close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kolase foto penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono (kiri) dan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan). Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Kolase foto penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono (kiri) dan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan). Alinea.id/Firgie Saputra
Infografis
Sabtu, 26 November 2022 15:24

Sepak terjang Heru di DKI

Heru mengeluarkan kebijakan yang terkesan berkebalikan dengan arah kebijakan Anies Baswedan.
swipe

Baru sekitar sebulan dilantik jadi penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono mengeluarkan sejumlah kebijakan dan terobosan untuk membenahi ibu. Ironisnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan arah kebijakan pendahulunya, Anies Baswedan.

Selang beberapa hari setelah dilantik, misalnya, Heru memutuskan kembali membuka posko pengaduan publik di Balai Kota. Posko semacam itu merupakan program peninggalan Pemprov DKI era Jokowi-Ahok. Pada era Anies, posko tersebut ditiadakan. 

Her juga merencanakan kembali menghijaukan kawasan Monas. Ratusan pohon yang ditebang Anies dalam program revitalisasi Monas bakal ditanam kembali oleh Heru. Sebelumnya, Anies berencana bikin Monas jadi plaza beralas beton.

Tak hanya itu, Heru juga memutuskan menyetop pembangunan jalur sepeda yang baru. Anggaran untuk "persepedaan" hanya untuk pemeliharaan, evaluasi, dan sosialisasi. Sebelumnya, Anies menargetkan jalur sepeda sepanjang 535,68 kilometer pada 2026.

Peneliti Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Siti Zuhro menganggap wajar jika kebijakan-kebijakan Heru yang terkesan kontra Anies memicu kontroversi. Menurut dia, para penjabat seharusnya hanya menjalankan program-program yang dirancang kepala daerah sebelumnya. 

“Jadi, keputusan politik top down-nya seperti itu. Katakanlah, men-delete atau meniadakan kebijakan yang sudah dilakukan atau tidak melanjutkan sama sekali dan bahkan mengubah. Yang sudah jadi, itu dibongkar. Itu satu contoh. Itu kan memakan waktu,” jelas Zuhro saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/11). 

Dia mengingatkan legitimasi Pj kepala daerah hanya top-down alias harus sesuai dengan arahan pemerintah pusat. Itu tak seperti kepala daerah definitif yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada. 

“Jadi, ini juga yang harus diperhitungkan, bahwa Pj tidak hanya menjaga polarisasinya dengan DPRD. Katakan, mungkin, dengan ketua DPRD oke, tapi juga dengan rakyat,” jelasnya. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra
 

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan