sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Diskursus intelektual dapat diatmosferi Dewan Pers, itu harapan Mohammad Nuh

Diskursus itu berupa, satu mencemooh yang lain, dan seterusnya. Sehingga tercipta diskursus sinistik.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Jumat, 27 Mei 2022 19:45 WIB
Diskursus intelektual dapat diatmosferi Dewan Pers, itu harapan Mohammad Nuh

Ketua Dewan Pers 2019-2022 Prof Mohammad Nuh resmi menyerahkan jabatannya kepada Prof Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers 2022-2025 di Jakarta, Rabu (18/5). Pada prosesi yang dihadiri insan pers, Nuh meresapi kebahagiaan tersendiri bisa mengakhiri suatu masa bakti dalam keadaan tidak ditanya-tanya.

"Karena ada kalanya begitu mengakhiri masa bakti pakai ditanya. Apalagi yang bertanya di kepolisian atau di kejaksaan," selorohnya, disambut tawa insan pers.

Nuh sendiri mengapungkan satu harapan. Katanya, kita ini sekarang sedang terjebak di satu diskursus yang istilah gampangnya itu: tidak bermutu.

Diskursus itu berupa, satu mencemooh yang lain, dan seterusnya. Sehingga tercipta diskursus sinistik. Akhirnya berujung ke kepolisian (karena pihak yang dicemooh mengadukan.)

Nuh menilai, kalau bangsa ini terjebak di situ saja, tidak akan pernah bertambah pintar. Jadi, mencerdaskan kehidupan bangsa itu tidak mungkin kalau diskursus itu yang saling menghina, sinistik, dan seterusnya.

"Kita rindu ada diskursus yang sifat intelektuilnya kuat. Jadi saling memberikan background akademiknya apa, latar belakangnya apa, kajiannya apa, sehingga itu nanti yang akan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa ini," katanya.

Harapannya, Dewan Pers ke depan bisa mengantarkan dan bisa menciptakan atmosfer yang berupa diskursus intelektual. Oleh karena itu, dia sangat yakin dan mendoakan, mendukung sepenuhnya, untuk terciptanya iklim atmosfer di mana diskursus intelektual bisa tumbuh dengan baik.

"Tidak usah khawatir kalau terhadap persoalan. Pasti ada persoalan. Tidak usah khawatir kalau persoalan itu akan habis, tidak akan habis, pasti akan bertambah," ujarnya.

Sponsored

Menurut Nuh, rumus social complexity itu pasti lebih cepat dibandingkan cognitive capacity. Persoalan kompleksitas sosial lebih cepat dari pemahaman manusia. Social complexity itu mau tidak mau ada delta, atau daerah misteri.

"Sehingga kalau kita mengurus Dewan Pers, syarat pertama adalah tidak boleh khawatir. Tidak usah khawatir akan kehabisan persoalan. Siapapun yang nanti melanjutkan, akan masih ada pekerjaan," selorohnya, kembali disambut tawa insan pers.

Dalam pandangannya, salah satu pekerjaan yang di depan mata, yaitu migrasi dari physical space ke cyber space. Kalau 20 tahun lalu, dunia media Indonesia masih didominasi pada wilayah physical space. Koran, cetak, itu mudah untuk mengelolanya apabila dilihat sekarang. (Tapi) kalau dilihat (dari kaca mata) dulu juga susah itu.

Tapi sekarang ini sudah ada tambahan lagi, yaitu migrasi ke cyber space. Era online, digital, media sosial, dan seterusnya. "Sehingga ada baiknya mulai direnungkan betul dengan baik bagaimana Dewan Pers bisa berkontribusi untuk memberikan wilayah yang ada di dalam medsos itu bukan wilayah yang sangar, gersang, tapi wilayah yang subur untuk memperkuat kebangsaan kita dan kenegaraan kita," sarannya.

Jika ranah itu tidak dikelola, dijabarkannya, kalau kita hanya bertaruh pada wilayah-wilayah yang konservatif, yaitu hanya wilayah yang taruhlah hanya cetak dan online, yang terdaftar. "Siapa yang mengurus sebelah sini? Lahan ini siapa yang mengurus? Kita biarkan atau kita ikut bersama dengan komponen yang lain?" tanyanya.

Nuh merasa tidak boleh ada wilayah media yang tidak ada penanggung jawabnya. Oleh karena itu, dia berharap, semoga Azul (Arif Zulkifli, anggota Dewan Pers 2019-2022 yang terpilih kembali 2022-2025) dan teman-teman sekalian bisa membawa Dewan Pers dan dunia media, khususnya kemerdekaan pers, yang berkualitas akan bisa terwujud.

"Syahadat-nya dunia media atau pers itu kan kemerdekaan pers? Ke sana kemari bagaimana ceritanya supaya kemerdekaan pers terjaga. Tapi kita tidak ingin kemerdekaan pers demi kemerdekaan itu sendiri," seru Nuh.

Ditambahkannya, kemerdekaan pers harus terus-menerus didorong supaya lebih berkualitas. Dan bukan untuk kemerdekaan itu sendiri. Tetapi untuk memajukan bangsa dan negara. Dari situlah, maka mau tidak mau kualitas dari para jurnalis harus naik. Maka gagasan untuk menyiapkan jurnalis spesialis, wartawan spesialis, itu menjadi sangat relevan supaya kawan-kawan media tidak hanya menyajikan satu data atau paling banter sampai di informasi (belaka).

"Tapi kita ingin teman-teman sekalian itu mampu menyajikan data sekaligus mampu mengkonversi jadi informasi, sekaligus juga mampu mengkonversi jadi knowledge (pengetahuan). Maka, kalau itu bisa kita dapatkan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu akan bisa kita raih," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid