sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

IDI minta pemerintah subsidi tes swab, ini kata Kemenkes

Permasalahan dalam penentuan besaran harga tertinggi tes PCR memang terkait variasi harga reagen.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 07 Okt 2020 09:19 WIB
IDI minta pemerintah subsidi tes swab, ini kata Kemenkes

Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, batas tertinggi biaya pemeriksaan PCR swab Rp900.000 sebenarnya masih kurang. Harga sebesar itu tidak bisa mengkaver semua kebutuhan tes. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mensubsidi biaya reagensi untuk ekstraksi.

“Jika tidak ada subsidi dari pemerintah, maka harga swab PCR test semestinya adalah Rp 1,2 juta,” ujar Zubairi dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10).

Zubairi menjelaskan, harga sebesar itu hanya cukup untuk biaya sarana (IPAL, desinfeksi, sterilisasi), biaya alat (PME, kalibrasi, pemeliharaan), bahan habis pakai (flok swab, VTM, PCR tube, filter tip, microcentrifuge tube, plastic sampah infeksius, buffer), biaya alat pelindung diri (sarung tangan, hazmat, masker medis +N95, face shield), catridge (khusus TCM), serta biaya pemeliharaan kesehatan.

Terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir menjelaskan, besaran harga tertinggi tes PCR telah dihitung berdasarkan biaya jasa sumber daya manusia, pengambilan sampel, pengekstrasi dan pemeriksa sampel.

Kemudian harga reagen, biaya pembelian dan perawatan alat tes, penggunaan bahan sekali pakai, seperti APD level 3, beban biaya pemakaian listrik, air, hingga terkait urusan administrasi. Jadi, total biaya produksi tersebut telah ditambahkan pula margin profit (keuntungan) 15%.

Namun, permasalahan dalam penentuan besaran harga tertinggi tes PCR memang terkait variasi harga reagen. Variasi harga terjadi karena faktor ekonomi dan ragam merek reagen. Kemenkes, kata dia, bersama auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah terjun ke lapangan untuk survei harga rata-rata reagen di berbagai laboratorium rumah sakit. Lalu, mendaftar semua harga reagen untuk diambil nilai rata-ratanya.

“Kami mau melindungi masyarakat. Bayangkan dulu itu disparitas harganya luar biasa, Rp3 juta-Rp4 juta. Masyarakat kasihan tidak paham harganya luar biasa. Tentunya pemerintah harus hadir di situ untuk menentukan batasan harga. Itu tidak bisa dikatakan bahwa kami kira-kira (menentukan besaran harga tertinggi tes PCR,” ujar Abdul Kadir saat dihubungi, Rabu (7/10).

Harga reagen sangat menentukan biaya tes PCR. Namun, harga reagen hingga Juni 2020 memang masih tergolong sangat mahal. Sebagai barang impor, reagen masih langka. Ketika jumlah reagen semakin banyak, maka harganya turun.

Sponsored

“Saat itu, barangnya saja tidak ada, mau beli tidak ada. Pastilah secara hukum ekonomi kalau barangnya sedikit, pasti harganya tinggi. Tetapi sekarang jumlah barangnya sudah banyak, variasi barangnya sudah banyak sekali. Di Indonesia, juga sudah ada Bio farma yang memproduksi, jadi harga bisa ditekan,” tutur Abdul Kadir.

Menurut Abdul Kadir, kemungkinan keluhan IDI terkait subsidi karena telanjur membeli reagen saat harganya masih mahal. Tetapi Kemenkes akan mengevaluasi secara periodik besaran harga tertinggi tes PCR dengan kembali turun ke lapangan dan mempertimbangkan nilai dollar. Evaluasi rutin dilakukan per tiga bulan untuk melihat perkembangan kondisi harga reagen.

“Bisa turun, bisa juga naik tergantung kondisi harga di lapangan,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid