sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

LBH Pers: Kekerasan pada jurnalis pada 2020 naik 32%

Bentuk kekerasan yang paling tinggi adalah intimidasi atau kekerasan verbal serta penganiayaan.

Zahra Azria
Zahra Azria Rabu, 27 Jan 2021 16:54 WIB
LBH Pers: Kekerasan pada jurnalis pada 2020 naik 32%

Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin melakukan monitoring kekerasan terhadap jurnalis, dengan berbasis media pemberitaan dan pendataan melalui pengaduan yang masuk dan konfirmasi. 

“Dari media pemberitaan yang kami kumpulkan dan finalisasi di pertengahan Desember, terkumpul 117 kasus. Ini naik 32% dari 2019,” kata Ade pada Rabu (27/01) siang.

Dari 117 kasus selama 2020, sebanyak 99 adalah wartawan, 13 adalah pers mahasiswa, dan enam media. 

Ade mengatakan 2020 merupakan tahun terburuk sepanjang pascareformasi karena catatan angka kekerasan terhadap jurnalis sangat tinggi. Bentuk kekerasan yang paling tinggi adalah intimidasi atau kekerasan verbal serta penganiayaan.

“Masih cukup sering kita temukan ketika jurnalis melakukan peliputan demonstrasi atau melakukan investigasi, mengalami kekerasan fisik terkait penganiayaan,” ujar Ade.

Kemudian kekerasan mengenai perampasan atau perusakan alat kerja seperti kamera, telepon genggam, kartu memori. Bentuk kekerasan lainnya adalah pemaksaan atau penghapusan,

“Alatnya diambil, kadang dirusak, kemudian dihapus. Biasanya permintaan penghapusan hasil liputan karena mereka meliput tindak kekerasan,” imbuh Ade.

Menurut Ade hal ini seringkali terjadi bahkan mungkin pelakunya tidak mengetahui penghapusan dari karya jurnalistik dan penghapusan hasil liputan itu bagian dari suatu pelanggaran Undang-Undang Pers.

Sponsored

Terkait dengan kekerasan berupa penangkapan jurnalis, Ade mengungkapkan sepanjang 2020 ini menemukan kasus penangkapan, berjumlah 19 kasus.

“Terlepas akan bebas atau akan diproses itu beda soal. Tetapi dari permasalahan penangkapannya saja itu sudah menjadi pelanggaran kebebasan pers. Soal bagaimana jurnalis itu bisa kerja dengan aman. Jadi seharusnya ini tidak ditangkap,” kata Ade.

Ade mencontohkan kasus di Jakarta. LBH Pers mendampingi jurnalis yang ditangkap oleh aparat padahal jurnalis tersebut sudah menggunakan identitas yang lengkap seperti ID Card.

Dalam monitoring ini LBH memasukkan pers mahasiswa sebagai bagian dari komunitas pers, karena LBH melihat cukup banyak serangan terhadap pers mahasiswa.

“Padahal kalau kita lihat dari aspek hukumnya, pers mahasiswa ini merupakan komunitas pers yang paling rentan. Kalo pers mainstream umumnya mereka sudah dilindungi Undang-Undang Pers karena sudah memiliki badan hukum. Tetapi kalo pers mahasiswa secara hukum tidak dilindungi Undang-Undang pers,” ujar Adi.

 

Berita Lainnya
×
tekid