sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Reupload YouTube: Si parasit pelanggar hak cipta

Di YouTube banyak tersebar konten video yang diunggah ulang demi uang. Padahal, hal itu melanggar hak cipta.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Rabu, 26 Agst 2020 18:40 WIB
Reupload YouTube: Si parasit pelanggar hak cipta

Sutradara film pendek Tilik, Wahyu Agung Prasetyo bersama timnya mengaku cukup kewalahan memantau puluhan kanal di YouTube, yang mengunggah ulang atau reupload filmnya secara ilegal.

Sejak diunggah kanal milik Ravacana Films—rumah produksi yang menaungi pembuatan konten audio-visual di Yogyakarta—pada 18 Agustus 2020 lalu, Tilik viral. Karakter Bu Tejo (Siti Fauziah Saekhoni) si tukang gosip yang bermain apik dan mengundang tawa, menjadi perbincangan warganet.

Di kanal Ravacana Films hingga Rabu (26/8), film berdurasi 32 menit 34 detik itu sudah ditonton lebih dari 12 juta orang. Sejak di-reupload banyak kanal di YouTube, Wahyu dan timnya menelusuri satu persatu kanal yang menulis judul “film Tilik”.

“Kami masih memerlukan data mengenai jumlah konten yang di-reupload dan jumlah pengaduan ke Youtube terkait video yang dicuri. Itu belum diakumulasi jadi satu,” kata Wahyu saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (25/8).

Untuk mengatasi permasalahan ini, secara pribadi, Wahyu juga meminta bantuan kepada seorang kenalannya yang punya relasi dengan pejabat salah satu divisi di YouTube Indonesia. Ia berharap mendapat perlindungan atas karya filmnya.

“Kami lebih respek bila pihak luar meminta izin ke kami. Kami hanya bisa berupaya meminimalisir pembajakan dengan nge-track sendiri oleh tim kami,” ucapnya.

Kegelisahan konten kreator

Reupload merupakan kegiatan mengunggah ulang video yang diambil dari kanal YouTube orang lain. Pelaku pengunggah ulang biasanya hanya membuat judul yang berbeda dan lebih menarik orang untuk menjaring penonton yang banyak.

Sponsored

Selain film, konten lain, seperti acara televisi, pertandingan sepak bola, musik, bahkan karya konten kreator—seseorang yang membuat konten berupa tulisan, gambar, video, suara, maupun gabungan dari dua atau lebih materi—yang banyak ditonton orang dicomot secara ilegal.

Tanpa memikirkan ide dan berkeringat, si pencuri dengan mudah membagikan konten video milik orang lain di kanal miliknya.

Konten kreator dan penulis buku Rahasia Mendapat Dollar dari Youtube (2016) Deny Setyawan memiliki kegelisahan serupa Wahyu. Beberapa hari sekali, pemilik kanal Den JC ini harus menyempatkan diri untuk mengecek konten video miliknya yang tersebar di YouTube. Sebab, kontennya sering dicuri dan diunggah ulang kanal lain.

Ia mengatakan, ada puluhan kanal yang mengambil dan mengunggah ulang konten-konten video miliknya, baik utuh maupun hanya penggalan.

“Ada akun yang cuma iseng, enggak punya konten. Ada juga yang membuat channel dengan menggunakan konten orang lain untuk menambah jumlah viewer,” katanya saat dihubungi, Senin (24/8).

Ilustrasi seseorang memegang ponsel berlogo YouTube./Foto Rachit Tank/Unsplash.com

Sementara itu, rapper sekaligus youtuber Samuel Alexander Pieter alias Young Lex belum ambil pusing terhadap pencurian konten miliknya. Ia lebih mempercayakan urusan itu kepada tim digital pribadinya.

“Gue sih biasa aja, enggak apa-apa. Gue serahin ke tim digital yang urus, misalnya soal copyright atau yang lainnya,” kata Young Lex ketika dihubungi, Selasa (25/8).

Dihubungi terpisah, produser dan komposer Krishna Balagita tak begitu khawatir karya lagu ciptaannya disebar di kanal-kanal YouTube. Padahal, konten lagu mantan personel ADA Band ini pernah diunggah ulang kanal lain. Salah satunya album Light From Heaven (2007), yang merupakan hasil dari proyek musik pribadinya, Krishna New Spectrum.

Albumnya yang lain, yakni Sacred Geometry (2013) juga diunggah kanal lain di YouTube. Akan tetapi, ia menyarankan, pelaku pengunggah ulang lebih baik meminta izin dan mencantumkan nama pencipta lagu, sebelum diunggah ke kanal miliknya.

“Zaman ketika saya masih di ADA Band, ada yang mengubah aransemen lagu menjadi dangdut koplo, tetapi izin lebih dulu dan berbayar. Saya juga tidak berupaya mencegah. Karena menurut saya, kalau lagu kita banyak dikover bisa populer terus,” tuturnya.

Krishna mempercayakan pemantauan karya lagunya di YouTube kepada Wahana Musik Indonesia (WAMI)—lembaga yang secara kolektif mengelola eksploitasi karya cipta lagu, terutama terkait royalti atas hak mengumumkan. Ia bergabung dengan WAMI sejak 2016.

“Di situ dipantau siapa yang mengkover lagu saya dan memonetisasi atau tidak. Dilaporkan rutin juga hasil penjualan royalti,” kata Krishna.

Sedangkan Young Lex menuturkan, perlu lebih banyak edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya menghargai hak cipta. Apalagi, kata dia, belakangan semakin banyak muncul konten kreator baru.

Secara pribadi, Lex yang sudah memiliki 3,11 juta subscribers (pelanggan) itu juga kerap membagi pesan tentang pentingnya bersikap mencegah penggunaan konten milik orang lain secara tak bertanggung jawab. Ia pun berharap, YouTube bisa menindak tegas kanal yang mengunggah konten curian.

“Menurut gue, pihak Youtube harus menindak tegas untuk melakukan takedown. Contohnya kemarin BTS keluarin video klip baru, terus ada akun reuploader mem-publish konten BTS video lirik itu, lalu langsung di-takedown Youtube,” ucapnya.

Sementara Wahyu mengatakan, ketika Tilik ditonton lebih dari 10 juta orang, Ravacana Films membuat kampanye menonton film secara legal dalam unggahan di akun media sosialnya. Menurut Wahyu, cara itu sangat penting untuk mengingatkan publik dalam mengakses dan mengapresiasi karya secara jujur.

Antisipasi pencurian

Deny, yang sudah bergabung dengan YouTube menjadi konten kreator sejak 11 Maret 2018 dan punya 545.000 subscribers punya cara untuk mengantisipasi pencurian konten miliknya. Ia memanfaatkan fasilitas pelaporan Copyright Match yang disediakan YouTube.

Copyright Match merupakan sistem yang dibuat Google pada 2018 untuk menemukan video yang diunggah ulang pengguna lain. Cara kerjanya, algoritma YouTube akan memindai video lain untuk mencari apakah ada video yang mirip atau bahkan sama.

Dengan memanfaatkan fitur itu, Deny bisa dengan mudah melaporkan beberapa kanal sekaligus, serta melakukan centang biru terhadap beberapa kanal bermasalah. Selanjutnya, YouTube akan mengirimkan pemberitahuan melalui surat elektronik.

Ia menguraikan, pihak YouTube akan memberikan peringatan agar si pengunggah ulang mencabut videonya. Jika peringatan itu tidak ditanggapi selama tiga bulan, maka YouTube akan mencabut video dan menghapus kanal.

Meski begitu, Deny mengakui fasilitas pelaporan yang disediakan YouTube tersebut tak terlalu berpengaruh dalam menekan jumlah aktivitas reupload. Masih banyak pemilik kanal di YouTube yang sekadar mengunggah video, tanpa memperhatikan hak cipta.

“Kegiatan reupload tidak bisa dihilangkan. Karena banyak konten kreator yang malas, tidak ahli membuat konten, atau mengambil keuntungan tetapi tidak mau membikin konten sendiri,” ujarnya.

Penyebab lainnya, pelaku pengunggah ulang masih buta soal standar penentuan bagi sebuah kanal bisa dimonetisasi—konversi sesuatu menjadi sumber penghasilan. Dalam standar monetisasi YouTube, sebuah kanal harus punya 1.000 subscribers dan capaian 4.000 jam ditonton. Pelaku reupload, menurut Deny, juga tergiur dengan jumlah penonton dan subscribers, dengan memanfaatkan momen dan cara yang salah.

Ilustrasi seseorang menonton tayangan di YouTube./Foto CardMapr/Unsplash.com

“Orang yang reupload itu kadang tidak tahu hal-hal semacam itu. Mereka tidak tahu bahwa pemilik akun yang sudah dimonetisasi itu bisa melakukan pelaporan,” tuturnya.

“Mereka juga inginnya instan, tidak mau susah payah, inginnya dapat viewer dan subscribers banyak, lalu menarik untung dari AdSense dan berhadap dimonetisasi.”

Padahal, kata Deny, penentuan monetisasi sebuah kanal di YouTube semakin ketat, dengan peninjauan secara manual dan berkala oleh pihak YouTube.

“Kalau kita menggunakan karya orang lain dan di-reupload, orang yang diambil kontennya memang bisa tidak tahu. Tetapi sewaktu menjalankan program partner atau iklan, kemungkinan Youtube akan menolak konten tersebut,” kata dia.

Karenanya, menurut Deny, perlu keaktifan pemilik kanal yang sudah termonetisasi untuk mengontrol konten karya yang dicuri. Sejauh ini, kata Deny, YouTube hanya menjalankan sistem pemantauan Copyright Match secara mandiri oleh pengguna.

“Agar kita sendiri bisa langsung punya sistem deteksi yang sudah di-reupload. Kalau ada konten diambil dari Youtube atau platform medsos lain, Youtube akan mengenalinya karena Youtube menekankan originalitas konten,” kata Deny.

Tabrak hak cipta

Selain alasan yang dikemukakan Deny, pengamat media sosial Eddy Yansen menandang, para pengunggah ulang konten di YouTube semata-mata mengejar subscribers agar kanalnya bisa dijual kembali. Belakangan ini, kata dia, maraknya konten yang dibajak di YouTube disebabkan pula banyaknya pembuat konten black hat.

Istilah black hat mengacu ke tindakan-tindakan dalam teknologi informasi yang tidak etis. Dalam persoalan pencurian konten di YouTube, hal ini ditunjukkan dengan tindakan orang yang mengambil konten orang lain tanpa izin, dengan tujuan mendapatkan hasil tertentu di kanal buatan mereka.

Eddy menilai, mayoritas pencurian konten berupa pembajakan berbentuk pengeditan sebagian. Sebenarnya, ungkap Eddy, YouTube sudah menjalankan prosedur penanganan atas pembajakan konten, meliputi pelaporan hingga penutupan kanal pembajak. Prosedur itu mengacu standar hak cipta internasional.

Sebuah laporan atas pelanggaran hak cipta yang berlaku di YouTube, kata Eddy, ditinjau dengan mencermati dua hal, yakni siapa pemilik karya tersebut dan apakah objek rekamannya merupakan sebuah hasil karya atau bukan.

“Misalnya, video Menara Eiffel di siang hari. Itu sah siapa saja boleh merekamnya karena itu monumen publik,” kata Eddy saat dihubungi, Senin (24/8).

“Namun, merekam dengan video pertunjukan lampu-lampu (light show) di Menara Eiffel malam hari dan disebar, itu melanggar hak cipta pemilik pertunjukan.”

Sementara itu, pakar hak cipta dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Henry Sulistyo menjelaskan, persoalan unggah ulang konten di YouTube masih terus terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Menurut dia, ketentuan penindakan hukum didasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berdasar delik aduan.

“Jangan harap polisi bertindak bila tidak ada pengaduan dari masyarakat,” ujar Henry saat dihubungi, Rabu (26/8).

Padahal, pembina Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) itu menyimpulkan, delik biasa bisa membuat polisi lebih mudah dan aktif menindak pelaku pembajakan, termasuk maling konten.

"Kalau pakai delik biasa, kontrolnya lebih mudah. Warga tinggal mengimbau polisi adanya masalah hak cipta konten, misalnya,” kata dia.

Di samping itu, sifat akses informasi digital yang cenderung bebas dan terbuka, membuat orang dapat dengan mudah mengunduh lantas membagikan kembali materi konten. Imbasnya, publik menjadi merasa tak menjadi persoalan untuk mengunduh dan menyebar beragam konten..

"Perilaku masyarakat yang bebas ini menjadi ekses berantai dari lemahnya hukum, sehingga tindakan reupload itu dianggap fine-fine saja," kata dia.

Infogafik reupload YouTube. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya keberpihakan negara kepada konten kreator. Seharusnya, menurut dia, intervensi dari lembaga pemerintah bisa berperan sebagai pengawas dan penindak konten-konten curian yang terserak di YouTube.

Misalnya, terang Henry, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat berkoordinasi dengan pihak YouTube dan konten kreator dalam menindak konten video yang pantas di-takedown.

"Tapi sejauh ini cara seperti itu hanya baru dilakukan untuk konten-konten pornografi dan bermuatan menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," ucapnya.

Henry menjelaskan, perbuatan menyiarkan ulang konten di media digital, bila dilakukan tanpa izin dari pencipta atau pemegang hal cipta, bisa dikenakan jerat pidana. "Pelaku yang me-reupload dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid