sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Seberapa dahsyat pengaruh film Siksa Neraka?

Film Siksa Neraka diadaptasi dari komik populer karya MB Rahimsyah.

Rizkia Salsabila
Rizkia Salsabila Sabtu, 30 Des 2023 06:24 WIB
Seberapa dahsyat pengaruh film <i>Siksa Neraka</i>?

Beberapa waktu lalu, viral di media sosial pengakuan seorang waria yang ingin insaf usai menonton film Siksa Neraka di sebuah bioskop. Setelah itu, waria asal Indramayu tersebut benar-benar menepati janjinya. Dalam video viral lainnya, ia mengubah penampilan, mengenakan baju koko, sarung, dan peci.

Film Siksa Neraka yang disutradarai Anggy Umbara tersebut dirilis di bioskop pertama kali pada 14 Desember 2023. Film yang diadaptasi dari komik karya MB Rahimsyah yang populer pada dekade 1970-1990-an itu menampilkan adegan-adegan ngeri orang-orang yang disiksa dengan keji.

Singkatnya, film itu mengisahkan empat kakak beradik yang hidup di keluarga religius. Sedari kecil, mereka terbiasa mendengar kisah surga dan neraka. Suatu hari, mereka terkena musibah, terseret arus sungai yang deras kala akan pergi ke desa seberang. Mereka ditemukan meninggal dunia.

Saleh, yang diperankan Rizky Fachrel, tiba-tiba terbangun di dunia lain mirip neraka yang kerap diceritakan ayahnya. Saleh melihat aneka siksaan yang mengerikan. Kakak beradik itu saling mencari, sembari menghadapi siksaan.

Komik dan film

Kolektor dan pemerhati komik Indonesia, Iwan Gunawan mengatakan, sepengalamannya membaca komik Siksa Neraka ketika remaja memang membuatnya merasa takut. Ia sampai percaya penggambaran surga dan neraka dalam komik itu benar. Ditambah dengan guru agama yang memberikan deskripsi yang serupa dengan komik sewaktu mengajar di kelas. Komik itu pun akhirnya berpengaruh pada Iwan.

“Saya merasa takut untuk berbuat dosa. Teman-teman saya sebagian juga merasa seperti saya,” tutur Iwan kepada Alinea.id, Rabu (27/12).

Iwan menuturkan, penggambaran tubuh-tubuh manusia telanjang dalam kondisi tersiksa memuaskan rasa ingin tahu sebagian pembaca anak dan remaja. Secara visual, kata dia, hal itu cukup memengaruhi psikologis pembacanya.

Sponsored

“Ada sensai, rasa ngeri, menakutkan,” kata dia. “Cukup lama saya merasa menjalankan agama karena dihantui rasa takut akan disiksa seperti penggambaran dalam komik tersebut.”

Bagi Iwan, komik Siksa Neraka di zamannya begitu populer lantaran ada aspek keagamaannya. Komik tersebut, menurutnya, salah satu bentuk paling mudah untuk membuat anak dan remaja menjalankan ajaran agama.

“Sementara di sisi lain komik dianggap merusak moral karena berisi konten keduniawian, ada komik yang memiliki pesan seperti surga dan neraka yang memiliki tujuan ‘positif’,” ucap Iwan.

Iwan menuturkan, komik Siksa Neraka dahulu mudah didapatkan di toko-toko buku keagamaan. Komik itu pun salah satu jenis yang laku di pasaran dan bertahan cukup lama.

“Kalau diangkat ke film, saya kira dampaknya kurang lebih sama dengan komik secara psikologis sebagai unsur yang menakut-nakuti dan bisa jadi (penonton) ingin menemukan sensasi kengerian,” kata dia.

“Karena disebut sebagai alih wahana dari komik yang cukup legendaris, film Siksa Neraka bisa menarik perhatian banyak penonton.”

Film Siksa Neraka memang menarik perhatian penggemar film Indonesia. Baru sembilan hari penayangan di bioskop, film itu sudah ditonton lebih dari satu juta orang. Film itu pun menjadi film Indonesia yang berpredikat sebagai box office tahun 2023.

Sementara itu, menanggapi film Siksa Neraka yang disebut-sebut membuat orang yang habis menonton lalu tobat, pengamat budaya pop Hikmat Darmawan menyebutnya sebuah gimmick.

“Ini kan dari awal, waktu premiere (penayangan perdana) filmnya juga gimmick bahwa ayo tobat di bioskop,” tutur Hikmat, Kamis (28/12).

Gimmick juga dari komiknya itu sendiri, yang mengakar pada pikiran bahwa kalau orang itu ingin tobat, ya salah satu caranya adalah mengingat-ingat tentang siksa neraka.”

Ia menambahkan, dalam sejarah komik Indonesia, Siksa Neraka menjadi genre sendiri yang tak sekadar berhubungan dengan wacana dakwah, tetapi juga terkait dengan unsur yang jarang diakui, yakni penggambaran eksplisit penyiksaan sadis. Ia menyebutnya sebagai torture porn, yaitu pornografi kesadisan atau pornografi penyiksaan.

“Itu antara lain yang terkenal mengakar, kalau dalam sejarah ya di Amerika tahun 1950-an, ada periode (penerbit) EC Comics, yang gimmick genrenya itu ya siksa dan sadisme,” kata Hikmat.

Gambaran siksa neraka dalam imajinasi kolektif lainnya, menurut Hikmat, berasal dari Barat dan mitos atau kepercayaan China. Di agama-agama besar pun cukup lazim adegan-adegan siksa neraka yang mengakar menjadi imajinasi kolektif. Kemudian, diwujudkan dalam medium komik.

“Nah, memang fungsinya untuk menakut-nakuti, sehingga konotasinya kan paling gampang dicomot soal tobat,” tuturnya.

“Sekarang medium itu ada di film. Makanya ada gimmick yang sangat cocok, yaitu tobat di dalam bioskop.”

Menurut Hikmat, pengaruh film tersebut terhadap penonton masih mengacu teori lama yang dinamakan bullet theory, yang intinya menyebut media punya pengaruh layaknya peluru. Begitu ditembakkan, maka akan merusak atau berdampak kepada sasaran.

“Padahal pesan komunikasi itu bisa ditafsirkan banyak. Jadi, sebetulnya tidak se-bullet itu,” kata dia.

“Mau film, berita, atau televisi, ya sama saja. Walaupun memang ada kecurigaan, dugaan, atau perasaan kalau yang namanya audio visual itu lebih berpengaruh karena terasa lebih real.”

Ia melanjutkan, bisa jadi pengaruh film terhadap psikologis penonton tergantung genrenya. Sebab, katanya, setiap genre punya pakem masing-masing yang dibangun untuk mencapai tujuan tertentu.

“Entah tujuan cerita maupun efek emosional yang dimunculkan,” kata Hikmat.

Namun, menurutnya, ada genre-genre film yang memang diarahkan pada emosi-emosi mendasar. Hal itu biasanya menjadi andalan jika sebuah pasar film sedang surut. Ia meragukan film Siksa Neraka bakal menimbulkan trauma bagi penontonnya karena menonton adegan sadis.

“Atau malah membuat katarsis, memberikan kanal untuk penyaluran hasrat atau frustasi seksual, sosial, atau ekonomi ke dalam wahana yang dianggap tidak berbahaya,” ucap Hikmat.

Ukuran sadisme pun, katanya, sering kali berbeda-beda setiap waktu. Terkadang berkembang atau surut. Misalnya, ujar dia, berita-berita audio visual tentang pembantaian di Gaza, Palestina.

“Pembunuhan itu membuat trauma dan apakah trauma itu menjadi kita terganggu? Mungkin saja, tapi trauma yang sesungguhnya kan bukan pada footage, tapi pada orang-orang yang mengalaminya,” tutur Hikmat.

“Bagaimanapun, kita mesti membedakan apa yang kita lihat dengan apa yang kita alami.”

Berita Lainnya
×
tekid