipinanglah sama Kompas,” kenang Mice.

Sejak 5 Oktober 2003, keduanya akhirnya rutin mengisi harian Kompas Minggu. Kartun-kartun karya mereka banyak berangkat dari kritik atas kelas menengah dan eksplorasi diri. “Kelas menengah itu menurut saya dinamis, paling banyak juga, serba palinglah mereka itu, termasuk saya juga sih sebenernya, sehingga terkadang potret diri sendiri saya mewakili orang lain,” jelas Mice sambil tertawa.

Kegandrungannya menggambar kelas menengah bukannya tanpa alasan. Mice mengaku enggan menggambar kelas menengah atas lantaran merasa aneh, terkadang di luar nalar, dan jauh dari realita. Beda lagi dengan kehidupan kelas bawah yang dinilainya lebih ngenas. 

"Kelas menengah bisa ke atas, bisa ke bawah. Tapi anehnya, orang menengah ini enggak mau melihat ke bawah, tapi ke atas enggak sampai-sampai. Kelas menengah memang yang paling menarik,” jelas Mice.

Selama tujuh tahun berkolaborasi bersama, pada 2010 Mice dan Benny akhirnya harus berpisah. Kolom kartun “Benny dan Mice” yang rutin menghiasi harian Kompas Minggu, pada akhirnya digantikan oleh kolom “Mice Cartoon” yang digambar sendiri oleh Mice.

“Jujur dari kami sudah tidak ada kesamaan visi waktu itu, maka menurut kami berpisah adalah jalan terbaik,” terang Mice soal perpisahannya dengan Benny. Mice masih berharap dirinya dengan Benny bisa kembali berduet di masa depan.

Berita Lainnya
×
tekid