sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita pengidap sindrom stres Covid-19: "Aku enggak pernah tidur nyenyak lagi..." 

Stres, depresi, dan gangguan psikologi lainnya turut mewabah selama pandemi Covid-19.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Selasa, 08 Mar 2022 18:33 WIB
Cerita pengidap sindrom stres Covid-19:

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, sikap Astri Septia, 26 tahun, berubah total. Wanita yang dikenal periang dan hiperaktif itu mendadak menjadi pendiam. Warga Depok, Jawa Barat, itu mengaku kian frustrasi usai pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan mobilitas warga.

Lazimnya, ia bertemu sapa dengan sahabatnya setidaknya sekali dalam sepekan. Namun, selepas Covid-19 menerpa Indonesia, Astri hampir tak pernah nongkrong dengan rekan-rekannya. Saat itu, ia juga tak pernah membuka media sosial. Ia takut membaca perkembangan terbaru terkait pandemi Covid-19. 

“Intinya, saat itu malas untuk ngapai-ngapain. Kayak pengin sendiri aja gitu. Pengin enjoy sama rasa sedih saat itu. Gue berharapnya kalau sedihnya sampai sedih banget, ya, bisa langsung hilang sedihnya,” ujar Astri saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (5/3).

Perasaaan cemas berlebihan kerap menyelimuti Astri tatkala harus keluar rumah untuk bekerja. Sebagai pegawai salah satu perusahaan di sektor esensial, Astri tidak diberikan kemewahan bekerja dari rumah. Saat pulang kerja, ia selalu takut telah terpapar virus Sars-Cov-2. 

“Gue takut banget pulang bawa virus. Soalnya, orang tua kan (punya penyakit) komorbid dua-duanya. Jadi, suka kepikiran banget. Kalau mau pergi, biasanya jarang dadakan sih. Karena kan harus siapin mental dulu,” ucap Astri.

Astri sadar betul ada yang tak beres dengan kondisi psikologisnya. Ia pun berinisiatif untuk berkonsultasi dengan praktisi klinis profesional. Oleh dokternya, Astri disarankan untuk membenahi gaya hidupnya. 

“Misalnya, harus sering olahraga. Gue awalnya skeptis banget soal olahraga ini. Tetapi, pas dijalanin ternyata beneran paling ngaruh sih buat benerin mood,” ungkap dia. 

Situasi serupa dihadapi Fenita--bukan nama sebenarnya. Sejak pandemi diumumkan awal Maret 2020, warga asal Surabaya, Jawa Timur, itu hampir tak pernah keluar rumah. Ia pun tak memperbolehkan putranya yang masih berusia 4 tahun bermain dengan teman-teman sebayanya. 

Sponsored

"Aku beneran takut banget suami atau anakku kena. Waktu itu, ada keluarga yang meninggal karena Covid-19. Aku lihat gimana dia megap-megap gitu. Susah nafas. Sampe sekarang kalau inget kejadian itu masih trauma," ujar Fenita kepada Alinea.id, Minggu (6/3). 

Pertengahan tahun lalu, Fenita sudah lengkap divaksin. Awal tahun ini, ia juga sudah mendapat suntikan booster. Meski begitu, ketakutannya terhadap Covid-19 tak surut. Terkecuali saudara sedarah, ia tak pernah mengizinkan sahabat atau kerabat jauhnya berkunjung. 

Hingga kini, ia pun tak pernah makan di luar rumah. Sesekali, ia bersama keluarganya keluar untuk memesan makanan di restoran favorit mereka. Namun, Fenita tak pernah ikut turun dari mobil. Ia selalu takut berpapasan dengan orang asing. 

"Sekarang kan, katanya, masih gawat. Ada Omicron yang cepat menular. Kemaren-kemaren juga rumah sakit penuh lagi kan? Apalagi, aku baca yang sudah divaksin juga bisa kena lagi. Aku sih masih ngeri yah," kata perempuan berusia 31 tahun itu. 

Hidup dalam ketakutan terpapar Sars-Cov-2, diakui Fenita, tak menyenangkan. Saat hanya berdiam di rumah, ia jadi mudah marah, stres, dan depresi. Meski sudah berulangkali berkonsultasi dengan psikolog, Fenita mengaku masih terjebak paranoia terhadap Covid-19. 

"Kalau tidur, aku masih sering kebangun terus (karena) mimpi buruk. Anak kena Covid-lah atau ada keluarga meninggal lagi karena penyakit itu. Sampe keringetan. Aku ngerasa enggak pernah ngalamin yang namanya tidur nyenyak lagi. Pandemi ini horor banget sih buat aku," tutur dia. 

Ilustrasi penderita Covid-19 stress syndrome. /Foto Pixabay

Sindrom stres Covid-19 

Astri dan Fenita bisa dikata adalah pengidap Covid-19 stress syndrome (CSS). Riset yang digelar Canadian Institutes of Health Research dan University of Regina menunjukkan stres dan depresi akibat beragam kondisi baru yang dihadirkan pandemi Covid-19 merupakan hal yang lazim.

Dalam risetnya, para peneliti mewawancarai sekitar 7.000 responden yang tinggal di Kanada dan Amerika Serikat. Hasil survei menemukan mayoritas responden mengaku pernah mengalami stres dan depresi selama pandemi. Sebanyak 16% responden mengaku mengidap CSS akut. 

Setidaknya ada lima jenis penyebab CSS yang dirinci dalam kajian tersebut. Pertama, ketakutan terkontaminasi virus. Kedua, kekhawatiran pandemi menghancurkan kondisi sosio-ekonomi. Ketiga, xenophobia. Keempat, trauma karena pernah terpapar Covid-19. 

Terakhir, compulsive checking atau reassurance checking. Itu ialah kekhawatiran berlebihan terhadap Covid-19 yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi seseorang meng-update informasi terbaru terkait pandemi. 

Di Indonesia, riset serupa pernah digelar Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada Mei 2020. Dari survei terhadap 2.364 pasien swaperiksa, PDSKJI menemukan sebanyak lebih dari 60% pasien mengaku mengalami gangguan psikologi selama pandemi. Sebanyak 68% merasa mudah cemas, 67% depresi, dan sebanyak 77% pernah mengalami trauma psikologis.

Pada Agustus 2020, survei serupa juga menunjukkan lazimnya CSS selama pandemi. Dari survei terhadap 4.010 pasien swaperiksa, PSDKJI menemukan sebanyak 64,8% pasien didera gangguan psikologis. Sebanyak 71% di antaranya perempuan dan sisanya laki-laki. Gangguan psikologis yang teridentifikasi yakni cemas (65%), depresi (62%), dan trauma (75%).

Anggota PSDKJI Celestinus Eigya Munthe membenarkan stres dan depresi turut mewabah selama pandemi Covid-19. Menurut Munthe, penyakit-penyakit psikologi itu muncul lantaran publik tak siap menghadapi realita baru yang dihadirkan pandemi. 

“Jadi, bayangkanlah secara ekonomi, sosial, hingga emosional semuanya terpaksa untuk berubah dalam menghadapi perubahan karena Covid-19," ujar Munthe saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (2/3).

Stres massal itu terekam dalam sejumlah fenomena. Saat gelombang pandemi memuncak di Tanah Air pada Juli 2021, misalnya, supermarket dan toko swalayan mendadak penuh selama beberapa hari. Warga antre untuk membeli bahan kebutuhan pokok karena cemas pandemi tak bisa dikendalikan pemerintah. 

Perilaku yang mengindikasikan gangguan psikologi lainnya, semisal menghindari tempat-tempat umum atau mengonsumsi obat-obatan secara berlebihan saat isolasi mandiri. Itu semua, kata Munthe, menunjukkan instabilitas emosional saat menghadapi perubahan yang datang secara tiba-tiba.

"Dalam perubahan-perubahan yang ketat seperti itu, timbullah suatu gangguan emosional dalam diri kita, seperti misalnya rasa cemas, rasa sakit, atau timbul gangguan tidur,” jelas Munthe.

Tenaga kesehatan terancam mengalami burnout atau gangguan psikologi selama pandemi. /Foto Twitter

Perkuat mental

Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan menyarankan sejumlah solusi untuk mencegah terkena CSS. Yang paling utama ialah memperkuat kesehatan mental dengan selalu berupaya berpikir positif. 

Covid stress syndrome itu adalah stres akibat dampak dari Covid-19. Itu juga tergantung kelemahan dan kekuatan mental seseorang. Karena itu, kuatkan mental dengan berpikir positif dan bisa mengatur waktu dengan baik,” ucap Sani kepada Alinea.id, Jumat (4/3).

Untuk membangun kebiasaan selalu berpikir positif, menurut Sani, tidak sulit. Itu, misalnya, bisa dilakukan dengan menjalankan aktivitas-aktivitas personal, semisal meluangkan waktu untuk menjalankan hobi, meningkatkan nilai-nilai spiritual, dan kemampuan diri. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Selain itu, Sani juga menyarankan agar masyarakat rajin mencari tahu seluk-beluk CSS. Apalagi, mereka yang merasa kondisi psikologinya terganggu saat pandemi.

"Itu bisa melalui media massa, artikel, atau webinar yang dilakukan. Sehingga, secara pengayaan, pengetahuan kita ditingkatkan dan bisa diimplementasikan. Harus selalu yakin pandemi ada jalan keluar dan solusinya," ucap Sani.

Bagi mereka yang mengidap CSS akut, Sani menyarankan untuk segera berkonsultasi dengan psikolog, psikiater, atau dokter. Gangguan terhadap kesehatan mental, kata Sani, terkadang hanya bisa lewat psikoterapi atau konsumsi obat antidepresan. 

"Hindari juga obrolan negatif yang membuat kita bertambah stres atau hal-hal yang sifatnya over (berlebihan). Jangan mengonsumsi berita yang menyedihkan atau menegangkan karena banyak juga yang sangat mengganggu kesehatan mental.  Sesuaikan dengan porsi yang kita butuhkan," tutur dia. 


 

Berita Lainnya
×
tekid