sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dilaporkan ke Kejagung, pembunuhan dukun santet 1998-1999 berpola sama

Pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, Jember, dan Malang, memiliki pola yang sama.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Selasa, 15 Jan 2019 20:26 WIB
Dilaporkan ke Kejagung, pembunuhan dukun santet 1998-1999 berpola sama

Koordinator SubKomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Nasional (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan pihaknya sudah mengirimkan laporan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat terkait peristiwa pembunuhan dukun santet tahun 1998-1999, ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Laporan tersebut dilaporkan pada 14 November 2018 lalu.

Beka mengatakan, tim penyelidikan pelanggaran HAM peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999 yang dibentuk sejak 2015, ditemukan pola peristiwa yang sama di Banyuwangi, Jember, dan Malang. Menurutnya, peristiwa ini tersebar karena dipengaruhi oleh kondisi geografis Banyuwangi hingga Malang.

Beka menjelaskan pola yang sama itu terlihat dari sebelum kejadian muncul isu etnis Tionghoa, radiogram Bupati Banyuwangi, dan Tentara Masuk Desa. Sementara itu, pelaku juga beraksi dengan pola yang sama seperti mematikan listrik, penggunaan tali dalam aksinya, dan ada pihak yang menggerakan massa.

Di sisi lain, Beka mengatakan, terdapat orang asing yang berdatangan ke wilayah kejadian, dengan ciri tidak menggunakan bahasa setempat, serta adanya penggunaan tanda silang dan panah di rumah-rumah target. Selain itu, juga ada peningkatan dalam peristiwa yang semula isu pembunuhan dukun santet, kemudian muncul isu ninja, dan orang gila.

"Tipologinya sama. Pembunuhannya dilakukan secara masif. Ada aktor di balik itu. Awalnya di create dukun santet, habis itu timbul ninja, sehabis itu orang gila," kata Beka di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (15/1).

Beka menjelaskan, peristiwa pembunuhan tersebut terbagi dalam dua fase. Pertama, fase perburuan dan pembunuhan dukun santet, kedua fase perburuan dan pembunuhan ninja dan orang gila.

"Fase perburuan dan pembunuham dukun santet diawali dengan keresahan di masyarakat terkait dengan isu tertentu," kata Beka.

Selain itu, tim penyelidikan menemukan adanya indikasi kelambanan aparat untuk menindak tegas kasus ini. Beka meyakini aparat keamanan sudah melakukan koordinasi di tingkat wilayah hingga tingkat pusat. Namun komando yang diarahkan tidak efektif, karena eskalasi kerusuhan yang cepat meningkat. Oleh sebab itu, Beka menganggap dalam kasus ini, aparat melakukan pembiaran terhadap massa.

Sponsored

Berdasarkan bukti permulaan yang dikumpulkan tim penyelidikan, Komnas HAM menduga adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Pelanggaran tersebut terdiri atas pembunuhan dan penganiayaan.

"Dari hasil pemeriksaan tim, terdapat pola pembunuhan yang didapat adalah pembunuhan berdiri sendiri, pembunuhan disertai perusakan, dan pembunuhan disertai tindakan lain," tutur Beka.

Dia juga mengatakan, jumlah korban peristiwa pembunuhan dukun santet di Bayuwangi diperkirakan sekitar 194 orang, Jember 108 orang, dan Malang 7 orang. Berdasarkan penuturan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), para korban mengalami penganiayaan terlebih dahulu sebelum dibunuh.

Selain itu, lanjut Beka, korban merupakan sekelompok warga sipil yang dituduh memiliki kesaktian. Pelakunya diduga merupakan aktor yang menggerakkan massa untuk melakukan  penganiayaan dan pembunuhan.

Kendati demikian, Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi kepada presiden Republik Indonesia, untuk mendukung dan berkomitmen dalam upaya pemulihan korban, menyampaikan permintaan maaf kepada para korban, menetapkan secara khusus perencanaan program nasional untuk pemulihan para korban yang terukur, dan memerintahkan kepada kementrian serta pemerintahan daerah, untuk mengalokasikan kemampuan finansial serta prosedurnya, sebagai bentuk dukungan upaya pemulihan korban.

Menurut Beka, Pemerintah Jember sudah melakukan upaya bantuan berupa pendataan terhadap para korban. Meski demikian, menurut Beka pemerintah harus memberikan bantuan secara luas dan memberikan pemulihan trauma untuk para korban.

"Pemulihan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) Jember pada tahun 2016. Tapi kan banyak yang harus dibenahi seperti pemulihan trauma, dan bantuan harus secara sistematis," ucapnya.

Beka juga berharap, peristiwa dukun santet yang terjadi tahun 1998-1999 itu merupakan peristiwa terakhir, dan tak ada peristiwa pelanggaran HAM yang memakan lebih banyak korban.

Sebelum terjadi peristiwa pelanggaran HAM dengan isu dukun santet, kasus ini bermula pada kekerasan dan penjarahan toko yang diawali dengan unjuk rasa untuk menurunkan harga terkait anjloknya ekonomi.

Pada tanggal 15 Desember 1998, terjadi kekerasan oleh aparat keamanan yang menyebabkan kerusuhan di Kecamatan Purwoharjo. Sejak itu, penjarahan toko atau gudang yang disinyalir menimbun sembako terjadi. Situasi tersebut membuat masyarakat sangat sensitif terhadap isu yang menyebar.

Berita Lainnya
×
tekid