close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi obesitas./Foto Joa70/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi obesitas./Foto Joa70/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Senin, 15 September 2025 13:08

Terlalu kurus bisa lebih cepat mati daripada kelebihan berat badan

Penelitian ini melibatkan puluhan ribu peserta di Denmark.
swipe

Sebuah penelitian baru yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan European Association for the Study of Diabetes (EASD) di Wina, Austria (15–19 September) menunjukkan, seseorang bisa saja “gemuk tapi tetap bugar.”

Penelitian ini melibatkan puluhan ribu peserta di Denmark. Hasilnya, orang dengan body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh dalam kategori kelebihan berat badan, bahkan sebagian yang termasuk obesitas, tidak memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dalam periode tindak lanjut selama lima tahun dibandingkan mereka yang memiliki BMI 22,5–<25,0 kg/m², yaitu batas atas kategori berat badan normal.

Menariknya, mereka yang memiliki BMI pada kisaran tengah hingga bawah berat badan normal (18,5–<22,5 kg/m²) justru lebih berisiko meninggal, sama halnya dengan individu yang berat badannya kurang.

“Baik kekurangan berat badan maupun obesitas adalah masalah kesehatan global yang serius,” ujar peneliti dari Steno Diabetes Center Aarhus, Rumah Sakit Universitas Aarhus, Denmark, Sigrid Bjerge Gribsholt, yang memimpin penelitian ini, dikutip dari Science Daily.

Menurutnya, obesitas dapat mengganggu metabolisme, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan memicu berbagai penyakit seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hingga 15 jenis kanker. Sementara itu, kekurangan berat badan sering kali berkaitan dengan malnutrisi, lemahnya daya tahan tubuh, serta kekurangan gizi penting.

Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda-beda mengenai kisaran BMI yang paling rendah risikonya terhadap kematian. Selama ini, BMI yang dianggap ideal berada di kisaran 20 hingga 25, namun angka tersebut mungkin meningkat seiring waktu berkat kemajuan medis dan perbaikan kesehatan masyarakat secara umum.

Gribsholt, peneliti dari Steno Diabetes Center Aarhus Jens Meldgaard Bruun, dan tim peneliti lainnya menganalisis data kesehatan dari 85.761 orang. Sebanyak 81,4% di antaranya perempuan, dengan rata-rata usia 66,4 tahun pada awal penelitian.

BMI adalah pengukuran yang membandingkan berat badan dengan tinggi badan. BMI 18,5 hingga <25 kg/m² dianggap normal; BMI <18,5 kg/m² dikategorikan berat badan kurang; BMI 25 hingga <30 kg/m² dianggap kelebihan berat badan; dan BMI ≥30 kg/m² dikategorikan obesitas.

Selama periode tindak lanjut, 7.555 peserta (8%) meninggal dunia. Hasil analisis menunjukkan, mereka yang berada dalam kategori berat badan kurang memiliki risiko kematian hampir tiga kali lipat (2,73 kali) dibandingkan dengan kelompok yang memiliki BMI sehat di kisaran 22,5 hingga <25,0 kg/m², yang digunakan sebagai populasi acuan.

Hasil penelitian juga menunjukkan, individu dengan BMI ≥40 kg/m², yang dikategorikan sebagai obesitas parah, memiliki risiko kematian lebih dari dua kali lipat (2,1 kali) dibandingkan kelompok referensi.

Namun, angka kematian yang lebih tinggi juga ditemukan pada kisaran BMI yang dianggap sehat. BMI 18,5 hingga <20,0 kg/m², yaitu batas bawah kategori berat badan normal, memiliki risiko kematian dua kali lipat dibandingkan kelompok referensi, sedangkan BMI 20,0 hingga <22,5 kg/m², kisaran menengah dalam kategori berat badan normal, memiliki risiko kematian 27% lebih tinggi.

Sebaliknya, mereka yang berada dalam kategori kelebihan berat badan (BMI 25 hingga <30 kg/m²) maupun bagian bawah kategori obesitas (BMI 30,0 hingga <35,0 kg/m²) tidak menunjukkan peningkatan risiko kematian dibandingkan kelompok referensi. Fenomena ini sering disebut “sehat secara metabolik” atau “gemuk tetapi bugar.”

Sementara itu, BMI 35 hingga <40,0 kg/m² dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian sebesar 23%. Semua hasil penelitian ini telah disesuaikan dengan faktor jenis kelamin, tingkat penyakit penyerta (komorbiditas), dan tingkat pendidikan.

Para peneliti mengaku terkejut dengan temuan ini. Mereka menemukan, risiko kematian tidak meningkat secara signifikan hingga BMI mencapai 35 kg/m², dan bahkan pada BMI 35 hingga <40 kg/m², peningkatan risikonya masih relatif kecil.

Gribsholt menjelaskan, salah satu kemungkinan yang dapat menjelaskan hasil penelitian ini adalah kausalitas terbalik.

“Beberapa orang mungkin mengalami penurunan berat badan akibat penyakit tertentu. Dalam kasus seperti ini, penyakit yang mendasarinya, bukan berat badan rendah itu sendiri, yang sebenarnya meningkatkan risiko kematian. Akibatnya, BMI yang lebih tinggi terlihat seolah-olah bersifat melindungi,” kata dia.

“Karena data kami berasal dari orang-orang yang menjalani pemeriksaan medis, kami tidak bisa sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan adanya pengaruh faktor ini.”

Gribsholt juga mengungkapkan kemungkinan lain. “Mungkin saja orang-orang dengan BMI lebih tinggi yang mampu hidup lebih lama memiliki faktor perlindungan tertentu yang membantu mereka tetap sehat, terutama karena sebagian besar peserta dalam penelitian ini sudah berusia lanjut,” tutur dia.

“Sejalan dengan penelitian sebelumnya, kami kembali menemukan bahwa berat badan yang terlalu rendah berkaitan dengan risiko kematian yang jauh lebih tinggi.”

Sementara itu, Jens Meldgaard Bruun menekankan, BMI bukanlah satu-satunya indikator untuk menilai apakah seseorang memiliki kadar lemak tubuh yang tidak sehat. “Distribusi lemak tubuh juga sangat penting,” ujar dia.

“Lemak visceral, yaitu lemak yang tersimpan di dalam rongga perut dan membungkus organ-organ dalam, sangat aktif secara metabolik dan dapat melepaskan senyawa yang merugikan kesehatan metabolisme.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan