sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kualitas udara Jakarta masih terburuk di dunia hari ini

Dalam tiga hari terakhir kualitas udara Jakarta berada pada level buruk.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Selasa, 30 Jul 2019 10:55 WIB
Kualitas udara Jakarta masih terburuk di dunia hari ini

Kualitas udara DKI Jakarta pada Selasa (30/7) pagi masih menjadi yang terburuk di dunia versi AirVisual. Seperti yang terjadi pada Senin (29/7), Jakarta masih bercokol di posisi teratas dalam indeks kualitas udara (US AQI).

Mengacu pada US AQI, kualitas udara Jakarta berada pada level 178 atau berada pada kategori tidak sehat. Adapun kadar PM2.5 (partikel padat di udara yang berukuran di bawah 2,5 mikrometer) Jakarta saat ini adalah 107,49 µg/m³.

Data ini menunjukkan kualitas udara masih belum beranjak menjadi lebih baik, setidaknya dalam tiga hari terakhir. 

Pada Minggu (28/7) pagi, kualitas udara Jakarta berada pada level 189 dengan parameter PM2.5 128,9 µg/m³. Hari itu, Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia.

Pada Senin (29/7), US AQI Ibu Kota menunjukkan angka 188 dengan kandungan polusi PM2.5 sebesar 129,9 µg/m³. Dengan level ini, Jakarta menjadi kota dengan polusi udara paling tinggi di dunia.

Sementara itu, berdasarkan Indeks Standard Pencemaran Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kualitas udara di Jakarta Selasa (30/7) pagi masih berada di level sedang. Hanya wilayah Jakarta Selatan yang kualitas udaranya berada dalam kategori tidak sehat. Berbeda dari AirVisual, ISPU menggunakan parameter PM10 (debu polutan berukuran di bawah 10 mikrometer).

Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Nasrullah, mengakui terjadi penurunan kualitas udara di Jakarta.

"Sepanjang Juni hingga  Juli, data konsentrasi PM10 dan PM2.5 di BMKG mengindikasikan peningkatan konsentrasi partikel polutan, terutama pada 20 hari terakhir," kata Nasrullah dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Senin (29/7).

Sponsored

Dia mengatakan, BMKG mengimbau kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat luas untuk saling membantu dalam mengatasi persoalan memburuknya kualitas udara. Pemerintah dan Pemda dapat mengatur waktu pekerjaan konstruksi, yang menjadi salah satu penyebab memburuknya kualitas udara, sehingga tidak bertepatan dengan waktu puncak konsentrasi polutan. 

"Pemda juga bisa terus berupaya menambah ruang-ruang terbuka hijau, menanam tanaman yang dapat mengisap polutan secara lebih efektif, dan melakukan pengaturan rekayasa lalu lintas sehingga kondisi terlampau tingginya kadar polutan tidak terjadi pada saat peak hour," ujar Nasrullah.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, pemerintah bisa dipidana jika mengabaikan masalah polusi udara Ibu Kota. Pemerintah seharusnya secara rutin melaporkan kualitas udara dan memberi arahan pada masyarakat untuk menghindarinya.

Hal tersebut sesuai dengan regulasi Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, sesuai dengan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menyebutkan hasil pemantauan kualitas udara harus disampaikan gubernur kepada masyarakat sebagai peringatan dini.

"Sesungguhnya pemerintah itu terkena pasal 112 undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Jika kualitas udara sudah melebihi batas ambang kesehatan, maka kita harus memaksa gubernur untuk mengatasi ini," kata Safrudin.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut terus berusaha mengurangi polusi dari sumbernya. Namun dia mengakui tak dapat berbuat banyak karena faktor kemarau yang saat ini terjadi.

"Kami masih menghadapi situasi ini beberapa waktu ke depan dengan kemarau amat tinggi," ujar Anies di Rorotan, Jakarta, Senin (29/7).

Berita Lainnya
×
tekid