sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anggota DPD RI usul amandemen UUD hapus presidential threshold

Penegasan pembatasan masa jabatan presiden seharusnya disertai dengan revisi pasal-pasal tentang syarat calon presiden/wakil presiden.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 09 Jul 2021 15:28 WIB
Anggota DPD RI usul amandemen UUD hapus presidential threshold

Anggota Komite I Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha menyatakan, tidak sepakat apabila amandemen UUD 1945 hanya untuk dua pasal saja. Abdul mengatakan, amandemen seharusnya merevisi syarat pencalonan presiden, termasuk ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Hal ini diungkap Abdul untuk menanggapi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menyatakan bahwa rencana amandemen UUD tidak akan mengubah masa jabatan presiden dari dua periode ke tiga periode (atau lebih).

Menurut Bamoset, amandemen UUD 1945 hanya fokus pada penambahan dua pasal, yaitu pasal tentang pemberian kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), serta penambahan ayat pada pasal terkait kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN.

"Pada poin itu, sikap Ketua MPR patut didukung. Namun bagian lain dari pernyataan Ketua MPR justru merisaukan. Bagian dari pernyataan Ketua MPR itu menjadi indikasi kuat bahwa sebagian besar partai politik, termasuk parpol asal Ketua MPR, masih ingin menggenggam kedaulatan rakyat dan mengerdilkannya menjadi kedaulatan parpol," kata Abdul kepada Alinea.id, Jumat (9/7).

Abdul mengatakan, penegasan pembatasan masa jabatan presiden seharusnya disertai dengan revisi pasal-pasal tentang syarat calon presiden/wakil presiden. Spesifiknya, kata Abdul, bahwa jabatan presiden harus terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Seluruh rakyat, tanpa kecuali, boleh mengajukan dirinya tanpa disaring dengan ambang pembatasan apapun. Presidential threshold menjadikan pengajuan calon pemimpin nasional sebagai kekuasaan hegemonik parpol," ujarnya.

Menurut dia, parpol memang tidak terlarang, bahkan merupakan keharusan dalam tatanan demokrasi. Namun kekuasaan yang menghegemoni oleh parpol tidak semestinya dibiarkan, terlebih pada konteks pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Saya bisa merasakan kegelisahan publik yang menangkap kesan kuat adanya permainan yang kotor dan berisiko tinggi yang terus dan semakin intens berlangsung di Tanah Air. Begitu parahnya, sampai-sampai, jika dibiarkan berlarut-larut, sistem perpolitikan nasional kita akan kolaps dan kita akan berhadapan dengan situasi serba tak menentu (anomi) yang berkepanjangan," jelasnya.

Sponsored

Abdul menegaskan, presidential threshold, yang dibiarkan hidup di dalam situasi sedemikian rupa, nantinya memang tetap akan bisa menghasilkan duet kepemimpinan nasional. Akan tetapi, presiden (dan wapres) dari sistem tersebut akan sejak dini mengalami defisit keterwakilan yang sesungguhnya. Individu yang terpilih sebagai presiden akan menjadi sosok yang lebih merepresentasikan parpol, bukan sosok yang sungguh-sungguh merepresentasikan rakyat.

"Presiden semacam itu, betapa pun terpilih lewat mekanisme yang legal, saya khawatirkan tidak akan mampu mengeluarkan situasi serba membingungkan yang terasa semakin berat belakangan ini," bebernya.

Menurut Abdul, setiap warga negara punya kebutuhan bahkan kewajiban untuk mencegah terulangnya kepemimpinan yang rapuh. Menurutnya, penting elemen masyarakat sipil melakukan perlawanan rasional terhadap presidential threshold.

"Kita perlu menyuntikkan kehidupan baru untuk mendobrak hegemoni parpol. Muaranya, kita harus menemukan individu-individu yang sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya pada isu atau persoalan, bukan individu yang menonjolkan loyalitasnya pada partai," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid