close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bayi yang lahir di sebuah rumah sakit di Vietnam. Foto: VNExpress
icon caption
Bayi yang lahir di sebuah rumah sakit di Vietnam. Foto: VNExpress
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 28 Juli 2025 14:03

Vietnam yang rindu melihat warganya melahirkan

Tetapi upaya meningkatkan angka kelahiran bukan perkara sederhana.
swipe

Vietnam sedang berada di persimpangan sejarah demografis. Untuk pertama kalinya, tingkat kelahiran di negara itu turun hingga menyentuh angka 1,91 anak per perempuan—angka yang secara diam-diam membawa Vietnam mendekati masa “penuaan dini” sebagai bangsa. Sebuah masa di mana lebih banyak warga lanjut usia yang bergantung pada generasi muda, sementara tenaga produktif semakin menipis.

Bagi pemerintah, angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah lonceng peringatan. Jika tren terus menurun, maka pada 2039 Vietnam akan keluar dari masa keemasan demografinya, dan mulai kehilangan keseimbangan antara usia produktif dan beban populasi. Ketika populasi menua, produktivitas bisa menurun, sementara kebutuhan sosial—seperti pensiun dan layanan kesehatan—semakin meningkat.

Tetapi upaya meningkatkan angka kelahiran bukan perkara sederhana. Banyak keluarga muda menunda memiliki anak—atau menolak menambah anak kedua—karena beban ekonomi, tekanan karier, hingga kurangnya dukungan sosial. Tak sedikit pula perempuan yang merasa bahwa tanggung jawab pengasuhan terlalu berat untuk ditanggung sendiri.

Maka Kementerian Kesehatan Vietnam mencoba menawarkan jawaban. Mereka mengusulkan serangkaian insentif—mulai dari cuti tambahan untuk ibu dan ayah, pemeriksaan kehamilan gratis, hingga subsidi makanan anak-anak prasekolah. Bahkan, bantuan tunai khusus diusulkan untuk perempuan yang melahirkan dua anak sebelum usia 35 tahun. Untuk serangkaian langkah itu, Kementerian mengusulkan biaya VND5,365 triliun (US$210 juta).

Ketimpangan gender

Namun, persoalan angka kelahiran tak hanya berputar pada jumlah. Ada juga masalah ketimpangan gender yang semakin mencolok. Tahun lalu, Vietnam mencatat rasio 111,4 bayi laki-laki untuk setiap 100 bayi perempuan. Sebuah angka yang jauh dari normal dan mencerminkan preferensi budaya yang masih memihak satu jenis kelamin.

Tanpa intervensi, ketimpangan ini dapat berdampak panjang. Proyeksi menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade ke depan, Vietnam bisa memiliki surplus jutaan pria usia menikah yang kesulitan menemukan pasangan. Dalam skenario terburuk, situasi ini bisa mendorong munculnya masalah sosial seperti perdagangan manusia, prostitusi, hingga kekerasan berbasis gender.

Upaya mengatasi krisis ini tentu tak bisa hanya bergantung pada angka dan anggaran. Ada hal yang lebih sulit namun sangat krusial: mengubah pola pikir masyarakat.

Mai Xuan Phuong, mantan pejabat senior di Kementerian Kesehatan, menyampaikan bahwa kebijakan insentif saja tidak cukup. Yang juga dibutuhkan adalah perubahan paradigma. Ia menekankan pentingnya pendidikan publik yang mengajarkan bahwa membesarkan anak bukan hanya tugas perempuan, tetapi tanggung jawab bersama. Bahwa memiliki anak bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga bagian dari kontribusi terhadap masa depan bangsa.

"Dari segi kebijakan, harus ada dukungan keuangan dan kesejahteraan bagi keluarga dengan anak, seperti tunjangan persalinan, terutama untuk anak kedua, pengurangan pajak, bantuan perumahan, dan pinjaman rumah yang menguntungkan bagi keluarga dengan anak kecil," kata Phuong.

"Yang sama pentingnya adalah mengubah sikap publik untuk mengurangi ketakutan seputar memiliki anak," ujarnya.

"Masyarakat harus mengubah persepsi tentang pengasuhan anak menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orang tua, alih-alih membebankan beban penuh pada perempuan. Anak-anak muda perlu dibimbing tentang nilai keluarga dan persalinan agar mereka memahami bahwa "memiliki anak adalah tanggung jawab, kewajiban, dan hak," imbuh dia.

Menurut Phuong itu termasuk memperkenalkan pendidikan seks dan keterampilan mengasuh anak di tingkat sekolah menengah atas untuk membantu kaum muda mengembangkan pola pikir dan persiapan yang dibutuhkan untuk menikah dan membesarkan anak.

Vietnam tidak sendiri dalam pergulatan ini. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok juga mengalami penurunan fertilitas tajam, meskipun telah menggelontorkan kebijakan dan dana besar untuk mendorong angka kelahiran. Namun hingga kini, belum satu pun yang berhasil membalikkan tren secara signifikan. (vnexpress)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan