sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Alarm bahaya diabetes pada anak-anak

Minuman dan makanan berpemanis disebut jadi pemicu diabetes pada kalangan anak-anak.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 12 Feb 2023 15:56 WIB
Alarm bahaya diabetes pada anak-anak

Mafthuha mengempaskan punggungnya di kursi ruang tamu. Perempuan berusia 41 tahun itu terlihat lega. Mafthuda baru saja mengantar putranya yang masih berusia 6 tahun ke RSUD Cengkareng. Oleh dokter, sang bocah telah diberi obat. 

"Mudah-mudahan enggak apa-apa. Kata dokter, kalau terlalu sering kencing lagi, disuruh balik untuk berobat lagi," ujar Mafthuha saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, Sabtu (4/2).

Putra Mafthuha sempat terkulai lemas setelah sering mondar-mandir buang air kecil. Kala itu, Mafthuha sempat kalut. Ia khawatir anaknya menderita gangguan saluran kencing atau bahkan diabetes. Ada riwayat penyakit diabetes di keluarga Mafthuha. 

"Karena ada adik saya itu diabetes keturunan emak (ibu). Saya khawatir anak saya kena. Saya dengar berita (naiknya jumlah penderita diabetes di kalangan anak-anak) itu. Katanya, (angkanya) lagi naik dan salah satu gejalanya sering kencing dan lemas. Saya pikir, 'Waduh!' Takutnya ada apa-apa," ucap Mafthuha. 

Diabetes melitus adalah penyakit autoimun kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan gula darah. Ada dua jenis, yakni diabetes tipe 1 dan tipe 2. Gejala diabetes yang sering dijumpai pada anak antara lain sering merasa haus, lapar, mudah lelah, dan sering buang air kecil.

Selain karena faktor keturunan, gejala diabetes bisa muncul lantaran gaya hidup tak sehat, semisal mengonsumsi makanan dan minuman berpemanis secara berlebihan. "Kalau jajan minuman yang manis-manis mah jarang. Kalau saya, mikirnya soal diabetes turunan," kata Mafthuha.

Diabetes juga menjadi momok bagi keluarga Muhammad Akmal Rizkoni, 25 tahun. Enam tahun lalu, dia divonis menderita diabetes. Kini, adik laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun juga menderita penyakit yang sama. 

"Adik saya yang obesitas ini, gula darahnya  sudah 130-an. Padahal, normalnya itu di 90-100," kata Oni, sapaan akrab Muhammad Akmal Rizkoni, kepada Alinea.id, Jumat (10/2). 

Sponsored

Oni bercerita mulai merasakan gejala diabetes sejak usia 19 tahun. Ketika itu, air kencingnya selalu dikerubungi semut. "Sampai sekarang, saya masih gampang capek dan harus suntik insulin ke rumah sakit," tutur warga kecamatan Sambutan, Samarinda, Kalimantan Timur, itu. 

Adik Oni mulai menderita diabetes saat berusia 10 tahun. Penyakit itu turun-temurun dari keluarga ibu Oni. Selain karena faktor genetika, Oni mengaku ia dan adik-adiknya memang rutin mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula. 

Sejak divonis menderita penyakit berbahaya itu, Oni menyetop konsumsi makanan-minuman berpemanis. Ia juga selalu berusaha menjaga adiknya tak terpapar jenis-jenis makanan yang berbahaya bagi kesehatan.

"Nah, tetapi adik saya ini susah dibilangin karena masih berusia 13 tahun. Jadi, dia kadang masih sering minum manis-manis diam-diam. Jujur, takut saya," kata Oni.

Menderita diabetes di usia muda, kata Oni, sempat bikin patah arang.  Oni tak bebas mengonsumsi makan dan minuman dan harus sering mengontrol gula darah. Seiring waktu, Oni merasa tubuhnya kian kurus dan melemah. 

"Badan kita gampang lemas. Tapi, ya, kita ikhtiar biar enggak gampang parah. Saya takut kalau nanti menikah dan punya anak, anak saya kena diabetes. Jadi, saya mulai dari sekarang harus terbiasa hidup sehat," kata dia. 

Ilustrasi anak penyandang obesitas. /Foto Antara

Gaya hidup tak sehat

Dirilis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 1 Februari 2023, tercatat ada 1.645 pasien anak penderita diabetes yang tersebar di 13 kota. Ketiga belas kota itu, yakni Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Solo, Surabaya, Malang, Denpasar, Makassar, dan Manado. 

IDAI mencatat jumlah kasus diabetes pada anak melonjak sekitar 70 kali jika dibandingkan 2010. Berdasarkan usia, diabetes paling banyak diderita anak-anak berusia 10-14 tahun (46,23%) dan usia 5-9 tahun (31,05%). Berbasis jenis kelamin, diabetes paling banyak diderita anak perempuan, yakni sekitar 59,3%. 

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Pandu Riono mempersoalkan laporan yang dirilis IDAI. Menurut dia, IDAI menumpuk semua data kasus diabetes anak dari 2010 saat menyimpulkan lonjakan jumlah kasus. Seharusnya, data kenaikan dibandingkan dari tahun ke tahun. 

"Kalau mau bandingkan, ya, hanya kasus baru yang ditemukan dalam setahun. Apakah ada kenaikan kasus baru per tahun... Jadi, wajar saja kalau jumlahnya banyak. Padahal, di dunia saja enggak pernah ada kenaikan jumlah kasus (diabetes) sampai 70 kali lipat," kata Pandu kepada Alinea.id, Sabtu (11/2).

Merujuk data BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dari 2015 hingga 2021, menurut Pandu, tidak terlihat tren kenaikan jumlah penderita diabetes pada kalangan anak-anak yang signifikan. 

Pada sampel BPJS, jumlah diabetes anak faktor genetik terlihat stagnan. Adapun jumlah penderita diabetes karena faktor gaya hidup naik sedikit. Tetapi angkanya tidak lebih dari dua kali lipat sepanjang tahun.

"Jadi, data (kenaikan) hingga 70 kali lipat itu sangat berlebihan karena ditumpuk datanya dari setiap tahun. Padahal, kan semestinya dibandingkan dari tahun ke tahun. Setiap tahun itu ada kenaikan atau tidak?" jelas Pandu.

Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan penyebab kenaikan jumlah penderita diabetes pada anak tidak tunggal. Namun, ia menduga angkanya terus naik lantaran peredaran minuman berpemanis yang tidak terkendali di masyarakat.

"Walaupun belum tahu pasti itu jadi faktor paling dominan, keterjangkauan anak-anak ke minuman manis, seperti susu dalam kemasan, bisa jadi salah satu faktor risiko," kata Olivia kepada Alinea.id, Senin, (6/2).

Menurut Olivia, lonjakan kasus diabetes pada anak merupakan alarm untuk membatasi peredaran minuman berpemanis. Ia mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). 

"Perlu diturunkan keterjangkauan akan minuman manis dengan cukai MBDK. Secara paralel, (pemerintah juga harus) meningkatkan edukasi (kepada masyarakat), berlakukan kewajiban pelabelan, batasi pemasaran, subsidi makanan sehat," kata Olivia.

Lebih jauh, Olivia menganjurkan agar para orang tua juga lebih bijaksana dalam mengatur konsumsi makanan dan minuman pada anak-anak mereka. "Edukasi diri dan perhatikan label nutrisi pada makanan dan minuman, pelajari panduan gizi untuk keluarga," imbuhnya. 

Botol-botol minuman soda dan berpemanis dipajang di salah satu minimarket di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat, Sabtu (5/6/2021). Alinea.id

Perkuat layanan kesehatan

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan jumlah penderita diabetes pada anak meningkat dari tahun ke tahun. Pertama, faktor keturunan. Kedua, dipicu konsumsi minuman manis dengan kadar gula yang tinggi. 

Peningkatan jumlah kasus terutama terjadi karena faktor genetik. Adapun terkait diabetes yang dipicu konsumsi minuman berpemanis, menurut Nadia, kasus-kasusnya terutama ditemukan pada anak-anak yang berusia di atas 10 tahun.

"Anak-anak mengonsumsi gula dalam batas yang melebihi. Kita tahu gula itu tidak boleh dikonsumsi lebih dari empat sendok makan per hari," kata Nadia saat dihubungi Alinea.id, Selasa (7/2).

Berkaca dari kasus lonjakan diabetes anak yang tinggi, Nadia berkata pemerintah bakal menggalakkan program-program penguatan pola asuh orang tua. Fokus utamanya meningkatkan pengetahuan orang tua terkait gizi dan nutrisi anak.

Selain itu, edukasi juga bakal bertujuan untuk mendorong orang tua membatasi konsumsi gula berlebih di lingkup keluarga. "Melalui puskesmas dan posyandu. Kita juga mengajak tokoh masyarakat, komunitas, ibu-ibu PKK untuk penyuluhan pembatasan konsumsi gula," ujar dia. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Untuk anak-anak yang sudah kadung terkena diabetes, Nadia berkata, Kemenkes akan memperkuat pelayanan kesehatan untuk penyakit itu di tingkat puskesmas dan rumah sakit. Kemenkes juga bakal mengupayakan agar pasien diabetes anak di daerah mudah dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas memadai. 

"Jadi, kalau penanganan diabetes basic (dasar) bisa dilakukan di puskesmas. Akan tetapi, kalau anak memang mungkin sudah spesialistik, IDAI nanti bersama kita memperkuat jaringan rujukan sampai ke periferi," kata Nadia.

Kemenkes, lanjut Nadia, juga bakal mendorong pencantuman kadar gula pada kemasan makanan siap saji. Itu sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Kesehatan 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.

"Aturan tersebut belum benar-benar diimplementasikan sehingga perlu ditegaskan lagi agar kasus diabetes anak tidak meningkat tajam. Jadi, ada Permenkes 30 Tahun 2013 itu dan juga pengusulan cukai gula," kata Nadia.

 

Berita Lainnya
×
tekid