sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat konglomerat media berpolitik

Konglomerat pemilik media ramai-ramai terjun ke dunia politik. Dampaknya, pemberitaan bakal terpengaruh oleh pandangan politik sang pemilik.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 22 Feb 2019 23:51 WIB
Saat konglomerat media berpolitik

Konglomerat pemilik media ramai-ramai terjun ke dunia politik. Dampaknya, pemberitaan bakal terpengaruh oleh pandangan politik sang pemilik.

Peneliti Media Wisnu Prasetya Utomo mengatakan ketika oligarki hadir di media berakibat publik tidak akan melihat isu substantif informasi yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidupnya.

"Ketika khalayak diajak membicarakan isu-isu yang substantif, ini akan menjadi blunder bagi para pemilik media itu sendiri," ujar Wisnu, dalam diskusi bertajuk Media Oligarki Sayonara Demokrasi Kita?, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, pada Jumat (22/2).

Wisnu menjelaskan fenomena oligarki media sudah terjadi pasca reformasi tahun 1998. Ia mengistilahkan fenomena permasalahan tersebut dengan mediatisasi politik. Ia mengartikan, kondisi seperti itu menyebabkan media menjadi alat untuk menentukan politik elektoral.

Kendati demikian, mediatisasi politik membuat media menjadi partisan pada salah satu golongan. Hal ini yang akan juga mempengaruhi konten informasi yang diproduksi dari media massa.

"Akhirnya yang ditayangkan ialah citra. Kita melihat itu sejak Pemilihan Umum tahun 2004, di mana kita sebagai publik diajak untuk mendiskusikan citra salah satu pasangan calon," ucapnya.

Wisnu turut menyoroti masalah kepemilikan media. Ia menyatakan pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Regulasi yang mengatur terkait kepemilikan media memang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Namun, menurut Wisnu, regulasi tersebut tidak mengatur tentang batasan kepemilikan.

Sponsored

Dia membandingkan di Inggris terdapat regulasi yang mengatur batasan hak kepemilikan media. Nyatanya, di Indonesia sebaliknya.

"Kita tidak punya regulasi secara spesifik yang mengatur tentang regulasi kepemilikan media massa," ucapnya.

Sementara itu, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Dandhy Dwi Laksono, mengatakan dampak oligarki media amat besar di ruang redaksi. Bahkan, ia menyatakan dampak tersebut langsung menerpa pada khalayak.

"Misalnya mengapa Mata Najwa keluar dari Metro TV? Mengapa pemberitaan lumpur Lapindo tidak ada di ANTV dan TV One di masa itu? Mengapa Metro TV tidak kritis pada Jokowi? Itu contoh oligarki tidak hanya berdampak di ruang redaksi, langsung ke layar," katanya dalam acara yang sama.

Menyikapi permasalahan itu, Dandhy menilai wartawan harus berani mengkritisi ruang redaksi jika terdapat indikasi mencederai profesi jurnalis. Selain itu, ia juga menyarankan agar wartawan bergabung dengan serikat yang ada.

"Tetapi mereka juga harus berkelompok, berorganisasi sehingga ketika sedang memperjuangkan sesuatu ada yang belain," ucapnya.

Kendati demikian, lanjut Dandhy, pemerintah juga mempunyai tanggung jawab besar untuk memecahkan masalah oligarki media.

"Undang-Undang penyiaran harus dibenerin, regulasi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siar (P3SPS) harus ditegakan, Komisi Penyiaran Indonesia harus diberdayakan, dan perlu adanya edukasi ke publik," kata Dandhy.

Berita Lainnya
×
tekid