Membatalkan rencana atau canceled plans tanpa merasa bersalah, tampaknya menjadi hal lumrah di kehidupan sosial sebagian generasi Z. Sebagian dari mereka merasa, hal itu sebagai respons atas kebutuhan menjaga kesehatan mental.
Tara Wijaya, 22 tahun, melihat fenomena tersebut sebagai wujud dari fleksibilitas dan perhatian pada perawatan diri. “Banyak gen Z ngerasa lebih fleksibel dan mikirin keadaan diri sendiri. Kalau lagi capek atau mental enggak stabil, ya better stay di rumah,” ujar Tara kepada Alinea.id, Selasa (12/11).
Menurut Tara, pembatalan rencana bukan hanya soal kesehatan mental. Namun juga menunjukkan bagaimana prioritas hidup generasi Z yang lebih menghargai well-being—keadaan seorang individu yang digambarkan dengan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik.
“Lagian kita juga punya mindset kayak, life happens, gitu. Jadi, cancel plans sudah kayak hal yang biasa,” kata Tara.
Tara menilai, efek canceled plans seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, berteman menjadi lebih santai dan memahami batasan pribadi. Di sisi lain, terkadang ada teman yang kecewa atau merasa kita kurang serius.
“Tapi, gen Z generally ngerti kalau teman dekat kadang butuh waktu sendiri atau tiba-tiba mood drop. Jadi sudah lebih saling pengertian sih,” ujar Tara.
Dia yakin, fenomena canceled plans bakal menjadi bagian dari gaya hidup jangka panjang. Menurutnya, generasi Z hidup di era yang lebih cair. Maka, sikap membatalkan rencana sudah dianggap normal.
“Orang enggak bakal ngelihat ini aneh lagi ke depannya, sih. Apalagi kalau dunia makin fokus ke self-care dan fleksibilitas,” ucap Tara.
Sementara itu, psikolog klinis Talisa Carmelia memandang, kesehatan mental adalah hal yang dianggap penting bagi generasi Z. Maka dari itu, saat generasi Z membatalkan rencana karena ada kebutuhan menjaga kesehatan mental, hal itu dinilai tindakan yang tepat.
“Misalnya beristirahat karena sudah terlalu lelah dan stres dalam beraktivitas,” kata Talisa, Selasa (12/11).
“Hal ini wajar dan dibutuhkan setiap orang. Hanya saja, perlu diperhatikan frekuensi ini terjadi agar gen Z juga bisa mengetahui apakah mereka butuh bantuan lebih untuk menjaga kesehatan atau tidak.”
Di samping untuk menjaga kesehatan mental, faktor lain membatalkan rencana adalah mengikuti tren, seperti yang dilakukan influencer atau artis. Meski sebenarnya belum tentu membutuhkan waktu istirahat. Lalu, dorongan dari orang lain untuk membatalkan rencananya.
Meski begitu, Talisa mengingatkan, jika sering melakukan pembatalan rencana tanpa alasan yang kurang tepat, maka dalam jangka panjang bisa membuat individu menjadi kurang bertanggung jawab. Selain itu, perilaku ini pun bakal memengaruhi kualitas relasi dengan orang sekitar.
Pembatalan rencana secara terus menerus, kata Talisa, juga bisa memengaruhi kepercayaan antarteman, sehingga relasi menjadi lebih renggang. Semakin sering melakukan pembatalan, bisa semakin menimbulkan rasa tidak percaya.
“Menimbulkan impresi yang kurang baik bagi orang lain, misalnya kurang bisa menepati janji. Akhirnya dalam konteks bekerja, hal ini bisa memengaruhi kualitas kerja sama dalam tim,” tutur Talisa.
Karena itu, Talisa menyarankan, bagi generasi Z yang ingin tetap eksis dalam kegiatan sosial, tetapi juga ingin menjaga kesehatan mentalnya, untuk menentukan batas dalam berkegiatan sosial. Menurut dia, semua orang butuh waktu sendiri untuk beristirahat dan menenangkan diri.
“Selalu mengenali kondisi diri Anda, beraktivitas dengan prioritas yang sesuai kemampuan diri sendiri, dan membangun gaya hidup yang sehat sebagai faktor pendukung kesehatan mental,” kata Talisa.