Perlukah demam diobati?
Demam selalu datang tanpa diundang. Ia bisa muncul di tengah malam yang tenang, saat tubuh tiba-tiba menggigil, kepala terasa berat, dan panas merayap tanpa alasan yang jelas. Sebagian dari kita mungkin menganggapnya hal biasa—sesuatu yang akan hilang dengan obat dan istirahat.
Namun demikian, di balik gejala sederhana itu, demam adalah mekanisme biologis yang telah menemani kehidupan selama ratusan juta tahun. Ia bukan sekadar tanda sakit, melainkan bagian dari cara tubuh bertahan, bereaksi, dan bernegosiasi dengan ancaman yang datang dari luar.
Demam kerap muncul bersama berbagai infeksi yang menyerang tubuh—virus, bakteri, hingga jamur. Sebagian besar dari kita tentu pernah merasakannya, mungkin saat terserang flu atau pilek musiman. Sepanjang sejarah, demam juga menjadi tanda penyakit yang mematikan. Begitu lekatnya fenomena ini dengan penderitaan manusia, hingga kita menamakan banyak penyakit dengan kata “fever”: scarlet fever, dengue fever, yellow fever, Lassa fever.
Meski begitu, manusia baru benar-benar memahami bagaimana tubuh menghasilkan demam pada abad ke-20. Pertanyaannya, mengapa sebenarnya kita mengalami demam? Haruskah selalu diobati? Dan kapan gejala yang tampak sederhana ini berubah menjadi ancaman serius bagi hidup?
“Dulu orang percaya bahwa demam adalah penyakit itu sendiri. “Kini kita tahu, demam hanyalah gejala bahwa ada sesuatu lain yang terjadi di tubuh,” kata Sally Frampton, sejarawan medis dari Universitas Oxford, seperti dikutip dari BBC Future, Jumat (24/10).
Bagi orang Yunani kuno, demam ditangani dengan cara yang ekstrem—mulai dari puasa hingga mengeluarkan darah (bloodletting). Metode-metode itu bertahan berabad-abad, hingga teori kuman (germ theory) muncul dan mengubah cara kita melihat penyakit. Sejak saat itu, demam dipahami bukan sebagai penyakit utama, melainkan sebagai tanda tubuh sedang berperang dengan penyusup.
Tubuh manusia bekerja dalam rentang suhu yang sempit antara terlalu dingin dan terlalu panas. Saat suhu inti turun di bawah 35°C, tubuh bereaksi dengan menggigil, bicara cadel, dan napas melambat—tanda hipoterma. Di sisi lain, ketika suhu naik terlalu tinggi—lebih dari 40°C dalam waktu lama—tubuh bisa mengalami halusinasi, kejang demam, bahkan gagal organ.
Berbeda dengan hipertermia, yang terjadi karena suhu naik di luar kendali, demam justru diatur dengan cermat oleh tubuh. Ia menggeser “termometer internal” kita—set point—ke level yang lebih tinggi untuk melawan ancaman. Setelah infeksi berhasil ditangani, suhu akan kembali normal.
Demam adalah bagian dari peradangan, sebuah pilar sistem imun yang memastikan tubuh bereaksi cepat terhadap ancaman. Ia hadir bersama lima tanda klasik peradangan: nyeri, panas, kemerahan, bengkak, dan kehilangan fungsi normal.
“Semua reaksi ini dirancang agar tubuh segera melawan bahaya,” jelas Mauro Perretti, peneliti inflamasi dari Queen Mary University of London, Inggris.
Anak-anak lebih sering mengalami demam dibanding orang dewasa. Alasannya sederhana: “termometer” dalam otak mereka, tepatnya di hipotalamus, belum sepenuhnya matang. Bagian otak ini belajar menafsirkan sinyal dari zat pirogen—molekul yang memicu peningkatan suhu.
Zat pirogen mengirim pesan ke hipotalamus agar menaikkan suhu tubuh ke titik di mana virus dan bakteri sulit bertahan hidup. Mikroba tak mampu beradaptasi pada panas yang tinggi karena itu akan merusak efisiensi mereka dalam menginfeksi inang yang lebih sejuk.
Selama berabad-abad, manusia berusaha menyingkirkan demam. Namun kini sains justru menemukan bahwa dalam banyak kasus, demam membawa lebih banyak manfaat daripada bahaya. Kenaikan suhu tubuh mempercepat kerja sel-sel imun, seperti sel darah putih, yang menjadi garda depan melawan infeksi.
Panas juga membantu reaksi biokimia dan seluler dalam proses peradangan. Selain menaikkan suhu ke titik yang tak nyaman bagi bakteri, demam juga menjadi alarm yang menyalakan jaringan komunikasi dalam tubuh: saraf, hormon, dan sistem fisiologis bekerja bersama untuk melawan musuh.
Perubahan perilaku saat demam pun bukan kebetulan. Nafsu makan menurun, tubuh terasa lemah, dan kita terdorong untuk beristirahat. “Itu semua bagian dari strategi tubuh,” kata Perretti.
Saat energi dialihkan ke sistem imun, tubuh secara alami memaksa kita untuk tenang, memulihkan diri, dan tidak menambah beban. Bahkan hewan pun melakukannya. Ikan berenang ke perairan yang lebih hangat, reptil berjemur di bawah matahari, semuanya demi menaikkan suhu tubuh dan memperbesar peluang bertahan hidup.

Perlu dikontrol
Namun, demam juga pisau bermata dua. Sama seperti peradangan, ia harus dikontrol agar tak membahayakan tubuh. “Sedikit itu baik, terlalu banyak bisa mematikan,” kata Perretti.
Demam yang terlalu tinggi bisa membuat tubuh kehilangan cairan karena keringat berlebih. Jika suhu bertahan di atas 40°C terlalu lama, organ vital mulai gagal berfungsi. Penelitian pada 2024 bahkan menemukan bahwa panas ekstrem dapat merusak DNA.
Anak-anak juga rentan mengalami febrile seizures—kejang akibat lonjakan suhu tubuh yang tiba-tiba. Meski sebagian besar kasusnya tidak berbahaya, kondisi ini tetap perlu diperiksa dokter.
Yang paling berisiko adalah ketika demam dibiarkan tanpa penanganan, padahal ia menandakan infeksi berat seperti meningitis, pneumonia, atau sepsis. Dalam kasus seperti itu, pengobatan medis yang tepat akan menghentikan infeksi dan menormalkan suhu tubuh tanpa harus mematikan respons imun.
Lantas haruskah demam selalu diobati? Pertanyaan itu belum punya jawaban pasti. Karena meski terasa menyiksa, demam sebenarnya bagian dari mekanisme pertahanan tubuh. Penelitian pada masa pandemi Covid-19 menunjukkan, menekan demam bisa berakibat buruk.
Mengonsumsi obat untuk menurunkan demam juga bisa berdampak di tingkat populasi. Studi tahun 2014 menemukan, menekan demam saat flu justru meningkatkan penyebaran virus—karena orang yang merasa “sudah baikan” cenderung kembali beraktivitas dan menularkan penyakit ke orang lain.
Dalam kasus demam ringan, ada baiknya tubuh diberi waktu 24–48 jam untuk bekerja. Tapi tentu, setiap situasi berbeda. “Selalu konsultasikan dengan dokter karena hanya mereka yang bisa menentukan apakah demam itu teman atau ancaman,” kata Perretti.
Sains masih terus mencari tahu kapan demam harus diturunkan, dan kapan sebaiknya dibiarkan. Namun satu hal pasti: di tengah keringat yang menetes dan tubuh yang menggigil, demam adalah bukti bahwa sistem pertahanan kita masih bekerja—warisan panjang yang menjaga manusia tetap hidup selama ribuan tahun.


