Kasus stunting di Indonesia melampaui batas WHO
Pemerintah menargetkan jumlah kasus menurun hingga 14% pada 2024.

Jumlah kasus kekerdilan imbas kekurangan gizi kronis (stunting) di Indonesia mencapai 27,67%, melebihin batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Dengan demikian, satu dari tiga anak yang lahir di Indonesia menunjukkan stunting.
Bagi Deputi Bidang Pelatihan Litbang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Muhammad Rizal Martua Damanik, hal ini aneh. Dalihnya, Indonesia memiliki banyak kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dapat menjadi sumber vitamin dan mineral untuk memenuhi kebutuhan gizi.
"Maka dari itu, Indonesia mengeluarkan kebijakan 1.000 hari pertama kehidupan. Dalam periode 9 bulan dalam kandungan sampai usia 2 tahun, dampak negatif stunting masih dapat dicegah,” ucapnya.
Upaya tersebut dilakukan mengingat anak yang stunting biasanya kekurangan gizi sejak dalam kandungan. Ini ditandai dengan tidak bertambahnya berat badan ibu hamil dalam masa kehamilan.
"Kalau misalnya sudah hamil 2-3 bulan tetapi berat tidak bertambah atau bahkan turun, perlu diperiksa apakah itu kekurangan gizi atau karena faktor lain," katanya.
Praktik pengasuhan yang tidak baik menjadi faktor lain anak stunting. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum-pada masa kehamilan, misalnya.
"Lalu, 55% anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI (air susu ibu) eksklusif padahal sangat dianjurkan. Selanjutnya, satu dari tiga anak usia 6-23 bulan tidak menerima MP (makanan pendamping) ASI tepat," ujarnya.
Kebijakan 1.000 hari pertama kehidupan disusun juga dalam rangka mencapai target angka stunting 14% pada 2024. "Artinya, mulai tahun depan, angka stunting di Indonesia harus berkurang tiga persen," jelasnya.
Rizal melanjutkan, stunting juga menyebabkan gagal pertumbuhan pada organ lain, seperti sel otak. "Jika itu terjadi, dikhawatirkan anak-anak yang mengalami stunting akan kekurangan kemampuan untuk menangkap informasi dan lambat memberikan respons."
Selain itu, stunting akan berdampak terhadap penurunan kemampuan berpikir anak (kognitif), produktivitas dan kerugian ekonomi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta meningkatkan risiko menderita penyakit tidak menular.
"Masalah penurunan kemampuan kognitif atau daya berpikir anak menjadi paling mengkhawatirkan. Hal ini bisa menyebabkan anak sulit berkonsentrasi dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, kemampuan kognitif memengaruhi produktivitas dan dalam jangka panjang menyebabkan kerugian ekonomi,” tuturnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Mendesak, revisi garis kemiskinan demi menyentuh si miskin yang tersembunyi
Selasa, 06 Jun 2023 17:18 WIB
Ironi bisnis atribut kampanye: Sepi saat kandidat dan parpol berjibun
Minggu, 04 Jun 2023 06:11 WIB