Pernah merasa tempat tinggal kamu bikin stres dan tak bahagia? Ternyata, kamu tak sendirian. Riset teranyar yang dilakoni para peneliti New Zealand Attitude and Values Study menemukan seberapa sering kita pindah tempat tinggal dan di mana kita tinggal turut mempengaruhi kesehatan mental kita.
Riset bertajuk "Environmental influences on mental health: eight-year longitudinal data show a bi-directional association between residential mobility and mental health outcomes" itu dilakoni Matthew Hobbs, Chris G. Sibley, Elena Moltchanova, dan Taciano L. Milfont. Riset itu sudah tayang di Jurnal Science Direct pada Juli 2025.
"Temuan ini memang terasa tak aneh... Tempat tinggal dan lingkungan natural membentuk perasaan seberapa aman, terlindungi, dan nyaman seseorang merasa," tulis Hobbs dan kawan-kawan seperti dikutip dari The Conversation.
Tapi, riset Hobbs cs tak sesederhana itu. Dalam penelitiannya, Hobbs dan kawan melacak kehidupan orang yang sama selama delapan tahun berturut-turut. Tak tanggung-tanggung, para peneliti mencari tahu situasi domestik yang dirasakan lebih dari 44.000 orang dewasa.
"Bagaimana kesehatan mental mereka berubah, apakah mereka pindah rumah, akses terhadap fitur-fitur lingkungan positif dan negatif, dan bagaimana area tempat mereka tinggal berubah, dilihat dari sisi kemiskinan, pengangguran, dan tingkat kepadatan penduduk," jelas para peneliti.
Selain itu, Hobbs cs juga mempertimbangkan faktor-faktor yang kerap dikaitkan sebagai penyebab gangguan mental, semisal usia, berat badan, kebiasaan olahraga. Semua faktor itu lantas disimulasi menggunakan bantuan sejumlah alat pembelajaran modern, khususnya algoritma Random Forest.
Hasilnya? Hobbs dan kawan-kawan menemukan umpan balik negatif (negative feedback loop). Itu istilah yang menunjukkan perubahan dalam suatu sistem justru memicu respons yang cenderung mengurangi atau menstabilkan perubahan tersebut.
"Orang-orang yang depresi dan mengalami kecemasan berlebihan cenderung pindah rumah dan mereka yang pindah rumah, secara rata-rata, lebih cenderung memburuk kesehatan mentalnya di masa depan," kata para peneliti.
Tak hanya itu, Hobbs dan kawan-kawan juga menemukan mereka yang punya problem kesehatan mental biasanya lebih sering pindah tempat tinggal. Selain itu, mereka juga kebanyakan malah pindah ke daerah yang lebih suram.
"Dengan kata lain, mereka yang kesehatan mentalnya buruk kerap berakhir di tempat tinggal yang sumber dayanya langka dan risiko stresnya jauh lebih tinggi," jelas para peneliti.
Kampung warna-warni di Malang, Jawa Timur. /Foto Unsplash
Tak semata soal lokasi
Situasi sebaliknya juga berlaku. Mereka yang punya kesehatan mental yang baik cenderung tak suka pindah-pindah tempat tinggal. Saat tinggal di permukiman yang tak ideal pun, kesehatan mental mereka bisa tetap terjaga.
Akan tetapi, tentu saja mereka yang tinggal di permukiman ideal, lengkap dengan beragam fasilitas, serta jumlah populasi yang seimbang cenderung punya kesehatan mental yang stabil.
"Temuan ini menantang gagasan bahwa kesehatan mental itu terkait erat dengan apa yang ada di dalam diri kita. Di mana kita tinggal mempengaruhi apa yang kita rasakan. Tetapi, bukan hanya bagaimana lingkungan mempengaruhi pikiran kita. Pikiran kita juga bisa membawa kita ke lingkungan berbeda," kata Hobbs dan kawan-kawan.
Salah satu temuan lain yang penting, kata Hobbs dan kawan-kawan, ialah mereka yang hidupnya sudah "susah" cenderung pindah tempat tinggal dan hidupnya malah lebih susah. Artinya, harus ada intervensi dari luar supaya kondisi kehidupan mereka lebih baik.
"Ini bukan hanya tentang pilihan individual. Ini juga tentang sistem yang kita bangun, pasar rumah, kesenjangan pendapatan, akses terhadap kesehatan, dan lainnya... Pada akhirnya, kesehatan mental tak hanya ada di pikiran saja, tapi juga berakar di tempat di mana kita tinggal," jelas Hobbs cs.