sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nostalgia rubrik kontak jodoh dan konsultasi asmara

Rubrik-rubrik ini tak populer sejak makin berkembangnya era teknologi internet.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Selasa, 09 Okt 2018 12:10 WIB
Nostalgia rubrik kontak jodoh dan konsultasi asmara

Setiap 9 Oktober, diperingati Hari Pos Sedunia. Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Pos Sedunia oleh Serikat Pos Dunia (Universal Postal Union/UPU), saat kongres mereka di Tokyo, Jepang, pada 1969. UPU merupakan organisasi pos internasional, yang diresmikan pada 9 Oktober 1874 di Bern, Swiss.

Sebelum era internet menggurita, masyarakat berkirim surat dengan amplop ataupun kartu pos. Berkomunikasi dengan cara seperti itu jadi andalan. Tak terkecuali berkirim surat untuk calon pacar atau kekasih.

Sebagian jomlo zaman baheula, biasanya mencari jodoh melalui rubrik-rubrik khusus yang disediakan media cetak. Komunikasi melalui surat-menyurat ke pengelola rubrik itu pun dilakukan. Mereka mengirim surat berisi foto, identitas, dan alamat pos ke redaksi pengampu rubrik khusus di majalah tersebut.

Cara berkenalan remaja dahulu

Rubrik khusus untuk saling mengenal sesama remaja, yang hingga kini dikenal dengan istilah “sabahat pena”, tampaknya ada lebih dahulu di media cetak, dibandingkan rubrik konsultasi asmara dan kontak jodoh.

Rubrik-rubrik ini bisa ditemui dalam majalah-majalah terbitan 1950-an hingga 1990-an. Melalui rubrik ini, anak-anak muda saling bertukar informasi dan saling mengenal.

Masing-masing majalah punya rubrik dengan nama berbeda. Majalah Flambojan memiliki rubrik “Flambojan Remadja”, Vista menampilkan rubrik “Vista Fan Club”, Selecta memuat rubrik “Selecta Remaja Club”, Liberal memiliki “Sahabat Pena”, Midi mempunyai “Kolom Perkenalan”, dan Varia memampang rubrik “Varia Remaja.”

Di sinilah muda-mudi yang ingin eksis—dan barangkali saja, mengharap jodoh—mengekspresikan dirinya. Para remaja yang memasang foto dan identitas dirinya, nyaris punya hobi serupa: korespondensi atau surat-menyurat.

Sponsored

Berkirim surat dan kartu pos sudah mulai ditinggalkan orang, sejak era teknologi internet makin berkembang. (Pixabay).

Tak jarang, remaja laki-laki berusaha meraih simpati lawan jenisnya, dengan memberikan perkenalan yang bombastis. Akan tetapi, perkenalan yang terlalu diekspos malah terkesan lucu.

Misalnya saja, dalam Liberal edisi 11 Juli 1959 di rubrik “Sahabat Pena,” seorang pemuda bernama John AJS Putera Kelana, menulis hobinya: “Nonton film, lagu-lagu Barat dan krontjong Malaya, tamasja, bersepeda, renang, bergurau, suka rudjak.”

Sedangkan cita-citanya: “Mendjadi bintang film dan petindju, tapi gagal karena orangtuanja telah meninggal dunia. Ingin mendjadi dermawan dan sosialis. Kini hidup berarti bagi manusia.”

Selain korespondensi, hobi lain yang biasa ditulis di rubrik-rubrik perkenalan kawula muda ini adalah tukar-menukar foto—baik foto dirinya atau foto artis.

Curhat di majalah

Sejumlah majalah juga menyediakan rubrik konsultasi asmara. Rubrik ini bisa ditemui di majalah-majalah, seperti Midi, Tjermin, Flambojan, atau Varia. Di Midi, rubrik konsultasi dinamakan “Kak Asmoro.” Dalam Tjermin pembaca akan menemukan rubrik “Laboratorium Asmara.” Varia memiliki rubrik “Konsultasi Pribadi.” Sementara Flambojan ada “Konsultasi Jodoh Maria Isabella.”

Rubrik konsultasi asmara milik Flambojan, yakni “Konsultasi Jodoh Maria Isabella,” mungkin salah satu yang paling menarik. Rubrik ini, mulanya milik Varia Baru. Namun, majalah itu tersandung kasus etika pers.

Ekspres edisi 15 November 1971 melaporkan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyeret sejumlah pemimpin redaksi cum penanggungjawab sejumlah majalah, yang terkait sadisme, pornografi, dan horor. Majalah yang terkena kasus, antara lain Variasari, Mayapada, Varianada, Viva, dan Varia Baru.

Di dalam laporan Ekspres itu, Menteri Penerangan Boediardjo mencabut surat izin terbit (SIT), untuk media-media yang dianggap meresahkan kaum muda.

“Ruang konsultasi djodoh, ternjata telah banjak menolong orang-orang dalam mentjarikan pasangan. Kini 'Maria Isabella' akan membuka kembali ruangan itu dalam madjalah Flambojan,” begitu sekelumit kalimat dalam pengantar rubrik ini, kala menyapa pembacanya pertama kali di Flambojan edisi 25 Januari 1972.

Menariknya, di rubrik ini, pembaca tak hanya mengirimkan surat berkeluh kesah perkara masalah pasangan hidup. Rubrik ini juga menyediakan tempat untuk mencari pasangan, bagi yang masih sendiri. Peminatnya diminta untuk mengirimkan data diri lengkap dan jodoh seperti apa yang diinginkan.

Misalnya saja, sebuah surat yang dipublikasi dalam rubrik “Konsultasi Djodoh Maria Isabella” di Flambojan edisi 25 Januari 1972. Seorang pengirim surat, berinisial PR dengan nomor kode 43, menyampaikan keluh-kesahnya.

“Kadang-kadang saja djadi seperti orang jang rendah diri sadja, saja takut lama-lama saja tak berani lagi menghadapi wanita matjam apapun dengan tudjuan serius. Kalau tjuma sekedar ‘begitu’ sadja amat mudah, tapi untuk mentjari jang sungguh-sungguh sulit sekali, apalagi ditempat tinggal saja di Djakarta ini,” tulis PR.

Maria Isabella, pengampu imajiner rubrik inipun membalas permintaan mencarikan calon pasangan bagi PR dengan mencantumkan enam kandidat di rubrik ini. Enam kandidat ini ditulis identitas lengkapnya, kecuali nama yang hanya berupa inisial.

Rubrik Kontak Jodoh dalam majalah Pertiwi edisi 10-23 Agustus 1987. (Alinea/Fandy Hutari).

“Lampirkan pula perangko setjukupnja, untuk menjampaikan surat itu kepada tjalon djodoh Anda,” tulis Maria Isabella.

Meski begitu, tak semua yang mencari jodoh melalui rubrik khusus dalam majalah berakhir mulus ke pelaminan.

Di majalah Tjermin edisi 9 Maret 1957, seorang pembaca mengeluh di rubrik “Laboratorium Asmara.” Pembaca berinisial Nsb, curhat soal pasangannya, yang tak sesuai kenyataan.

Disebutkan dalam suratnya, Nsb menjalin hubungan asmara dengan seorang perempuan melalui surat-menyurat. Belum pernah bertemu selama dua tahun.

Mereka kerap bertukar foto. Setelah menunggu begitu lama, Nsb kemudian nekat datang ke kota kekasih “misteriusnya”. Singkat cerita, Nsb berhasil menemukan alamat rumah kekasihnya itu.

“Setelah pertemuan saja jang pertama kali itu, lunturlah cinta saja, karena sesungguhnjalah apa jang ada padanja tidak sesuai sama sekali dengan foto-fotonja. Rasa ketjewa saja makin besar. Akhirnja saja memutuskan tali persahabatan kita jang sedjak dulu kita pupuk dengan rasa cinta,” tulis Nsb.

Mencari jodoh

Pengamat media Ignatius Haryanto tak ingat kapan rubrik kontak jodoh mulai ada di media cetak. Namun, harian Kompas, kata Ignatius, pada 1980-an sudah mulai menerbitkan rubrik itu. Rubrik kontak jodoh dalam Kompas bernama “Pertemuan”, terbit setiap hari Minggu.

Selain Kompas, salah satu majalah yang memuat rubrik kontak jodoh adalah Pertiwi. Dalam majalah yang terbit pada 1980-an ini, para pencari jodoh mesti menjadi anggota dahulu dengan mengisi formulir. Yang tertera dalam rubrik ini hanya inisial status pernikahan dan nomor anggota yang diberikan pengasuh rubrik. Bila statusnya pria lajang, maka ditulis PL. Bila perempuan lajang, ditulis WL.

Di dalam rubrik, pencari jodoh menulis profesi, status pernikahan, tanggal lahir, domisili, zodiak, agama, suku, pendidikan, hobi, dan ciri-ciri fisik. Mereka juga menulis ciri-ciri calon pendamping yang diinginkan.

Banyaknya media cetak yang memuat rubrik kontak jodoh, menurut Ignatius, merupakan langkah media untuk memberikan informasi mengenai hubungan lelaki dan perempuan.

Pada 1980-an dan dekade sebelumnya, kata Ignatius, kisah klasik perjodohan yang dilakukan orang tua membuat banyak orang terbatas mengakses informasi mengenai hubungan lelaki dan perempuan.

“Sehingga dibuat kontak perjodohan, dan pengelola di media pun menuntut informasi yang jujur dari orang yang memasang kontaknya di sana. Menurut kabar, cukup banyak pasangan yang kemudian menjalin hubungan serius lewat kontak jodoh tersebut,” kata Ignatius, ketika saya hubungi, Senin (8/10).

Ignatius melihat, memang ada kebutuhan masyarakat akan fasilitas perjodohan ini. Dia mengatakan, banyak juga pembaca tertentu yang menunggu-nunggu keluarnya rubrik ini.

Sementara itu, menurut Yusuf CK Arianto dalam bukunya Berburu Jodoh: Petualangan Mencari Cinta dengan Comblang Teknologi, kebanyakan yang memanfaatkan rubrik kontak jodoh di media cetak adalah perempuan. Yusuf sendiri menemukan hal itu, setelah mengambil sampel dari rubrik kontak jodoh “Pertemuan” di Kompas.

“Dalam sebulan sebagian besar perempuan (88 persen), laki-laki hanya 12 persen,” tulis Yusuf CK Arianto.

Gelombang arus teknologi dan informasi makin menguat pada era 1990-an. Fasilitas internet, perlahan tapi pasti, makin mudah diakses. Yusuf menulis, gejala ini semakin menguat setelah teknologi telekomunikasi berbasis seluler, makin mudah dan murah didapat. Menurut Yusuf, dari teknologi telepon seluler muncul beragam media kontak jodoh.

“Layanannya berbentuk jasa telepon cinta maupun sms (layanan pesan singkat) melalui HP. Ada yang disediakan lembaga khusus pengelola kontak jodoh maupun operator seluler,” tulis Yusuf.

Senada dengan Yusuf, Ignatius pun mengungkapkan, perkembangan teknologi membuat rubrik-rubrik perjodohan tak lagi populer. Dia melihat, media yang beralih ke media daring, entah mengapa, tak lagi membuat rubrik-rubrik semacam ini. Selain itu, munculnya media sosial, seperti Facebook, menurut Ignatius, membuat cara mencari jodoh dalam model kencan buta terfasilitasi.

Perkembangan teknologi, membuat dunia memang semakin mudah. Berkenalan dan mencari jodoh, sekarang ada dalam genggaman. Tapi, surat-menyurat dan berkirim kartu pos seakan dilupakan.

Berita Lainnya
×
tekid