sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

6 alasan menggugat Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke PTUN

Gugatan ini dilayangkan sebagai upaya hukum atas sikap bebal, tidak peka dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 04 Mei 2020 10:51 WIB
6 alasan menggugat  Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke PTUN

Tim Advokasi untuk Demokrasi menggugat Surat Presiden Joko Widodo terkait pengajuan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat. Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Tim Advokasi untuk Demokrasi terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

“Gugatan ini dilayangkan sebagai upaya hukum atas sikap bebal, tidak peka dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR terhadap suara dan kepentingan masyarakat,” ujar kuasa hukum penggugat Arif Maulana dalam keterangan tertulis, Senin (4/5).

Arif menyayangkan, presiden dan DPR tetap ngotot melanjutkan pembahasan untuk pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Meski telah dikecam dan dituntut warga dari berbagai elemen untuk mencabut dan menghentikan pembahasan RUU bermasalah itu.

Terdapat enam alasan mengapa Omnibus Law RUU Cipta Kerja digugat. Pertama, Omnibus Law RUU Cipta Kerja cacat prosedur dan substansi. Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja tetap dipaksakan Presiden bersama DPR untuk dibahas dan disahkan.

RUU ini disusun dengan mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Mulai dari perencanaan hingga penyusunan Presiden tidak menjalankan prinsip transparansi, partisipasi, dan justru mendiskriminasi rakyat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha.

Secara substansial Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat bermasalah, menabrak berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kode Inisiatif, telah mencatat 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan UU yang diubah oleh Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak ditaati oleh Pemerintah dalam menyusun substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja yakni dengan a. Tidak menindaklanjuti Tafsir Konstitusional dari Putusan MK, b. Hanya menindaklanjuti sebagian Tafsir Putusan MK, dan c. Menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.

Kedua, Omnibus Law RUU Cipta Kerja dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup. Jika sampai RUU ini disahkan dan diberlakukan, akan berdampak semakin meluas dan sistematis terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan hak-hak rakyat diberbagai sektor mulai dari buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, pers maupun kelompok rentan lainnya akan segera terjadi.

Sponsored

“Dalam RUU aquo, lingkungan dan masyarakat hanya dipandang sebagai objek untuk dieksploitasi. Pemerintah melupakan warga negara sebagai subjek hukum pemilik kedaulatan yang harus dilindungi hak-hak konstitusionalnya,” ucapnya.

Ketiga, Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah contoh nyata korupsi politik, praktik buruk penyusunan UU yang menjadi pola yang berulang dalam proses penyusunan kebijakan yang lain. Bentuk pembuatan UU yang dipaksakan dan hanya untuk melanggengkan kepentingan oligarki.

Keempat, Omnibus Law RUU Cipta Kerja jelas melanggar prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang nyata yang dilakukan oleh Presiden dalam pembuatan kebijakan dalam pentukan peraturan perundang-undangan.

Berbagai pasal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja disusun secara sistematis untuk membatalkan berbagai peraturan sebelumnya yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dengan deregulasi aturan berupa penurunan standar bagi pengusaha dengan cara melawan hukum.

Kelima, gugatan tersebut merupakan bentuk partisipasi aktif warga untuk kepentingan perlindungan HAM dan kelestarian lingkungan hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 92 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berita Lainnya
×
tekid