Meski sudah dikonsumsi bertahun-tahun, obat-obatan bisa mengubah sistem pencernaan
Usus manusia menjadi rumah bagi komunitas mikroba yang aktif. Mereka membantu memecah makanan, melatih sistem kekebalan tubuh, dan mengatur metabolisme.
Namun, penelitian terbaru yang dipublikasikan di American Society and Microbiology (ASM) Journals menemukan, obat-obatan yang pernah kita konsumsi bertahun-tahun lalu ternyata masih dapat meninggalkan jejak pada komunitas mikroba di usus.
Dalam studi yang dilakukan Estonian Genome Centre University of Tartu di Estonia ini, para peneliti menganalisis profil tinja dan catatan resep obat dari 2.509 orang dewasa dalam kohort Mikrobioma Biobank Estonia, lalu menindaklanjuti 328 di antaranya beberapa tahun kemudian.
Mikrobioma sendiri adalah kumpulan mikroorganisme—termasuk bakteri, arkea, virus, dan jamur—yang hidup di dalam dan di permukaan tubuh kita. Komposisi mikrobioma dapat berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh pola makan, usia, kondisi kesehatan, dan juga riwayat penggunaan obat.
Para peneliti menelusuri berbagai golongan obat untuk melihat apakah dampaknya terhadap mikrobioma memudar atau justru meningkat seiring waktu. Mereka juga mengamati perubahan yang terjadi saat seseorang mulai menggunakan atau berhenti mengonsumsi obat tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran nyata tentang bagaimana komunitas mikroba usus bereaksi terhadap pengobatan dari waktu ke waktu.
Para peneliti menghubungkan catatan kesehatan elektronik peserta biobank dengan hasil pembacaan metagenomik mendetail dari sampel tinja mereka. Melalui analisis metagenomik ini, tim dapat memperkirakan spesies mikroba apa saja yang ada di usus serta seberapa banyak jumlahnya.
“Desain penelitian ini memungkinkan para peneliti menelusuri efek lanjutan, efek gabungan (aditif), dan efek awal (inisiasi) dari penggunaan obat pada kelompok peserta yang sama,” tulis Earth.
“Pengambilan sampel lanjutan memberikan lapisan data tambahan dengan membandingkan kondisi mikrobioma setiap peserta pada dua waktu yang berbeda.”
Hasilnya, dari 186 jenis obat yang dianalisis, 89,8% menunjukkan adanya hubungan dengan mikrobioma usus, dan 78 di antaranya terbukti memiliki efek jangka panjang yang masih terlihat bertahun-tahun setelah dosis terakhir dikonsumsi. Menariknya, benzodiazepin—yang biasanya diresepkan untuk mengatasi kecemasan—memberikan dampak pada struktur komunitas mikroba secara keseluruhan yang setara dengan antibiotik spektrum luas.
Namun, tidak semua obat dalam kelas yang sama memiliki efek yang serupa. Misalnya, alprazolam dan diazepam memberikan dampak yang berbeda terhadap mikrobioma, sementara obat penghambat asam lambung menunjukkan variasi pengaruh tergantung pada jenis dan dosisnya.
Selain itu, memulai atau menghentikan penggunaan obat tertentu terbukti memicu perubahan mikroba yang dapat diprediksi, memperkuat dugaan adanya hubungan sebab-akibat. Riwayat resep juga terbukti menjelaskan variasi tambahan dalam profil mikrobioma, di luar pengaruh obat yang sedang digunakan pada saat pengambilan sampel.
“Kebanyaan penelitian mikrobioma hanya memperhitungkan pengobatan yang sedang digunakan, padahal riset kami menunjukkan, riwayat penggunaan obat di masa lalu bisa sama pentingnya, bahkan menjadi faktor kuat dalam menjelaskan perbedaan mikrobioma antarindividu,” kata penulis utama studi, Oliver Aasmets, dikutip dari Science Daily.
Menurut Earth, penelitian laboratorium sebelumnya terhadap lebih dari 1.000 obat yang beredar menunjukkan, sekitar 24% di antaranya dapat memperlambat pertumbuhan, setidaknya satu jenis bakteri usus, dalam uji in vitro.
Hasil penelitian University of Tartu memperluas temuan laboratorium tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Obat-obatan seperti antidepresan, beta-blocker, glukokortikoid, dan berbagai agen farmakologis lain terbukti meninggalkan jejak mikroba yang masih dapat dideteksi bertahun-tahun setelah penggunaannya. Jumlah dosis dan frekuensi resep di masa lalu juga berpengaruh terhadap kekuatan dampaknya.
Salah satu kelompok obat yang menjadi sorotan adalah penghambat pompa proton, yang umum digunakan untuk mengatasi rasa panas di dada (heartburn) dan refluks asam. Obat ini biasa untuk penyakit maag untuk menurunkan produksi asam lambung. Penelitian menunjukkan, pengguna penghambat pompa proton cenderung punya lebih banyak mikroba yang biasanya hidup di rongga mulut, seperti Streptococcus dan Veillonella, di dalam usus.
Menurut Earth, studi terbaru ini menambah dimensi baru. Ternyata bukan hanya penggunaan penghambat pompa proton saat ini, tetapi juga penggunaan di masa lalu, yang berhubungan dengan perubahan tersebut. Dengan kata lain, mikrobioma mantan pengguna penghambat pompa proton masih bisa terlihat berbeda, bahkan setelah mereka berhenti menggunakan obat itu bertahun-tahun sebelumnya.
Para peneliti menekankan pentingnya mempelajari lebih lanjut dosis, formulasi, dan kombinasi resep karena obat dalam kelas yang sama bisa memiliki dampak yang sangat berbeda terhadap mikrobioma.
“Ini merupakan evaluasi sistematis yang komprehensif mengenai dampak jangka panjang pengobatan terhadap mikrobioma, dengan menggunakan data rekam medis,” ujar salah seorang peneliti lainnya, Elin Org, dikutip dari Science Daily.
“Kami berharap temuan ini dapat mendorong para peneliti dan dokter untuk selalu mempertimbangkan riwayat pengobatan saat menafsirkan data mikrobioma.”


