sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komisi VII DPR dorong pembentukan pansus peleburan Eijkman ke BRIN

Menurut Komisi VII, pemerintah tidak berkomitmen untuk mengembangkan vaksin Merah Putih setelah LBM Eijkman dilebur ke BRIN.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Senin, 17 Jan 2022 23:34 WIB
Komisi VII DPR dorong pembentukan pansus peleburan Eijkman ke BRIN

Komisi VII DPR mendorong pembentukan panitia khusus (pansus) perihal polemik peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Menurut Komisi VII, pemerintah tidak berkomitmen untuk mengembangkan vaksin Merah Putih setelah LBM Eijkman dilebur ke BRIN.

Sementara, pengembangan vaksin justru diserahkan kepada kerja sama bisnis antara Holding BUMN Farmasi PT Bio Farma (Persero) dengan mitra asing.

"Komisi VII jadi saksi ya, bahwa kita bisa menyimpulkan, pemerintah memang tidak niat membuat vaksin Merah Putih. Maka saya minta persetujuan anggota, kita adakan rapat lintas komisi yg artinya kita bentuk Pansus. Sepakat!," kata Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto saat rapat dengar pendapat dengan sejumlah mantan pimpinan LBM Eijkman, Senin (17/1).

Sebelum menyimpulkan mendorong pembentukan Pansus, Komisi VII mendengar penuturan mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio terkait nasib pengembangan vaksin Merah Putih. Menurut Amin, perhatian terhadap pengembangan vaksin Merah Putih mulai mengendor tatkala pemerintah memutuskan peleburan LBM Eijkman ke dalam BRIN.

"Kalau kita diberi anggaran seperti waktu ditugaskan 2020, maka vaksin bisa lebih cepat," ujar Amin dalam rapat.

Menurut Amin, pada awal Januari 202, pihaknya mengajukan usulan ke Kemenristek Dikti untuk mengadaan alat Bio Recter. Alat tersebut dapat memproduksi vaksin dalam jumlah banyak. Meski Kemenristek Dikti menyatakan memproses usulan pengadaan barang tersebut, nyatanya sampai hari ini pun janji itu belum terealisasi.

"Dari kementerian mengatakan sedang diproses, tetapi diproses terus gitu ya sampai akhir tahun," ujar dia.

Sponsored

PT Bio Farma sebenarnya memiliki alat Bio Recter. Namun demikian, alat tersebut juga digunakan oleh lembaga lain. Alhasil, proses pengembangan vaksin Merah Putih pun jadi terhambat.

"Karena di Bio Farma juga ada alatnya, tetapi juga mesti giliran pakainya. Bio Recter yang sama itu dipakai untuk penelitian yang lain. Harus share dengan Unpad, segala macam. Karena Bio Farma juga melayani lembaga lain. Jadi dalam waktu periode satu tahun, kami bisa menggunakan alat itu empat sampai lima kali," kata Amin.

Mendengar cerita Amin, lantas Sugeng pun merasa heran. Sebab, pemerintah juga sudah berkomitmen dengan Komisi VII DPR pada 2020 terkait pengembangan vaksin Merah Putih.

"Ini menurut hemat kita, lagi-lagi, ini bukan semata-mata vaksinnya tetapi ini lah bangsa ini gitu loh. Bayangkan, sesuatu yg sudah dikomitmenkan di ruang ini juga. Kalau tidak salah 2020, itu ternyata tidak direalisasi sebagaimana mestinya," ungkap Sugeng.

Menurut Sugeng, jika dibandingkan dengan anggaran yang disetujui DPR untuk mengatasi pandemi Covid-19, biaya pengadaan alat pembuatan vaksi Merah Putih tidaklah seberapa. Dia pun menuding adanya mafia di balik kerja sama bisnis antara Holding BUMN Farmasi PT Bio Farma (Persero) dengan mitra asing.

"Sehingga malah muncul ide yang lain, ini semuanya menjadi mentah. Maka kesimpulan kita, memang betul ternyata mafia itu luar biasa, termasuk mafia vaksin," pungkasnya.

Sugeng berdalih polemik peleburan Eijkman itu berdampak serius pada upaya pengembangan vaksin merah putih yang sebelumnya diproyeksikan memperkuat ketahanan kesehatan dan riset nasional. Malahan, kata dia, pemerintah justru mengembangkan vaksin yang bersifat bisnis dengan mitra dagang dari luar negeri.

“Malah muncul ide lain yang jadi mentah, ternyata mafia itu luar biasa termasuk mafia vaksin boleh lah kalau ada wartawan karena ini rapat terbuka. Fakta Eijkman lembaga yang kredibel toh akhirnya mati di tengah jalan,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid