sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aroma malaadministrasi dalam pencabutan izin konsesi kawasan hutan

Ombudsman menduga ada malaadministrasi dalam pencabutan izin konsesi hutan milik 192 perusahaan di lahan seluas 3,1 juta hektare.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Sabtu, 09 Apr 2022 13:37 WIB
Aroma malaadministrasi dalam pencabutan izin konsesi kawasan hutan

Ridwan--bukan nama sebenarnya--kaget saat mendengar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendadak mengumumkan bakal mencabut izin konsesi kawasan hutan milik ratusan perusahaan pada awal Januari lalu. Ia tak mengira perusahaan tempatnya bekerja turut masuk dalam daftar perusahaan yang bakal dicabut izinnya oleh pemerintah. 

“Kok beritanya begini? Semua perusahaan paling bertanya-tanya, 'Pak kenapa ada ini (SK pencabutan izin konsesi kawasan hutan)?' Ya, mereka (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) so far, secara tidak langsung, mengatakan maaf. 'Nanti akan kita klarifikasi.' Gitu saja,” ujar Ridwan kepada Alinea.id, Rabu (6/4).

Jokowi mengumumkan pencabutan izin konsensi tersebut dalam sebuah konferensi pers di Istana Kepresidenan, Bogor pada 6 Januari 2022. Sehari sebelumnya, KLHK menerbitkan surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. 

Dalam SK tersebut, tercatat ada 192 izin perusahaan yang akan dicabut karena dianggap 'tidak menjalankan usaha secara benar, tidak produktif, atau menjalankan usaha yang tidak sesuai ketentuan izin'. Ratusan perusahaan tersebut menguasai lahan konsensi seluas 3,1 juta hektare. 

Khusus untuk perusahaannya, Ridwan mengatakan, tudingan KLHK itu tidak berdasar. Menurut dia, izin operasional perusahaannya di Kalimantan Tengah sudah bukan pelepasan kawasan hutan (PKH), melainkan hak guna usaha (HGU). 

Ridwan mengklaim perusahannya tidak menelantarkan lahan dan menggarap lahan sesuai ketentuan. Ia juga heran tak pernah ada orang KLHK yang mengecek langsung ke lahan hutan yang dikelola perusahaannya sebelum SK tersebut dirilis. 

“Aneh juga sih. Tetapi, ya sudah. Kita mah yang penting enggak kenapa-kenapa. Lagi pula kita tidak perlu repot klarifikasi ke KLHK karena memang dokumen lengkap. Cuma kita menyayangkan saja pemberitaan itu sih,” imbuh dia. 

Tak lama setelah SK Menteri LHK keluar, Jokowi merilis Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2022. Keppres itu mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi untuk menindaklanjuti pencabutan izin usaha pertambangan (IUP), izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), hak guna usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB) yang bermasalah. 

Sponsored

Satgas diketuai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Tiga pembantu Jokowi menduduki posisi Wakil Ketua Satgas, yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil.

Sesuai isi Keppres, satgas punya tujuh tugas pokok, yakni memetakan pemanfaatan lahan, memberikan saran, menetapkan kebijakan pemanfaatan lahan, melakukan klarifikasi dan memperuntukkan suatu lahan, memfasilitasi kemudahan investasi, memberikan kesempatan bagi pelaku usaha baru untuk menggarap lahan, dan melakukan sinergi dan koordinasi pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan masyarakat.

Setelah bekerja sekira dua bulan, Satgas resmi mencabut izin konsesi kawasan hutan 15 perusahaan. Tiga izin yang dicabut berjenis Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) dengan total luas lahan sebesar 84.521,72 hektare. Sisanya ialah izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 397.677 hektare. Pencabutan izin merupakan rekomendasi KLHK. 

“Ini bukti nyata bahwa pemerintah tidak main-main untuk segera mencabut perizinan perusahaan yang tidak sesuai peruntukannya dan tidak melaksanakan kewajibannya,” kata Bahlil Lahaladia dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Sabtu (30/3).

Dari 192 perusahaan yang tercatat dalam SK Menteri LHK, Bahlil mengatakan sudah ada 83 perusahaan yang mengajukan klarifikasi. Izin perusahaan-perusahaan itu, kata Bahlil, akan segera diverifikasi oleh tim dari Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. 

Proses verifikasi meliputi pemeriksaan izin lanjutan oleh perusahaan, kegiatan usaha di lapangan, serta pelaksanaan kewajiban koorporasi kepada negara seperti membayar pajak. Sepanjang pencabutan belum diteken, Bahlil mengatakan, perusahaan masih bisa beroperasi di lahan konsensi. 

"Dalam proses ini, kami terbuka bagi perusahaan untuk mengajukan klarifikasi. Jika hal ini tidak dimanfaatkan oleh perusahaan dengan baik, kami akan cabut izinnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” imbuh Bahlil.

Ilustrasi petani perkebunan sawit. /Foto Reuters

Potensi malaadministrasi

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai SK yang dikeluarkan Menteri LHK bermasalah. Menurut dia, Menteri LHK tak berwenang mencabut izin konsesi perusahaan. Dari telaah Ombudsman, sebagian besar perusahaan yang tercatat di SK Menteri LHK mendapat izin mengelola kawasan hutan sejak 1992. 

Status penggunaan lahan hutan oleh sebagian besar perusahaan yang sudah atau bakal dicabut izinnya itu, kata Yeka, telah berubah menjadi HGU. Karena itu, pencabutan izin dianggap telah menjadi wewenang Kementerian ATR/BPN atau pemerintah daerah.

"Jika pembatalan (HGU) dilakukan oleh bukan yang berwenang, maka hal tersebut dapat mengarah pada terjadinya maladministrasi. Meskipun dalam SK tersebut dalam tinjauannya bahwa SK ini adalah entry point bagi KLHK untuk verifikasi,” ucap Yeka dalam webinar “Konsekuensi dan Solusi Pencabutan 3,1 Juta HA Konsesi Kawasan Hutan", Kamis (8/4).

Potensi malaadministrasi lainnya, lanjut Yeka, terkait mekanisme pemberian dan perpanjangan perizinan. Sebelum mengeluarkan, memperpanjang, atau mencabut izin, Yeka mengatakan, KLHK sejatinya harus mengevaluasi kinerja perusahaan. 

Apabila fungsi evaluasi berjalan, lanjut Yeka, maka akan terdeteksi pelanggaran dari pemegang izin. Namun, bila ditemukan pelanggaran tetapi tidak ada pemberian sanksi, penyelenggara negara berpotensi melakukan malaadministrasi dalam bertugas.

“Jadi, di situ ada potensi maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara akibat tidak menjalankan kewajiban hukum sebagai fungsi aparatur penyelnggara pelayanan publik dalam hal melakukan evaluasi terhadap semua izin yang telah diberikan,” ucap Yeka.

Senada, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH-2K) Sadino menilai SK Menteri LHK yang menjadi dasar pencabutan raturan izin konsesi kawasan hutan telah melanggar prinsip administrasi pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Menurut Sadino, evaluasi kinerja perlu dilakukan pemerintah pada perusahaan sebelum mencabut izin konsesi kawasan hutan. Hal itu juga diatur dalam Pasal 69 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

“Harapan saya, ini (evaluasi) dilakukan sebagai tools (alat) untuk menilai apakah (izin konsesi) layak dicabut atau tidak. Kalau tidak dilakukan, ya, mohon maaf, ini saya menilai SK tersebut tidak bagus,” ucap Sadino dalam webinar yang sama.

Karena melanggar prosedur, menurut Sadino, pencabutan izin konsensi 192 perusahaan itu bisa dipersoalkan secara hukum. Ia menyarankan agar perusahaan-perusahaan yang merasa dirugikan mengajukan keberatan kepada pemerintah. 

“Dari SK 01 (Menteri LHK) itu, ada ajukan keberatan. Kalau ditolak, ini bisa lapor ke Ombudsman. Kalau terjadi malaadministratif, tentu bagi pejabat berwenang harus melakukan evaluasi dan pembenahan. Bagi yang dirugikan, harus dipulihkan,” ujar Sadino.

Foto udara perkebunan kelapa sawit di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, Kamis (13/9). /Foto Antara

Sekadar gimik? 

Pakar lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso menilai pencabutan izin konsensi 192 perusahaan bakal berbuntut panjang. Tak hanya merusak iklim bisnis di sektor kehutanan, langkah tersebut dinilai Petrus bahkan bisa menimbulkan konflik sosial. 

“Pasti akan terjadi PHK besar-besaran, investor akan ragu, hilangnya pendapatan negara baik dari PBB serta pajak lain-lain. Ada juga kerugian perbankan karena kreditnya macet atau terjadi kebangkrutan. Pemulihan ekonomi bukan lebih baik justru malah timbulkan gejolak sosial,” ucap Petrus kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Riak-riak konflik sudah terlihat di sejumlah wilayah. Usai pengumuman pencabutan izin, menurut Petrus, warga setempat yang tak setuju dengan keberadaan perusahaan di wilayah mereka mulai mengintimidasi pihak perusahaan. 

“Ada dipasang plank (oleh warga) bahwa PT ini sudah dicabut izinnya  jadi harus keluar dari sini (wilayah mereka). Ada semacam itu di Riau, di Kalimantan Tengah,” ucap Petrus.

Lebih jauh, Petrus berharap Satgas yang dibentuk pemerintah untuk mengeksekusi pencabutan izin bekerja sesuai aturan dan transparan. “Pantas kita bertanya, prosedur kerjanya bagaimana? Dasar hukumnya apa? Tujuan akhirnya seperti apa? Siapa yang diuntungkan dan dirugikan?” cetusnya. 

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Di lain sisi, pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian menilai pencabutan izin konsensi terhadap 192 perusahaan yang dilakukan pemerintah sekadar gimik. Menurut kajian Walhi di 28 daerah, sebagian besar perusahaan yang izinnya dicabut tidak aktif beroperasi dan tidak berkonflik dengan warga. 

"Kita mau izin yang dicabut itu adalah izin perusahaan yang selama ini berkonflik dengan masyarakat. Jadi, sebenarnya cara pikirnya tetap keuntungan dan eksploitatif. Artinya, pencabutan ini hanya untuk bagaimana izin-izin bisa dialihkan pada koorporasi yang lebih mampu mengelola kawasan hutan,” ujar Uli kepada Alinea.id, Rabu (6/4).

Menurut Uli, setidaknya ada dua hal yang harus dijadikan dasar bagi pemerintah mencabut izin konsensi perusahaan. Pertama, ada atau tidaknya konflik agraria yang muncul karena kehadiran perusahaan di daerah. Kedua, ada atau tidaknya kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan.

“Nah, dua prasyarat itu harus menjadi basis dari pengurus negara untuk me-review dan mencabut izin konsesi hutan. Ketika dua syarat itu tidak menjadi basis, maka sebenarnya tidak ada manfaat bagi lingkungan dan bagi rakyat di kampung-kampung,” jelas dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid