sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nestapa orang pinggiran di balik topeng badut keliling

Badut-badut keliling mulai marak mengamen dan mengemis di seantero Jakarta.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 25 Des 2021 16:32 WIB
Nestapa orang pinggiran di balik topeng badut keliling

Letih usai berjam-jam berkeliling kawasan Roxy dan Grogol, Marvin dan Galang Aria Putra singgah sejenak di sebuah warteg di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Minggu (19/12) malam itu. Setibanya di warteg, Marvin langsung membuka kostum boneka yang ia kenakan. Peluh membasahi keningnya. 

"Wah, gila. Panas banget ini kostum," ucap pemuda berusia 16 tahun itu sambil meletakkan kepala badut yang telah ia lepas di salah satu sudut warteg. 

Selagi Marvin mengaso, Galang menghitung duit yang mereka peroleh dari mengamen sejak sore. Ia memisahkan uang receh dan uang kertas di ember. "Baru dapat Rp30 ribu ini. Aduh masih dikit banget," kata Galang kepada Alinea.id
 
Dari penampilan keduanya, mudah diterka Marvin dan Galang adalah pengamen "berjenis" badut keliling. Marvin bertugas jadi badut, sedangkan Galang menjinjing kotak suara portabel dan ember penadah duit. 

"Marvin baru hari ini jadi badut keliling. Dia lagi butuh duit, makanya ikut saya," ucap Galang. Tak seperti Marvin yang kegerahan, Galang terlihat "adem" karena hanya mengenakan celana pendek dan kaos berwarna biru. 

Marvin membenarkan ucapan Galang. Ia mengaku menjadi badut hanya pekerjaan sambilan pada akhir pekan. Pada hari-hari biasa, ia bekerja sebagai pengemas barang. 

"Jadi badut itu kerja sambilan aja waktu libur. Soalnya, dari gaji kerja, cuma cukup buat makan, tapi enggak cukup buat bayar kos," ungkap pemuda asal Bandung, Jawa Barat itu. 

Marvin hidup sendirian di Jakarta. Sejak usia 11 tahun, Marvin minggat dari rumah usai ibunya menikah lagi tak lama setelah ayahnya meninggal. Di ibu kota, ia "tersesat" di Roxy. Di kawasan itulah ia mengenal Galang. 

"Saya juga pernah jadi manusia silver juga kayak Kak Galang. Karena sekarang kerja juga lagi serba enggak pasti, akhirnya ngebadut aja. Saya ikut Kak Galang," kata Marvin.

Sponsored

Sebelumnya, Galang memang cukup lama mencari duit dengan jadi manusia silver. Ia memutuskan jadi badut keliling karena mendengar cerita seorang teman yang menyebut penghasilannya jauh lebih besar ketimbang jadi manusia silver. 

"Dari situ, saya dikenalin sama penyewa kostum di Roxy. Sekali sewa kostum sama kotak musik itu Rp30 ribu. Saya pikir bisa nih. Ya, udah ngebadut akhirnya," ujar Galang. 

Galang biasanya beroperasi di kawasan Roxy, Grogol, dan Tanjung Duren sejak petang hingga pukul 22.00 WIB. Jika sedang beruntung, ia bisa mengantongi duit sekitar 100-150 ribu per malam. Pada akhir pekan, ia bisa membawa pulang duit lebih besar lagi. 

"Potong sewa kostum Rp30 ribu, kita bisa bawa pulang Rp70 ribu sehari. Kalau malam Minggu, kita bisa dapat duit sampe Rp250 ribu," kata Galang. 

Tapi, pendapatan sebesar itu kini langka. Menurut Galang, penghasilannya kian tergerus sejak profesi badut keliling kian diminati. Ada kalanya Galang bahkan tak membawa pulang uang sama sekali. 

"Yang ngebadut enggak saya doang sekarang di wilayah sini. Kalau hujan sampai malam, itu sudah pasti pulangnya enggak bawa duit. Orang kan pada di dalem rumah semua," ujar Galang. 

Selain dengan sesama badut keliling, Galang mengaku, ia juga harus bersaing dengan pengamen ondel-ondel. Menurut dia, kelompok pengamen ondel-ondel tergolong brutal. Galang bahkan sudah dua kali kali dikeroyok pengamen ondel-ondel di dekat Mal Citraland, Tanjung Duren. 

"Saya pasrah, babak belur. Saya dianggap ambil lahan mereka. Padahal, kalau mereka lagi ngamen, ya, saya enggak akan ambil... Daerah situ (dekat Mal Citraland) tempat potensial dapat duit gede. Mereka itu mau nguasain sendiri," ujar Galang.

Galang tentu saja tak menikmati profesi sebagai badut keliling itu. Namun, ia tak punya pilihan lain. Sejak pandemi Covid-19, mencari pekerjaan tetap kian sulit. Apalagi, ia hanya mengantongi ijazah sekolah dasar (SD). 

"Saya sudah mencari pekerjaan apa aja. Tapi, tidak ada perusahaan yang mau terima. Mau berharap apa dengan ijazah SD di Jakarta?" kata pria berusia 23 tahun itu.

Marvin dan Galang (kiri) di sela-sela pekerjaannya sebagai badut keliling di Jelambar, Jakarta Barat, Minggu(19/12). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Imbas pandemi

Nasib serupa juga dialami Muhammad Zikri, seorang badut keliling yang ditemui Alinea.id di kawasan Poris, Tangerang, Banten. Ia mengaku sudah sering dihajar kelompok pengamen lain karena dianggap memasuki wilayah kekuasaan mereka. 

"Saya pernah dikeroyok di daerah Jakarta Pusat dan di Poris juga pernah. Mereka (para pengamen lain) marah karena saya masuk wilayah mereka," ucap pemuda berusia 18 tahun itu, Senin (20/12). 

Zikri terpaksa terjun menjadi badut keliling karena tak memiliki pekerjaan tetap sejak pandemi Covid-19. Apalagi, ayah Zikri meninggal sejak dua tahun lalu dan ibunya tidak bekerja. Ia juga punya dua adik yang masih sekolah. "Saya jadi badut karena bantu ekonomi keluarga," imbuh dia. 

Zikri tinggal di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ia memutuskan beroperasi di Poris, Tangerang, lantaran Jakarta sudah sesak dengan badut keliling. Untuk tiba di Poris, ia diantar seorang temannya menggunakan motor. 

"Nanti kalau sudah selesai, saya telepon temen saya, sekalian share lokasi biar dijemput. Biasanya (kerja) dari sore hingga malam hari. Soalnya jujur aja, kalau harus pakai kostum badut siang-siang, enggak kuat. Panas," ucap Zikri. 

Sebagaimana yang diungkapkan Galang, Zikri mengatakan pendapatan sebagai badut keliling terus menurun. Biasanya ia bisa mengantongi Rp80 ribu-Rp100 ribu per hari. Namun, belakangan ia kerap membawa pulang duit kurang dari Rp50 ribu.

Itu karena Jakarta sedang dilanda musim penghujan. Di lain sisi, penyedia kostum menaikkan harga sewa lantaran banyak peminat. "Karena lagi rame badut. Kadang-kadang saya aja kehabisan (kostum). Akhirnya, enggak bisa ngebadut," kata Zikri. 

Zikri berharap tak selamanya jadi badut keliling. Namun, ia masih belum tahu mau jadi apa jika tak membadut. "Gara-gara Corona, susah cari kerja. Ini aja saya masih beruntung. Saya dibilangin temen jadi badut. Kalau enggak mah, masih nganggur," ucap Zikri. 

Dodi Maulana, 34 tahun, menuturkan situasi serupa. Sebelum jadi badut keliling, Dodi bekerja sebagai pengantar galon isi ulang di Galur, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Namun, toko tempatnya bekerja itu gulung tikar karena dihantam pandemi. 

Dodi termotivasi jadi badut keliling setelah suatu malam nongkrong di kawasan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Ia melihat begitu banyak badut keliling yang mondar-mandir di sepanjang trotoar. Ketika itu, ia sudah berbulan-bulan menganggur. 

"Saya langsung tanya ke mereka, 'Ini kostum sama kotak musiknya dari mana?' Mereka bilang sewa. Saya langsung mikir mending jadi badut aja. Pakai topeng juga. Jadi, enggak malu. Saya lihat dapat uangnya juga lumayan," ucap Dodi kepada Alinea.id

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan sang istri, Dodi pun mantap terjun sebagai badut keliling. Rute mata pencahariannya, Matraman-Salemba-Senen serta sebaliknya. Setiap hari, ia bekerja selama 8 jam, yakni dari pukul 16.00 WIB hingga tengah malam. 

Jika sedang mujur, ia bisa memperoleh uang kisaran Rp150 ribu hingga Rp 200 ribu. Jika sedang sial, ia bisa hanya mengantongi Rp30 ribu. "Saya dapat Rp60 ribu karena posisi hujan gede. Terus dipotong sewa kostum Rp30 ribu. Akhirnya saya cuma bisa ngasih istri Rp30 ribu," ucap Dodi. 

Meskipun tak pernah berkonflik dengan pengamen lain, Dodi mengaku punya pengalaman yang tak kalah pahit. Saat sedang berkeliling, pria satu anak itu pernah ditangkap petugas dari Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Ia digelandang ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1 di Kedoya, Jakarta Barat dan mendekam di panti itu selama tiga hari. Dodi baru dilepas setelah ada pihak keluarga yang membantu mengurus kepulangannya.  

Tak punya opsi pekerjaan lain, Dodi kembali membadut setelah dibina. "Waktu di Kedoya saya juga enggak dikasih apa-apa. Saya cuma dibilangin supaya jangan kerja begini lagi. Ya, tapi saya belum nemu kerjaan baru, sementara saya punya keluarga," ucap Dodi.

Seorang badut keliling melintasi trotoar Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (23/12). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Terjebak lingkaran setan

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Lidya Triana memandang fenomena maraknya badut keliling di ibu kota sebagai fenomena wajar. Badut-badut keliling muncul akibat terpuruknya perekonomian dan kesejahteraan warga karena hantaman pagebluk Covid-19. 

"Enggak pandemi saja, peluang mereka (warga yang berpendidikan rendah) untuk masuk pasar kerja sudah sulit. Apalagi, sekarang banyak karyawan yang di-PHK perusahaan. Jadi, agak sulit bagi mereka masuk ke bidang-bidang ekonomi," ujar Lidya kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Menurut Lidya, warga miskin ibu kota memang kerap terjebak dalam lingkaran setan. Karena tak punya pendidikan yang tinggi, opsi pekerjaan yang tersedia bagi mereka terbatas. Akhirnya, sebagian dari mereka terpaksa memilih mencari duit di jalanan, semisal jadi pengamen, manusia silver, atau badut keliling.

Selama Dinas Sosial DKI Jakarta tidak melihat fenomena ini sebagai masalah sosial ibu kota, Lydia mengatakan, fenomena badut keliling bakal langgeng. Ia pesimistis razia bisa efektif jika pemerintah tidak membukakan peluang pekerjaan lain untuk mereka. 

"Apa yang bisa mereka lakukan? Setelah dilatih, disediakan enggak lapangan kerjanya? Kalau enggak disediakan, ya, dia akan balik lagi. Pekerjaan-pekerjaan seperti badut dan manusia silver itu, kalau memang tidak dilarang, ya, akan terus ada," kata dia. 

Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Premi Lasari mengaku sudah mengetahui fenomena maraknya badut keliling di jalanan ibu kota. Pemprov DKI, kata dia, sudah menggelar berbagai operasi untuk merazia dan membina para badut keliling. 

"Kami melakukan operasi asih asuh bersama dengan Satpol PP, wali kota dan dinsos di semua wilayah kota. Bagi mereka yang terjaring, dilakukan assesment dan rehabilitasi sosial," ucap Premi kepada Alinea.id, Senin (20/12).

Menurut Premi, para badut keliling termasuk kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang perlu dibina. "Dilakukan pembinaan di panti milik Dinsos DKI. Selama rehabilitas sosial diberikan pelatihan," ucap Premi. 

Namun demikian, Premi tak merinci pelatihan apa saja yang telah diberikan ke para PMKS itu. Ia pun bungkam saat ditanya mengenai langkah-langkah strategis yang disiapkan pemerintah untuk memastikan para badut keliling tidak kembali ke jalan. 

Berita Lainnya
×
tekid