sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengubah gaya rambut usai putus cinta adalah simbol perlawanan

Bukan sekadar gaya-gayaan, mengubah gaya rambut disebut sebagai simbol perlawanan.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 07 Jan 2024 06:28 WIB
Mengubah gaya rambut usai putus cinta adalah simbol perlawanan

Sebagian orang merasa putus cinta menjadi pengalaman yang sulit. Tak mudah melupakan segala kenangan yang pernah terjadi dengan mantan kekasih. Maka, cara unik dilakukan untuk mengatasi perasaan sedih dan kecewa. Salah satunya mengubah gaya rambut. Hal ini banyak dilakukan perempuan.

Survei All Things Hair menunjukkan, 70% dari 716 perempuan berusia 18 hingga 54 tahun di Inggris mengaku mengganti gaya rambut mereka setelah putus cinta. Lalu, sebanyak 66% responden mengaku mewarnai rambut mereka, 60% memotongnya menjadi lebih pendek, dan 22% memilih untuk punya poni.

All Things Hair pun menyebut, hasil riset menunjukkan 64% perempuan yang mengganti gaya rambut setelah putus cinta melakukannya untuk mencoba sesuatu yang baru, 48% melakukannya untuk membantu mereka melanjutkan hidup, dan 38% mengklaim kembali ke identitas mereka.

Mengubah gaya rambut pasca-putus hubungan pernah dilakukan selebritas dunia, termasuk penyanyi Amerika Serikat, Katy Perry pada 2017. Membuat tren ini semakin lazim terjadi.

Meski begitu, potret budaya pop tentang potongan rambut pasca-putus cinta perempuan cukup baru. Menurut penulis Sadie Stein dalam artikelnya di Jezebel, mengubah gaya rambut pada perempuan yang putus cinta baru ada pada abad ke-20. Sebelumnya, perempuan tak mengubah gaya rambut mereka, dengan alasan putus cinta.

Menurut Stein, tindakan katarsis pasca-perpisahan adalah fenomena baru yang populer terjadi sejak film-film remaja tahun 1980-an dan punya hubungan yang jelas dengan gerakan pembebasan perempuan. Ia menyebut, potongan rambut tokoh Margaret “Maggie” McKendrick, yang diperankan Maureen O’Hara dalam film The Parent Trap pada 1961 mungkin adalah yang pertama dalam konteks mengubah gaya rambut usai putus cinta.

“Memenuhi semua kriteria: hasil langsung dari putusnya hubungan, terinspirasi oleh semangat dan kemandirian, dan kebetulan, menyebabkan mantannya terpesona dan pacar barunya merasa terancam,” tulis Stein.

Namun, ternyata mengubah gaya rambut—entah itu dipotong, dibikin poni, atau diwarnai—punya pesan tersendiri. Dikutip State News, psikolog dari Michian State University, Ted Schwaba mengatakan, meski belum banyak penelitian yang dilakukan tentang orang yang mengubah penampilan mereka setelah putus cinta, tetapi masuk akal karena alasan ingin mendapatkan identitas baru.

Sponsored

Ketika berbicara tentang hubungan, kata Schwaba, orang sering menyatukan identitas diri mereka dengan pasangan. Hal ini membuat mereka sering merasa “tersesat” saat hubungan berakhir. Mengubah gaya rambut, menurut Schwaba bisa membantu memulihkan perasaan dengan menjauhkan diri dari orang yang dikenal selama berhubungan.

“Mengubah perilaku kecil, seperti gaya rambut, tidak akan mengubah kepribadian Anda. Tapi itu akan membantu Anda memandang diri sendiri sebagai seseorang yang terpisah dari hubungan masa lalu,” kata Schwaba.

Schwaba percaya, rasa untuk mengambil “kendali” diri sendiri juga memainkan peran penting. Beberapa perasaan seperti kecemasan dan depresi tak bisa diubah dengan cepat, seperti halnya rambut yang cepat tumbuh. Itulah mengapa mengubah gaya rambut dapat menjadi pilihan yang baik bagi mereka yang merasa sulit meraih kendali terhadap diri sendiri.

"Ada beberapa hal yang lebih simbolis, yang benar-benar mudah untuk diubah dalam diri kita dan mungkin itulah hal-hal yang paling disukai orang untuk diubah," ujar dia.

Kepada Times of India, psikolog klinis Seema Hingorrany menjelaskan, banyak perempuan merasa rambut mereka merupakan salah satu hal yang dapat mereka kendalikan sepenuhnya. Jadi, saat mereka memutuskan untuk memotong rambut, hal yang paling mereka rasakan adalah identitas baru yang lebih segar.

Sementara psikolog Patricia A. Farrell kepada Hello Giggles menerangkan, mengubah gaya rambut adalah salah satu cara termudah untuk melakukan perubahan.

“Potongan rambut yang dramatis akan menunjukkan keinginan untuk melakukan perubahan drastis dan kemudian menyesuaikan dengan kepribadian baru yang kita ciptakan,” tutur Farrell.

Lebih dari segala alasan tadi, mengubah gaya rambut merupakan bentuk perlawanan. Dilansir dari i-D vice, profesor psikologi dan penulis buku Beauty Sick: How the Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women, Renee Engeln mengatakan, perubahan radikal pada penampilan, termasuk mengubah gaya rambut, bisa menjadi cara untuk menyampaikan pesan bahwa seseorang juga membuat perubahan radikal dalam kehidupan.

“Bagi seorang peempuan yang melakukan perubahan besar dari rambut panjang menjadi rambut pendek setelah putus cinta, perubahan ini dapat menandakan penolakan terhadap norma-norma tradisional penampilan perempuan,” tutur Englen.

“Ini bisa menjadi cara kecil untuk menantang peran gender tradisional, juga tindakan kecil pemberontakan.”

Dikutip dari JSTOR Daily, sosiolog Yale University, Rose Weitz mengatakan, rambut bersifat publik dan pribadi. Karenanya, rambut merupakan hal yang penting dalam posisi sosial perempuan.

“Rambut merupakan ‘media’ bagi perempuan untuk melakukan perlawanan—meskipun perlawanan tersebut terbatas cakupannya,” tutur Weitz.

Weitz pernah mewawancarai 44 perempuan terkait gaya rambut mereka. Saat itu, ia menemukan, perempuan memanfaatkan rambut bukan cuma untuk berpartisipasi dalam budaya kecantikan tradisional dan menegaskan feminitas. Namun juga untuk memengaruhi cara orang lain memandang mereka sebagai perempuan.

“Seorang perempuan menggambarkan bagaimana ia memotong rambutnya, lalu mendapatkan kembali kasih sayang dari kekasihnya yang baru, yang lain menggambarkan bagaimana mewarnai rambutnya membuat ia dan orang lain dalam hidupnya melihatnya dengan cara yang berbeda,” kata Weitz.

Bagi Weitz, bagaimanapun, hubungan memiliki dinamika kekuasaan. Tubuh perempuan terkadang menjadi “kanvas”, tempat mereka melakukan perlawanan terhadap laki-laki. Di saat yang sama, perempuan mesti tunduk pada norma-norma budaya yang menuntut mereka menampilkan feminitas melalui busana, sikap, bahkan rambut.

Di sisi lain, penata rambut dari Little Axe Salon di Brooklyn, Amerika Serikat, kepada i-D vice menyarankan, jika ingin memotong rambut, setidaknya seorang perempuan harus menemukan tampilan yang akan membuatnya merasa percaya diri.

“Potongan rambut setelah putus cinta seperti mengatakan ‘f*ck you’ kepada orang itu (mantan),” ujar Alcatras. “Dan itu keren.”

Berita Lainnya
×
tekid