sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Orang-orang Yahudi di Indonesia, antara ada dan tiada

Orang Yahudi di Indonesia beraasimilasi dengan menganut agama resmi pemerintah. Mereka tersebar di Jawa, dan luar Jawa: Manado dan Padang.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 22 Mar 2019 15:40 WIB
Orang-orang Yahudi di Indonesia, antara ada dan tiada

Mengapa dibenci?

Elisheva menyebut, pencampuradukan istilah Yahudi sebagai agama dan etnis, serta zionisme membuat orang-orang terjebak dalam satu stigma tentang Yahudi. Ia maklum dengan resistensi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, masyarakat Indonesia masih beranggapan orang-orang Yahudi membawa misi menyebarkan agama.

“Yudaisme itu agama tertutup, perayaan keagamaannya pun juga dilakukan secara tertutup, karena kami hanya komunitas kecil. Di Eropa pun begitu,” ujar Elisheva.

Monique Riejkers pun membenarkan bila agama Yudaisme berbeda dengan agama lainnya, yang punya misi menyebarkan ajarannya. “Yudaisme itu agama untuk orang-orang keturunan Yahudi atau Bani Israel saja. Ada juga memang yang bukan keturunan terus menganut Yudaisme, tetapi enggak lazim,” tuturnya.

Di sisi lain, Elisheva melihat, informasi dari tangan ketiga tentang Yahudi, banyak yang menyebabkan bias informasi di tengah masyarakat. Belum lagi masalah hoaks yang kemudian berujung pada teori konspirasi yang tak jelas sumbernya.

Di dalam bukunya, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018) Romi Zarman melacak bagaimana kebencian terhadap orang Yahudi dan Arab—atau apa yang disebut sebagai antisemitisme—itu bermula. Kebencian itu mulanya dibawa orang-orang Eropa yang ada di Nusantara, yang kemudian diwarisi orang Indonesia usai kemerdekaan.

“Anti-Yahudi di Nusantara dibawa pelaut Prancis ke Hindia Timur abad ke-17, dengan stereotip bunglon (sering bertukar agama) dan pencuri. Sentimen yang sama juga dibawa oleh Inggris ketika berlabuh di Banten pada 1603,” tulis Romi dalam bukunya.

Di dalam bukunya itu, Romi pun menjelaskan, sentimen ini juga berlaku bagi orang Tionghoa di Asia Tenggara, dengan menyebut mereka “Yahudi Timur”. Ia menulis, kebencian Inggris terhadap China dan para saudagarnya itu merupakan buah atas ketidakmampuan Inggris dalam bersaing dagang dengan orang China di Hindia Timur.

Sponsored

Menurut Romi, meningkatnya gelombang anti-Yahudi di Indonesia bisa ditarik dalam beberapa periode. Saat masa pemerintahan Sukarno, sentimen itu cenderung bersih. Namun, semakin meningkat ketika Soeharto berkuasa.

“Hal ini karena di era Sukarno orang mengalami langsung interaksi dengan warga Yahudi. Sementara di era Soeharto, ketika kanal informasi semakin dipersempit dan aktivitas keagamaan dibatasi, orang cenderung menerima informasi soal Yahudi dari pemerintah, dan informasinya bias,” kata Romi.

Rekonstruksi definisi

Surat kabar yang diterbitkan orang-orang Yahudi di Padang pada 1926-1928. /Repro buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942).

Di dalam bukunya, Romi menulis, arti kata Yahudi dalam konteks Bahasa Indonesia punya pencampuradukan makna. Dalam istilah Inggris, untuk menyebut Yahudi dengan konteks politik, digunakan istilah Zionism, Judaism untuk agama, dan Jews untuk menyebut orang beretnis Yahudi.

Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, ketiganya dipukul rata dengan menyebut Yahudi. Hal yang kemudian berdampak pada pemahaman orang-orang Indonesia mengenai Yahudi itu sendiri. Satu kata yang punya konotasi negatif.

Untuk menekan sentimen anti-Yahudi dan memberikan definisi yang benderang, pada 2016 Monique membentuk Hadassah of Indonesia, sebuah lembaga yang konsentrasi memberikan pemahaman kepada publik soal Yahudi, dan Israel sebagai sebuah negara dan tempat suci tiga agama, yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi.

Menurut Monique, lembaga ini dibentuk bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia, agar bisa hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi yang ada di Indonesia.

“Mereka (orang Yahudi) dapat ditemui jejaknya dalam sejarah Bangsa Indonesia, tetapi keberadaannya seperti dihilangkan,” katanya.

Sementara itu, Elisheva Wiriaatmadja sudah terang-terangan mengaku sebagai penganut Yudaisme di berbagai media. Setelah itu, ia mengaku tak mengalami tekanan apapun.

“Mungkin karena saya perempuan ya, jadi orang menganggapnya bukan ancaman, jadi biasa saja. Kalau yang ngaku cowok, mungkin lain cerita,” ujar Elisheva.

Ia menduga, tekanan tak dirasakan karena ia mengurangi interaksi dengan orang-orang di sekitar. Ia menjalankan rutinitasnya secara daring, mulai dari bekerja dan berkomunikasi dengan orang lain.

“Mungkin kalau sering keluar ketemu orang bisa ada yang memprotes, karena muka saya kan sudah nampang di mana-mana,” tuturnya.

Sama seperti Monique, Elisheva pun membentuk Yayasan Eits Chaim Indonesia. Lembaga ini pun bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai apa itu Yahudi dan hal-hal terkait dengan itu.

Yayasan ini bergerak secara daring, melalui situs Eitschaim.org. Ia mempublikasikan tulisan dan video, untuk meluruskan persepsi miring terkait Yahudi.

Kini, orang-orang Yahudi hidup dalam kelompok kecil di sejumlah kota di Indonesia.

“Lewat website itu saya mencoba menginformasikan kepada khalayak berdasarkan informasi dari orang dalam, dari orang Yahudi yang pernah mengunjungi Israel langsung,” tuturnya.

Walau tak bisa menyebutkan angka pasti, Romi Zarman mengatakan, saat ini di Indonesia banyak kelompok Yahudi. Bukan hanya kelompok yang memegang teguh agama leluhur, tetapi juga kelompok yang sudah mengalami asimilasi agama, sehingga memeluk agama resmi pemerintah.

Romi mengatakan, mereka tersebar di Pulau Jawa, dan beberapa kota di luar Jawa, seperti di Manado dan Padang.

Berita Lainnya
×
tekid