sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Studi pada khalayak atas pemberitaan Covid-19 daring di Jakarta

Karena itu, mereka menganggap berita Covid-19 penting dan berpengaruh terhadap mereka juga.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Senin, 30 Mei 2022 21:40 WIB
Studi pada khalayak atas pemberitaan Covid-19 daring di Jakarta

Serial kedua Seminar Nasional Komunikasi dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dengan tajuk "Misinformasi dan Komunikasi Resiko Covid-19" digelar pada Jumat (20/5).

Gelaran seminar itu, Joseph Edwin bercerita tentang bagaimana 'Third-person Effect sebagai Mediator Pengaruh Penggunaan Social Networking Sites dan Relevansi Pribadi terhadap Intensi Perilaku Preventif: Studi pada Khalayak Berita Covid-19 Daring di DKI Jakarta'.

Joseph, alumnus S2 Ilkom UI, memaparkan bahwa penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya jumlah berita Covid-19 yang beredar di media sosial, khususnya pada masa pandemi. "Sebenarnya peningkatan paparan Covid-19 itu merupakan salah satu aspek dari komunikasi risiko karena berita Covid-19 itu membantu membentuk persepsi masyarakat mengenai Covid-19 yang riil dan akurat," kata Joseph.

Asumsi dasarnya adalah komunikasi risiko yang termasuk meningkatkan sebaran berita Covid-19 itu memiliki hubungan dengan perilaku preventif. Jadi, semakin tinggi upaya komunikasi risiko digagaskan, maka semakin tinggi perilaku preventif masyarakat.

Menurut Joseph, penelitian terdahulu mengatakan bahwa meski berita Covid-19 itu memiliki tujuan yang positif, yaitu mengedukasi masyarakat dan juga menginformasikan masyarakat agar mereka bisa melanjutkan kegiatan seperti biasa meski di tengah pandemi. Akan tetapi, masyarakat menganggap berita wabah sebagai sesuatu yang negatif, sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.

Karena secara esensi, berita wabah itu berisi risiko kesehatan yang memiliki konsekuensi yang tinggi, berdampak pada kesehatan, dan khususnya Covid-19 itu meledak dan berskala global. Jadi, khalayak atau masyarakat merasa tidak nyaman ketika membaca berita Covid-19.

"Untuk melindungi diri dari rasa ketidaknyamanan yang inheren ini, khalayak memiliki mekanisme psikologis yang alami, yang disebut sebagai bias psikologis. Akibatnya khalayak itu melindungi diri dari pesan-pesan yang dianggap negatif," tambah alumnus pascasarjana angkatan 2019.

Jadi, orang-orang cenderung berpendapat bahwa mereka tidak terpengaruh oleh berita pandemi atau berita wabah, tapi orang lainlah yang terpengaruh oleh berita wabah. Sebenarnya tanpa alasan untuk berpikir seperti itu, maka ada yang dinamakan bias psikologis. Dalam konteks fenomena, ini disebut "third-person perception".

Sponsored

Muncul pertanyaan dalam penelitian Joseph: apakah berita Covid-19 itu mencetus third-person perception (TPP)? Yaitu, apakah responden berpikir dirinya sendiri kurang terpengaruh berita Covid-19, sedangkan orang lain lebih terpengaruh?

"TPP sendiri sebenarnya layak diteliti. Karena penelitian terdahulu soal TPP di dalam konteks wabah mengaitkan TPP dengan niat perilaku preventif yang di dalam konteks pandemi di Indonesia bukan hanya protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak), tetapi sudah menjadi 6M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas, dan menghindari makan bersama)," cetusnya.

Jadi, dikatakan, kecenderungan orang untuk berpikir bahwa dirinya sendiri tidak terpengaruh oleh berita wabah, sementara orang lain itu adalah pihak yang lebih terpengaruh. Itu memiliki manifestasi perilaku, yaitu orang yang memiliki anggapan seperti itu memiliki intensi perilaku yang digagaskan justru akan menurun. Maka muncul lagi pertanyaan dalam konteks pandemi: apakah TPP berpengaruh pada intensi perilaku preventif 6M?

"Terdapat beberapa faktor, yang diduga itu bisa mengurangi kecenderungan orang untuk berpikir bahwa berita Covid-19 kurang berpengaruh terhadap diri mereka," ungkap Joseph.

Yaitu, seberapa dalam khalayak meneliti atau mengolah berita Covid-19 yang mereka dapat dari media sosial. Jadi, ada aktivitas-aktivitas tertentu yang bisa membuat khalayak jadi lebih memahami berita yang diterima dan dibaca. Contohnya, dengan mereka mengonsumsi berita Covid-19 dengan ponsel dari medsos, mereka difasilitasi pemahamannya.

Akan tetapi, pemahaman itu akan semakin tinggi ketika setelah mereka membaca misalnya, mereka turut berkomentar atau berinteraksi dengan user-user lain yang turut mengkontribusikan komentarnya atau juga me-like soal posting berita Covid-19 yang diterima di medsos. Juga setelah mereka membaca, mereka sendiri memutuskan untuk memposting berita Covid-19, dengan menambahkan caption sendiri lalu menyebarkannya di jejaring medsosnya.

Pemahaman risiko Covid-19 yang tinggi itu digagaskan menurunkan TPP. Orang-orang begitu tahu mekanisme riil dari Covid-19 jadi sadar bahwa ternyata mereka juga rentan terhadap Covid-19. Karena itu, mereka menganggap berita Covid-19 penting dan berpengaruh terhadap mereka juga.

Muncul pertanyaan: apakah penggunaan social networking sites, yaitu konsumsi, kontribusi, dan kreasi berpengaruh kepada tingkat TPP? Selain itu, aktivitas-aktivitas yang memfasilitasi pemahaman soal Covid-19 juga berpotensi meningkatkan niat melakukan suatu tindakan preventif 6M.

Lalu ada faktor lain yang turut bisa mengurangi kecenderungan TPP, yaitu seberapa relevan berita Covid-19 bagi khalayak. Jadi, apabila khalayak menganggap berita Covid-19 adalah sesuatu pesan yang relevan bagi dirinya, maka mereka memiliki kecenderungan untuk memproses atau mengonsumsi berita tersebut dengan lebih saksama.

"Tercetus pemrosesan sistematis, mereka menjadi sadar bahwa Covid-19 itu juga menjadi ancaman bagi dirinya, sehingga berita Covid-19 juga relevan bagi mereka. Jadi, mereka berpikir bahwa berita Covid-19 juga berpengaruh kepada diri mereka sendiri," katanya.

Dalam konteks penelitian ini, muncul pertanyaan: apakah berita yang relevan bagi responden berpengaruh pada TPP? Lalu, ada gagasan lain, masyarakat yang menganggap bahwa Covid-19 itu adalah ancaman yang relevan bagi dirinya akan cenderung lebih mau mengambil tindakan yang direkomendasikan dalam hal ini adalah protokol kesehatan 6M.

Berita Lainnya
×
tekid