sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Belajar dari erupsi Semeru, Surono sebut dua kesalahan berulang Indonesia sebagai negara rawan bencana

Meskipun tanahnya subur, gunung api di manapun berada adalah daerah rawan bencana alam.

Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Kamis, 09 Des 2021 13:09 WIB
Belajar dari erupsi Semeru, Surono sebut dua kesalahan berulang Indonesia sebagai negara rawan bencana

Banyak langkah mitigasi bencana yang seharusnya bisa dipelajari pascaerupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, pekan lalu. Erupsi itu merenggut nyawa puluhan orang. Sayangnya, langkah-langkah mitigasi itu tidak pernah dilakukan. Padahal, seharusnya mitigasi diterapkan di seluruh gunung api aktif di Indonesia.

Menurut ahli vulkanologi dan mitigasi bencana, Surono, gunung api tetaplah seperti dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Meskipun tanahnya subur, kata dia, gunung api di manapun berada adalah daerah rawan bencana alam.

“Sayangnya kita sendiri yang tak pernah mematuhi, atau bahkan tak pernah mengetahui peta kawasan rawan bencana itu,” ujar Surono ketika dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (8/12).

Surono adalah mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebelum penisun, dia menduduki jabatan sebagai Kepala Badan Geologi, Kementerian ESDM. Pengetahuannya yang luas ihwal kegunungapian membuat pria yang biasa disapa Mbah Rono ini dijuluki "Mbahnya Gunung". 

Menurut Surono, peta kawasan rawan bencana harus disebarluaskan sekaligus dipatuhi sebagai konsep tata ruang. Sayangnya dua hal itu luput dilakukan di Indonesia. Bagi dia, masyarakat dan pemerintah di Indonesia sedikitnya telah melakukan dua kesalahan sebagai negara rawan bencana alam. Pertama adalah kesalahan letak dan kedua adalah kesalahan konstruksi.

Surono menyebutkan tidak seharusnya kawasan permukiman diletakkan di area yang terancam guguran awan panas di lereng gunung api aktif, seperti yang terjadi di Semeru. Aliran lahar yang bisa mencapai 200 km/jam menyebabkan masyarakat di daerah rawan bencana tidak memiliki waktu menyelamatkan diri jika terjadi erupsi.

Kesalahan fatal kedua adalah kesalahan pada konstruksi bangunan di kawasan rawan bencana. Rumah-rumah di sekitar kawasan erupsi seharusnya dibuat tahan gempa, bukan untuk antisipasi agar bangunan tidak roboh namun memberi kesempatan manusia menyelamatkan diri dari tertimpa bangunan.

“Jatuhnya korban jiwa akibat tertimpa bangunan roboh dalam setiap kejadian bencana alam seharusnya sudah menjadi bukti yang cukup,” imbuh Surono.

Sponsored

Satu hal lagi yang patut disayangkan adalah pendidikan kebencanaan bagi masyarakat. Pendidikan kebencanaan sebagai aktivitas yang lazim dilakukan di kawasan rawan bencana belum menjadi perilaku yang krusial bagi masyarakat Indonesia. Surono bercerita pengalamannya tinggal di kawasan bencana lereng Merapi, tidak ada satupun warga yang bersedia secara rutin mengikuti pelatihan mitigasi bencana.

Jika bukti-bukti itu belum cukup, Surono memaparkan bukti sepanjang 2000-2011. Pada rentang itu ada 12 gempa bumi di seluruh dunia dengan korban jiwa di atas seribu orang, empat gempa bumi di antaranya terjadi di Indonesia. Keempatnya adalah gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa Nias 2005, gempa dan erupsi Merapi 2006, dan gempa Padang 2009.

“Sekarang tinggal memilih, pembangunan kita akan berorientasi kepada ekonomi atau keselamatan manusia. Sebab tak bisa dipungkiri bahwa daerah rawan bencana adalah daerah yang sangat subur dan memiliki potensi ekonomi baik dari sisi pertanian atau pariwisata. Pilihannya tinggal ketika hujan kita akan keluar dengan telanjang atau keluar dengan membawa payung,” kata Surono.

 

Berita Lainnya
×
tekid