sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dalami suap di Imigrasi Mataram, KPK periksa 20 saksi

Pemeriksaan kepada 20 orang tersebut dilakukan di Polda NTB dalam dua hari terakhir.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 31 Mei 2019 13:33 WIB
Dalami suap di Imigrasi Mataram, KPK periksa 20 saksi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa 20 saksi untuk mendalami kasus suap izin penyidikan penyalahgunaan izin tinggal WNA di lingkungan Kantor Imigrasi Mataram.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, pemeriksaan tersebut dilakukan setelah pihaknya melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi pada Rabu (29/5). Tim penyidik KPK melakukan pemeriksaan kepada 20 orang tersebut dilakukan di Polda NTB dalam dua hari terakhir.

"Penyidik mendalami kronologi lebih rinci dan melakukan verifikasi terhadap sejumlah informasi dan dokumen terkait dengan proses hukum dugaan pelanggaran izin tinggal dua WNA yang ditangani PPNS di Kantor Imigrasi Mataram," kata Febri, dalam pesan singkatnya, Jumat (31/5).

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie, Kepala Seksi Inteldakim Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Yusriansyah Fazrin, dan Direktur PT Wisata Bahagia (WB) Liliana Hidayat.

Sebelumnya, KPK telah melakukan penggeledahan di tiga lokasi pada Rabu (29/5). Adapun tempat yang digeledah oleh komisi antirasuah itu, yakni Kantor Imigrasi Klas I Mataram, Kantor PT Wisata Bahagia (WB), dan juga beberapa rumah milik tersangka.

Perkara itu bermula saat PPNS Imigrasi Klas I Mataram tengah melakukan penyelidikan kepada dua orang WNA yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. Diduga, para WNA itu menggunakan visa turis biasa untuk bekerja di Whyndam Sundancer Lombok.

Mengetahui telah terjadi penangkapan atas dua WNA yang juga sebagai pengelola resort di Whyndam Sundancer, Liliana selaku Direktur PT WB mencari cara agar pihak Imigrasi tidak melanjutkan proses hukum pada dua WNA tersebut.

Kemudian, Kepala Seksi Inteldakim Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Yusriansyah meminta Liliana untuk mengambil SPDP untuk dua WNA itu. KPK menduga permintaan SPDP itu sebagai upaya menaikkan harga, agar kasus dua WNA itu dihentikan.

Sponsored

Pada awalnya Liliana menawarkan uang sebesar Rp300 juta, namun ditolak oleh Yusriansyah karena nilainya terlalu kecil. 

Kemudian, Yusriansyah berkoordinasi dengan atasanya yakni Kurniadie terkait penanganan tersebut. Sampai akhirnya, mereka meyepakati jumlah nilai uang untuk mengurus perkara dua WNA itu sebesar Rp1,2 miliar.

KPK menyebut, ketiga orang tersangka itu telah menggunakan modus baru dalam melakukan praktik negosiasi untuk melalukan tindakan suap. Pasalnya, dalam melakukan penawaran, tersangka Liliana menuliskan jumlah nilai uang tersebut menggunakan media kertas dan dengan kode tertentu kepada Yusriansyah.

Metode penyerahan uang pun dilakukan dengan cara tak lazim. Tersangka Liliana memasukkan uang Rp1,2 miliar yang telah disepakati itu ke dalam kantong plastik hitam, yang kemudian dimasukkan ke dalam tas. 

Selanjutnya, tas berisikan uang suap itu dimasukkan ke dalam tempat sampah di depan ruangan Yusriansyah. Yusriansyah menginstruksikan kepada staf untuk mengambil tas tersebut dan menyerahkan Rp800 juta kepada Kurniadie.

Penyerahan uang untuk Kurniadie pun dilakulan dengan menggunakan ember bewarna merah. Kemudian, Kurniadie meminta pihak lain untuk menyetorkan uang sebesar Rp340 juta ke rekeningnya. Sisanya, KPK menduga uang tersebut diperuntukan kepada pihak lain.

Sebagai pihak yang diduga memberi, Liliana disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara pihak yang diduga menerima, Yusriansyah dan Kurniadie disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
 

Berita Lainnya
×
tekid