sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Media sempat ikut panik saat Covid-19 mulai menyerang Indonesia

Pertama, media sebenarnya sudah memberikan semacam peringatan bahwa mungkin krisis kesehatan akan terjadi di Indonesia.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Senin, 23 Mei 2022 19:42 WIB
Media sempat ikut panik saat Covid-19 mulai menyerang Indonesia

Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada tampak beberapa dampak atau kualitas jurnalisme yang dihasilkan oleh para jurnalis dalam kondisi pandemi Covid-19.

Pertama, media sebenarnya sudah memberikan semacam peringatan bahwa mungkin krisis kesehatan akan terjadi di Indonesia. Diketahui virus korona pertama kali terjadi di Wuhan, China. Sejak di Wuhan berbentuk pneumonia misterius itu pun sudah diberitakan sampai di Indonesia. Mungkin juga karena wilayah geografis China dengan Indonesia yang dekat.

"Tapi dinilai bahwa media gagal menggambarkan skala krisis yang akan terjadi di Indonesia. Kemudian media justru terlarut dalam teori-teori konspirasi. Seperti virus Corona itu misalnya adalah senjata biologis dari China dan segala macam. Isu itu sangat sulit sekali diverifikasi saat itu," kata Irwan Nugroho, redaktur pelaksana indepth content Detikcom.

Karena narasumber berita Covid-19 banyak berasal dari pemerintah kemudian seolah-olah media menyuarakan narasi pemerintah di dalam persoalan pandemi. Media juga menyambut hoaks dan misinformasi yang beredar banyak sekali di media sosial. Itu dikapitalisasi bahkan oleh media tanpa ada sikap kritis terhadap informasi yang terkandung di media sosial.

Kemudian media memberitakan datangnya Covid-19 dengan proyeksi ketakutan dan kepanikan secara berlebihan. Mungkin dapat diingat saat pasien pertama dan pasien kedua dulu ditemukan di Depok.

"Kemudian ada seorang wartawan perempuan yang menggunakan masker gas seolah-olah bahwa Covid-19 sangat menakutkan sampai-sampai harus memakai masker yang sangat-sangat ketat," terang Irwan, alumi Pascasarjana Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia tahun 2022.

Padahal, menurut mereka (media dan wartawan itu), alasannya dulu karena persediaan masker habis di minimarket, sehingga tidak mendapat masker biasa, jadi mengenakan masker seperti itu.

Sangat disayangkan, saat itu malah justru media membuka data privasi, data pasien, yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Baru kemudian setelah berjalannya waktu, pandemi mulai benar-benar dirasakan, media mulai bersikap kritis terhadap apapun kebijakan yang diambil pemerintah seperti maju-mundurnya lockdown, PSBB, dan beberapa kebijakan yang lainnya.

Sponsored

"Nada-nada pemberitaan di media dari Kompas sama Detikcom lebih banyak memberitakan pandemi dengan nada yang mengkhawatirkan atau menakutkan," kata jurnalis yang dari tahun 2007 hingga kini bekerja di Detikcom.

Menurut Irwan, banyak pemberitaan bernada anjuran atau instruksi, lalu harapan, dan solusi. Jadi lebih dominan berita bahwa pandemi sangat mengkhawatirkan.

Karena kualitas yang menurun di pemberitaan tadi dan beberapa kerja jurnalisme yang kurang sesuai dan tidak mendukung dalam penanganan pandemi, Dewan Pers menjewer kalangan media dengan mengeluarkan berbagai macam imbauan, misalnya agar memberitakan Covid-19 secara akurat dan berimbang, informasi harus selalu diuji, dan segala macam.

Dewan Pers mengimbau agar berita-berita itu tidak menimbulkan kepanikan. Selain itu juga agar tidak hanya sekedar mencari sensasi terhadap pemberitaan Covid-19.

Beberapa persatuan atau perhimpunan wartawan juga mengeluarkan protokol-protokol serupa, yang intinya kurang-lebih agar pemberitaan Covid-19 itu mendukung upaya untuk penanggulangan Covid-19 itu sendiri dan menjaga kesehatan masyarakat atau menyelamatkan kehidupan masyarakat.

Bisnis media sangat terpukul saat itu, di bulan-bulan sekitar Maret, April, sampai Juni 2020. Banyak sekali iklan yang ditarik dan ditunda oleh para pengiklan karena melihat adanya suasana ketidakpastian yang terjadi pada saat itu, sehingga berimbas pada pendapatan media. Belanja iklan turun menjadi sekitar 35 pesan dari Rp3,5 triliun, kemudian pendapatan media daring turun 30 sampai 40 persen. Media di daerah mengalami keburukan lebih parah lagi.

Efisiensi yang terjadi di media menyebabkan 20 persen media memotong gaji karyawan, 15 media menunda gaji karyawan. Itu masih terjadi sampai saat ini, beberapa media masih menangguhkan gaji, tidak membayar THR, juga ada potongan gaji, PHK juga masih terus berlanjut sampai bulan Juni 2020.

Kasus-kasus ketenagakerjaan yang pada saat itu terjadi, ada PHK sepihak, 150 pengaduan yang diterima oleh LBH Pers, yang paling besar pemotongan upah dan penundaan upah, dirumahkan, mutasi, dan sampai pelanggaran hak kesehatan.

Upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan terutama diinisiasi oleh Dewan Pers saat itu sangat akomodatif terhadap apa yang terjadi di media. Misalnya meminta kepada pemerintah agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor kertas ditanggung oleh pemerintah. Akhirnya dibebaskan, media tidak membayarnya.

Tagihan listrik juga ditunda. Kelompok wartawan atau perhimpunan pers agak tidak setuju dengan kewajiban iuran BPJS dan meminta semacam keistimewaan untuk jurnalis. Iklan dari kementerian dan Pemda terkait untuk sosialisasi Covid-19 agar diarahkan ke media, untuk menyelamatkan media.

Itulah pokok-pokok pikiran Irwan Nugroho dengan karyanya 'Tantangan Media pada Masa Pandemi Covid-19' dalam seminar tentang Media Daring dan Jurnalisme Lambat pada Masa Pandemi yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jumat (13/5).

Berita Lainnya
×
tekid