

Will Goodge dan lari melintasi Australia: Saat kesakitan berubah jadi misi cinta

Di hari-hari awal tantangannya, Will Goodge merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak ada habisnya. Setiap harinya hanyalah pengulangan tanpa henti: bangun, berlari, makan, berlari lagi, makan, dan akhirnya mencoba tidur. Tapi bahkan saat matanya terpejam, tidur tak pernah benar-benar hadir. Yang datang justru demam, kegelisahan, dan halusinasi yang membingungkan—seperti mimpi yang menyusup ke dalam kesadaran.
“Saya merasa terjebak dalam rutinitas yang sesak, meskipun saya sedang berada di hamparan luas Australia,” kata Goodge kepada CNN Sports. “Langit terbuka, tanah membentang sejauh mata memandang, tapi di dalam diri saya, rasanya sempit dan mengurung.”
Saat itu, ia baru berada di hari ke-9 dari perjalanannya menyusuri Australia dari barat ke timur. Ribuan kilometer masih terbentang di depan, dan tubuhnya telah mulai memberontak: otot-otot nyeri, tulang terasa dihantam, dan mentalnya mulai goyah. Tapi di hari ke-10, segalanya mulai berubah. Badannya mulai beradaptasi. Malam tak lagi terasa selama dulu. Rute sejauh 68 mil per hari—setara dua setengah maraton—meskipun tetap berat, mulai terasa sedikit lebih bersahabat.
Dalam 35 hari, Goodge menuntaskan 2.387 mil (3.841 km) dari Perth menuju Bondi Beach, Sydney. Di sana, di bawah sorotan kamera dan di hadapan ratusan orang yang menyambutnya, ia menyelesaikan misinya. Jika disahkan, catatan waktunya akan mengalahkan rekor sebelumnya yang dicetak Chris Turnbull pada 2023—39 hari, 8 jam, dan 1 menit.
“Ini luar biasa,” katanya. “Seolah semua penderitaan yang saya alami selama berminggu-minggu meledak dalam satu momen pelepasan. Saya menangis saat menyampaikan pidato di Bondi. Bukan hanya karena bahagia, tapi juga karena semua emosi itu tumpah jadi satu.”
Tepat di akhir tantangannya, Goodge meletakkan buket bunga di pasir pantai Bondi—sebuah penghormatan untuk sang ibu yang wafat karena kanker limfoma Non-Hodgkin pada tahun 2018. Di sanalah akar dari seluruh perjalanan ini dimulai.
Motivasi di balik langkah
Goodge bukan hanya berlari untuk memecahkan rekor. Ia berlari demi ibunya. Ia berlari untuk mengenang, menyembuhkan, dan memberikan makna pada rasa kehilangan. Selama perjalanan, ia juga menggalang dana bagi tiga badan amal kanker di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
“Melihat ibu saya bertarung melawan kanker dari dekat, terutama di hari-hari terakhirnya, memberi saya perspektif berbeda tentang rasa sakit,” ujarnya. “Apa yang saya alami hanyalah rasa lelah yang saya pilih sendiri. Sementara ibu saya tidak punya pilihan.”
Setiap kali pikirannya mulai goyah atau tubuhnya memberontak, ia mengingat wajah ibunya. Dan itu cukup untuk membuatnya melangkah lagi.
Rutinitas harian di tengah tantangan
Setiap hari dimulai pukul 4 pagi. Sang ayah menyiapkan sereal dan kopi hitam, lalu pelatihnya memasang strapping di kaki dan memijat bagian-bagian tubuh yang nyeri—terutama jari-jari kakinya yang, menurut Goodge, “benar-benar kelelahan.”
Ia lalu mulai berlari di blok pertama saat langit masih gelap. Setiap 7 mil, ia berhenti untuk mengisi tenaga: smoothie, pasta, nasi, sandwich, atau yogurt dengan madu. Di penghujung hari, ia mandi dan makan malam bersama tim. Kadang, ia merayakan pencapaian harian dengan satu atau dua bir dingin.
“Itu semacam penyeimbang antara kegilaan fisik dan rasa normal yang kecil,” kata Goodge. “Bukan hanya lari, makan, lari, makan, lari, lalu tidur. Ada jeda, ada kemanusiaan di situ.”
Tapi tubuh tetap menanggung akibatnya. Ia kehilangan lebih dari 10 kilogram berat badan, mengalami pembengkakan tendon Achilles, nyeri tulang kering, dan kaki yang terus-menerus bengkak.
Keraguan dan tuduhan
Meski mendapat dukungan luas—bahkan dari pelari legendaris Kenya, Eliud Kipchoge—Goodge juga menghadapi badai keraguan. Beberapa kalangan komunitas pelari ultra mempertanyakan kecepatan dan data detak jantung yang ia unggah ke Strava. Ada yang menganggap pencapaiannya terlalu mulus.
Will Cockerell, seorang penulis dan pelari dari Inggris, bahkan terbang ke Amerika saat Goodge melakukan tantangan sebelumnya dari Los Angeles ke New York. Ia ingin memastikan Goodge benar-benar berlari sendiri dan tidak berbagi jam tangan pelacak dengan timnya—praktik yang disebut “watch muling.”
Goodge membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyebut kritik itu tidak berdasar dan menyakitkan, terutama karena ia melakukan semua ini untuk mengenang ibunya. “Saya jijik saat ada yang menyangka saya memanfaatkan kematian ibu saya untuk mencari perhatian. Itu sangat menjijikkan.”
Meski demikian, ia mengakui dirinya memang berbeda dari pelari ultra pada umumnya. Bertubuh lebih besar, berlatar belakang sebagai pemain rugby dan model, serta dikenal karena gaya hidup glamor di media sosial, Goodge tidak selalu disambut hangat di komunitas lari ekstrem.
“Saya tidak terlihat atau berperilaku seperti pelari ultra, dan saya sadar itu,” ujarnya. “Tapi saya tidak harus cocok dalam satu kotak.”
Langkah berikutnya
Kini, setelah tantangannya selesai, Goodge dan timnya tengah mengajukan bukti ke Guinness World Records. Mereka menyusun laporan, mengumpulkan saksi, dan mengunggah data dari aplikasi pelacak untuk validasi.
Sementara itu, ia belum memiliki rencana besar lain—mungkin sebuah event tim di Islandia pada Agustus. Tapi jika suatu hari ia kembali menantang batas fisiknya, motivasinya akan tetap sama: ibunya.
“Dalam setiap langkah, saya merasakan kehadirannya,” kata Goodge. “Hubungan itu nyata, dalam, dan sangat berarti. Mungkin itu sebabnya saya akan terus melakukannya lagi.” (cnn)


Tag Terkait
Berita Terkait
Paket makanan yang aneh, tanggal kedaluwarsa dicetak langsung di nasi
Mal Shark Jaw: Antara modernisasi dan hilangnya narasi kolektif kota Hanoi
Kisah pelari ultra yang menyusui di tengah lomba dan tetap juara
5 tips untuk mengingat dan tidak mudah lupa

