sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Awalil Rizky

Apa kabar keseimbangan primer?

Awalil Rizky Rabu, 13 Mei 2020 12:03 WIB

Pemerintah Indonesia sudah lama “gali lubang tutup lubang” dalam soalan utang. Sejak realisasi APBN alami defisit, yang berarti pendapatan lebih kecil dari belanja. Untuk belanja tidak mencukupi, bagaimana mungkin pendapatan dipakai melunasi atau membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo. Hanya bisa dilakukan dengan berutang lagi.

 Sumber data: Kementerian Keuangan,diolah;2020; outlook

Fenomena itu terkonfirmasi pula dari posisi utang yang terus bertambah tiap tahun. Jika sebagian saja dari utang dapat dibayar dengan pendapatan, maka posisi utang akan berkurang.

Kondisi makin memburuk sejak 2012, ketika bukan hanya pelunasan utang lama dengan utang baru. Melainkan sebagian bunga dibayar dengan utang baru. Fenomena ini ditunjukkan oleh apa yang dikenal sebagai keseimbangan primer (KP) dalam postur APBN.

Arti penting keseimbangan primer dalam analisa fiskal dan penilaian kesehatan APBN pada suatu tahun membuatnya tercantum dalam postur yang dikemukakan kepada publik. Istilah itu sempat dikenal cukup luas pada 2018 dan 2019, ketika topik utang pemerintah sedang mengemuka.

Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka KP akan positif. Masih tersedia dana atau sebagian dana membayar bunga utang.

Sebaliknya, jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka KP bernilai negatif. Sudah tidak tersedia dana untuk membayar bunga utang. Sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.

Pada periode 2000 hingga 2011, KP selalu bernilai positif. Sejak 2012 hingga 2018 tercatat selalu negatif. Nilai negatifnya sempat meningkat pesat. Pada 2018 sempat turun drastis, karena pendapatan tumbuh tinggi dan defisit dapat ditekan.

Sponsored

Optimisme pemerintah kemudian menggelembung. APBN 2019 dirancang agar KP mendekati nol rupiah, hanya minus Rp20,1 triliun. Bahkan, dikedepankan menjadi argumen klaim sebagai APBN yang sehat. Realisasinya ternyata kembali meningkat menjadi minus Rp77,5 triliun.

Pemerintah masih bersikeras KP dapat ditekan kembali dalam APBN 2020. Targetnya hanya minus Rp12 triliun. Artinya, dari pembayaran bunga utang yang direncanakan sebesar Rp295,21 triliun, hanya senilai KP itu yang dibayar pakai utang baru.

Pandemi Covid-19 memaksa postur APBN berubah drastis. Pendapatan diprakirakan merosot, dan butuh berutang lebih banyak. Sebagian utang baru telah berbiaya bunga pada 2020. Baik dalam konteks yield ketika SBN diterbitkan, maupun pembayaran bunga selanjutnya. Ada seri yang bunganya dibayar tiap 3 atau 6 bulan. Bahkan, pembayaran bunga SBN ritel dilakukan tiap bulan.

Akibatnya, pemerintah memprakirakan pembayaran bunga utang bertambah hingga mencapai Rp335 triliun pada 2020. Oleh karena pendapatan yang merosot tajam, maka nilai minus dari KP diperkirakan mencapai Rp517,8 triliun.

Jika target outlook APBN 2020 dari pemerintah itu tercapai, maka menjadi KP bernilai negatif terbesar sepanjang sejarah APBN. Seluruh bunga utang dibayar dengan utang baru. Bahkan, seluruh pelunasan, cicilan dan bunga utang akan dibayar dengan utang baru.

Kondisi lebih buruk masih mungkin terjadi, jika melihat perkembangan terkini dari pandemi dan dampaknya atas perekonomian. Realisasi pendapatan negara mungkin lebih rendah dari target outlook APBN 2020 yang sebesar Rp1.760,9 triliun.

Ditambah faktor penerbitan SBN selama April hingga pertengahan Mei yang menunjukkan yield yang amat tinggi. Tampaknya, lebih tinggi dari prakiraan. Pembayaran bunga akan meningkat dan dapat mencapai kisaran Rp350 triliun. KP nya pun akan minus mendekati nilai Rp600 triliun.

Kajian ilmiah tentang utang menjelaskan bahwa kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, amat menentukan kesinambungan fiskalnya. Dikatakan kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru.

Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah.

Hal ini tentu disadari pemerintah. Terbukti dari target APBN beserta narasi argumennya dalam Nota Keuangan, yang menargetkan KP menjadi surplus, setidak hanya sedikit defisit atau nilai negatif yang kecil.

Dalam narasi RPJMN 2020-2024 dikatakan bahwa pemerintah berkomitmen menjaga kesinambungan fiskal dengan APBN yang sehat, seraya tetap memberikan stimulus terhadap perekonomian. Salah satunya ialah mengarahkan keseimbangan primer menuju positif dengan rata-rata 0,1%-0,3% dari PDB selama periode lima tahun ke depan.

Outlook APBN 2020 jauh dari arah tersebut. Besar kemungkinan APBN hingga dua atau tiga tahun ke depan juga masih menanggung beban berat. Pembayaran bunga utang akan makin membebani, sedang perekonomian masih butuh waktu untuk pemulihan. Ketika pendapatan negara masih akan terkendala, pemerintah justru diharapkan terus memberi stimulus melalui belanjanya.

Kesinambungan fiskal akan mendapat tantangan sangat berat. Jika perhitungan pemerintah tidak cermat, dan kebijakan kurang tepat, maka yang terjadi adalah kesinambungan utang.

Pemerintah butuh bantuan dan koordinasi yang kuat dan sinergis dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan mengatasi tantangan berat ini. Dan segala pertimbangan kebijakan sebaiknya disampaikan secara lebih terbuka kepada publik, agar bisa diawasi bersama. Hal ini menyangkut nasib bangsa lintas generasi.

Berita Lainnya
×
tekid