close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi AI kecelakaan pesawat./Foto GraphixMade/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi AI kecelakaan pesawat./Foto GraphixMade/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Mental Health
Selasa, 07 Oktober 2025 17:00

Rasa bersalah penyintas kecelakaan pesawat

Penyintas kecelakaan pesawat cenderung mengalami PTSD.
swipe

Pesawat Jakarta Airways 79 yang berangkat dari Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, Sulawesi Tengah menuju Bandara Soekarno-Hatta, Banten jatuh di hutan belantara Gunung Halau-halau, Kalimantan Selatan. Pesawat itu membawa 132 orang—termasuk awak. Hanya satu orang yang selamat, yakni Rawa Budiarso (Nicholas Saputra).

Insiden kecelakaan pesawat tersebut menjadi topik utama film Tukar Takdir yang digarap sutradara Mouly Surya, diangkat dari novel karya Valiant Budi. Rawa, sebagai satu-satunya penyintas dan saksi kunci kecelakaan itu, harus berhadapan dengan perasaan bersalah karena bertukar tempat duduk dengan Raldi (Teddy Syah), yang tewas.

Dalam film itu, selain harus mengungkap peristiwa yang membuatnya trauma kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Rawa mesti berhadapan dengan Anindita Suwarso (Marsha Timothy)—istri Randi—yang marah kenapa Rawa berada di kursi suaminya dan anak pilot Dirga (Tora Sudiro) bernama Zahra (Adhisty Zara) yang terombang-ambing antara kehilangan dan rasa bangga sebagai anak pilot.

Trauma Rawa di film ini digambarkan dengan melihat sosok Raldi yang mengatakan, “Santai aja mas, sama aja kok,” sebagai kalimat yang mengizinkan Rawa duduk di kursinya, situasi saat pesawat menukik, dan gambaran hancurnya pesawat saat dia diminta mengikuti simulasi untuk mengungkap penyebab kecelakaan oleh KNKT.

Kisah para penyintas

Dalam kenyataannya, memang ada beberapa orang yang selamat dari maut kecelakaan pesawat. Teranyar, Vishwash Kumar Ramesh yang duduk di kursi 11A selamat dari kecelakaan pesawat Air India 171 pada 12 Juni 2025. Kecelakaan itu menewaskan 260 penumpang dan awak.

Tak ada jawaban pasti peluang kita selamat dari kecelakaan. Namun, berdasarkan laporan dari Flight Safety Foundation yang terbit pada 2001—yang melakukan tinjauan terhadap kecelakaan penerbangan nasional dari 1983-1999, ditemukan lebih dari 95% penumpang pesawat selamat dari kecelakaan, termasuk 55% pada insiden paling serius. Peluang selamat itu tergantung beberapa faktor, seperti keberadaan api, ketinggian tempat terjadinya kecelakaan, dan lokasi kecelakaan.

 “Setiap kali saya mengingat kecelakaan itu, saya dihantui rasa bersalah yang mendalam karena selamat, dan saya pun menangis,” ujar Vesna Vulovic seorang pramugari yang satu-satunya selamat dari kecelawaan pesawat Yoguslav Airlines dari Kopenhagen (Denmark) ke Zagreb (Yugoslavia, sekarang Kroasia) tahun 1972, dikutip dari Independent.

Tubuh Vulovic ditemukan di antara bongkahan setelah pesawat jatuh di hutan dekat Srbska Kamenice, menewaskan 23 penumpang dan empat awak. Dia mengalami lumpuh. Pasca-tragedi itu, Vulovic memilih hidup menyendiri di sebuah apartemennya di Beograd. Dia meninggal dunia dalam usia 66 tahun pada 2016.

Cecelia Cichan, yang waktu kecelakaan pesawat Northwest Airlines 255 pada 1987 masih berusia 4 tahun pun dihantui rasa bersalah. “Saya merasa marah dan bersalah sebagai penyintas,” ujar Cichan dalam film dokumenter CNN “Sole Survivor”. “Mengapa saudara laki-laki saya tidak selamat? Mengapa saya selamat?”

Kecelakaan itu menewaskan orang tua dan saudara laki-lakinya, beserta 153 orang lainnya. Peristiwa itu terjadi saat Cichan hendak pulang ke Arizona, bersama orang tua dan kakaknya yang berusia 6 tahun. Insiden terjadi saat sayap kiri pesawat menyenggol tiang lampu setelah lepas landas. Pesawat itu miring ke kiri, lalu menghantam atap sebuah gedung penyewaan mobil sebelum jatuh dan terbakar.

Petugas pemadam kebakaran menemukan Cichan masih terikat sabuk pengaman di kursinya di antara bongkahan pesawat. Dia menderita luka bakar dan patah tulang selangka, retak tengkorak, dan patah kaki kiri.

Michelle Dussan, seorang penyintas kecelakaan pesawat pada Desember 1995, membagikan kisahnya di The Guardian. Saat itu, usianya baru 6 tahun. Bersama keluarganya, Dussan terbang dari Bandara Miami, Amerika Serikat menuju Bandara Alfonso Bonilla Aragon di Kolombia dengan pesawat American Airlines 965.

“Setelah lepas landas, saya bertengkar dengan saudara laki-laki saya karena saya ingin duduk di dekat jendela—saya sangat senang bisa melihat ke luar. Saudara laki-laki saya marah dan pergi duduk di seberang lorong bersama sepupu saya,” kata Dussan di The Guardian.

“Setelah itu, saya tidak ingat apa pun, kecuali bangun keesokan paginya. Ayah saya ingat sedikit. Pesawat berguncang hebat, lampu padam, orang-orang berteriak.”

Pesawat nahas yang ditumpangi keluarga Dussan itu menabrak sebuha gunung di Buga, Kolombia. Menewaskan 151 dari 155 orang di dalamnya. Selain Dussan, di antara yang selamat adalah ayahnya.

“Saya terkubur di bawah tanah dari pinggang ke bawah dan terjebak, dengan sabut pengaman terpasang, selama 13 jam. Banyak penumpang lain meninggal karena hipotermia,” ujar Dussan.

Ada perasaan bersalah juga dalam benak Dussan. “Saya merasa bersalah karena mungkin jika saya tidak meminta saudara laki-laki saya untuk pindah, dia masih akan bersama kami,” kata Dussan.

Ilustrasi kecelakaan pesawat./Foto ClickerHappy/Pixabay.com

Trauma panjang

Akan tetapi, seperti Rawa di film Tukar Takdir, hidup sebagai penyintas kecelakaan pesawat tentu bukan sesuatu yang mudah. Pernyataan yang diungkap Vulovic, Cichan, dan Dussan disebut The Atlantic merupakan pernyataan umum di antara para penyintas peristiwa traumatis.

Para penyintas mungkin memproses insiden itu dalam beberapa tingkatan yang berbeda: berduka atas mereka yang tewas dalam kecelakaan, tetapi juga bergulat dengan kenyataan kalau mereka sendiri nyaris lolos dari nasib buruk tersebut.

Menurut profesor psikologi di Virginia Tech, Russell Jones, dikutip dari The Atlantic, hingga taraf tertentu, mereka yang selamat merasakan rasa bersalah sebagai penyintas, yang terkait dengan post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma dan depresi.

“Namun, hubungan ini rumit. Individu yang telah mengalami peristiwa traumatis mungkin mengalami PTSD, depresi, atau rasa bersalah sebagai penyintas—atau kombinasi dari ketiganya," kata Jones.

Sementara itu, menurut Newsweek, penelitian pada 2015 tentang kemungkinan PTSD dan depresi di antara para penyintas kecelakaan pesawat di Belanda mengungkap, di antara 121 orang penyintas yang diwawancarai hanya beberapa bulan setelah kecelakaan pada 2009, tingkat gejala kesehatan mental yang dialami mereka tak terkait dengan tingkat keparahan cedera fisik mereka.

Penelitian lain yang terbit pada 2015 terhadap sekitar 100 orang yang selamat dari pendaratan darurat pesawat menemukan, perempuan dan orang-orang yang berpendidikan rendah cenderung mengalami gejala stres pascatrauma yang lebih parah, seperti ingatan yang mengganggu, kecemasan, dan kegelisahan.

Penelitian ini juga mengungkap, gejala berubah secara signifikan dalam 4 bulan pertama setelah kejadian dan secara bertahap menjadi lebih ringan atau lebih mudah diprediksi selama 19 tahun berikutnya.

Bukan cuma penyintas, orang-orang yang ditinggalkan keluarganya yang tewas karena kecelakaan pesawat juga mengalami gangguan mental serupa.

Penelitian yang diterbitkan pada 2017 misalnya, yang mengamati anggota keluarga yang ditinggalkan dari 298 penumpang tewas dalam kecelakaan pesawat di Ukraina tahun 2014. Para peneliti menemukan, orang yang mengalami gejala kejiwaan berat, seperti PTSD, depresi, dan kesedihan berkepanjangan, cenderung juga merasakan perasaan “tidak nyata”.

Perasaan ini digambarkan sebagai sensasi kalau kehilangan terasa tidak benar-benar terjadi, seolah-olah itu bukan kenyataan, meski mereka tahu secara rasional hal itu memang terjadi. Para peneliti menjelaskan, perasaan tidak nyata ini menunjukkan kesulitan untuk menerima dan mengintegrasikan kehilangan traumatis tersebut ke dalam kisah hidup mereka sendiri, sehingga mereka mengalami keterkejutan emosional yang lebih kuat setiap kali diingatkan tentangnya.

Akan tetapi, sebagian orang yang bertahan hidup dari kecelakaan justru membuat mereka lebih bahagia dan lebih mampu menyesuaikan diri. Sebuah studi tahun 1999 menemukan, para penyintas kecelakaan pesawat justru cenderung memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dalam jangka panjang dibandingkan turis yang sering terbang, tetapi belum pernah mengalami kecelakaan.

Para peneliti membandingkan dua kelompok: 15 penyintas kecelakaan pesawat dan 8 orang yang tak pernah mengalami kecelakaan. Kedua kelompok menjawab serangkaian pertanyaan tentang tekanan emosional.

“Kesejahteraan psikologis para penyintas kecelakaan pesawat ternyata jauh lebih baik di semua aspek yang diukur dibandingkan penumpang yang belum pernah terlibat dalam kecelakaan atau tabrakan pesawat. Bahkan, para penyintas mencatat skor lebih rendah pada beberapa indikator standar tekanan emosional,” tulis para peneliti.

Temuan itu sejalan dengan studi lain yang menunjukan, pengalaman traumatis bisa menghasilkan perubahan positif, yang dikenal sebagai pertumbuhan pascatrauma.

“Orang yang mengalami peristiwa traumatis sering kali menghadapi gejala PTSD untuk sementara waktu. Namun, ketika mereka mulai mampu mengelola gejala itu dan merefleksikan pengalaman mereka, proses pertumbuhan positif pun dapat dimulai,” kata penulis buku Upside: The New Science of Post-Traumatic Growth, Jim Rendon kepada The Atlantic.

Hal itu digambarkan Mouly Surya dalam film Tukar Takdir. Seiring fisiknya membaik dan masalah selesai, di adegan terakhir, Rawa yang sedang menyetir sejenak berhenti. Lalu, dia tersenyum memandang pesawat yang terbang di angkasa.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan