sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Masalah komunikasi publik pemerintah, manajemen krisis intinya komunikasi

Happy mengutip Timothy Coombs, inti dari manajemen krisis sebenarnya adalah komunikasi.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 09 Jun 2022 16:42 WIB
 Masalah komunikasi publik pemerintah, manajemen krisis intinya komunikasi

Sejak muncul gejala darurat kesehatan, yaitu di masa sebelum ditetapkannya pandemi, terjadi masalah komunikasi pemerintah. Akhirnya pandemi Covid-19 terjadi. Pemerintah pun menetapkan krisis atau situasi darurat kesehatan.

Dilatari hal itu, Happy Indah Nurlita Goeritman menunaikan penelitian bertajuk 'Faktor Budaya pada Konstruksi Pesan Risiko dalam Komunikasi Krisis oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19'.

"Pemerintah pada waktu itu dihadapkan pada tantangan komunikasi publik di masa krisis, yang tentunya penanganannya tidak bisa dilakukan dengan komunikasi publik yang biasa, tetapi harus menggunakan komunikasi krisis, yang (perlu) ditangani dengan baik," kata Happy dalam serial seminar nasional Departemen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Jumat (3/6).

Happy mengutip Timothy Coombs, inti dari manajemen krisis sebenarnya adalah komunikasi. Sedangkan inti dari komunikasi itu adalah pesannya. Namun komunikasi krisis ternyata bukan hanya tentang strategi menyampaikan pesan, tapi juga harus melihat bagaimana kita membentuk pesan yang nantinya dapat mempengaruhi publik untuk mengambil keputusan yang bijak di masa krisis.

"Fakta yang terjadi adalah di awal masa pandemi sudah muncul banyak kritik dari berbagai kalangan maupun itu akademisi, politisi, dan lain sebagainya, tentang buruknya komunikasi publik pemerintah terkait penanganan Covid-19, yang akhirnya kemudian memiliki dampak yang kita lihat kemarin di awal-awal krisis itu ada panic buying, kemudian ada stigmatisasi, ada pengabaian terhadap risiko penularan, dan sebagainya," sambung Happy, alumnus Pascasarjana Ilkom UI.

Diuraikan bahwa latar belakang lainnya juga, yakni pesan risiko yang kemudian disampaikan kepada masyarakat agar dengan pesan tersebut seharusnya masyarakat bisa memiliki efikasi diri yang cukup untuk menghadapi potensi penularan Covid-19, melakukan kepatuhan terhadap apa yang direkomendasikan oleh pemerintah dalam menghadapi krisis.

Happy menunjukkan beberapa contoh yang pernah dikomunikasikan oleh pejabat-pejabat publik mewakili pemerintah waktu itu. Tapi, kemudian yang dampaknya malah menciptakan kebingungan di masyarakat.

"Misalnya saja, kita sebut, Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bilang bahwa warga Indonesia itu kebal virus korona karena sering minum jamu. Padahal tidak sepenuhnya benar juga. Bahkan akhirnya kemudian masyarakat menelan (pesan) ini mentah-mentah dan kemudian lebih memilih minum jamu daripada pakai masker," cetus Happy.

Sponsored

Menurut Happy, pesan seperti itu yang kemudian harus diluruskan. Alasannya, komunikasi di masa krisis dilakukan untuk menyediakan informasi apa yang harus kita lakukan, apa yang perlu dihindari, juga untuk mengurangi kecemasan masyarakat, dan tentunya itu harus dilakukan secara tepat dan konsisten sesuai dengan perubahan situasi krisis yang dialami.

"Salah satu yang paling rumit dalam penyampaian pesan risiko atau pesan krisis ini adalah kita berkomunikasi dengan komunitas yang berbeda-beda. Beda ras, beda etnis, latar belakang, bahkan beda pendapatan ekonomi, itu juga sangat berpengaruh," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid