sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KY diminta usut dugaan pelanggaran kode etik hakim kasus Novel

PN Jakut akan menggelar sidang putusan perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Kamis (16/7).

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 15 Jul 2020 19:56 WIB
KY diminta usut dugaan pelanggaran kode etik hakim kasus Novel

Komisi Yudisial (KY) didesak aktif mendalami dugaan pelanggaran kode etik terhadap majelis hakim yang akan memutus dua terdakwa penyiram air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

"Komisi Yudisial harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," ujar anggota tim advokasi Novel dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, via keterangan resmi kepada Alinea.id, Rabu (15/7).

Menurutnya, majelis hakim harus memahami benar bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie. Sistem tersebut memiliki pengertian, dasar pembuktian dilakukan menurut keyakinan hakim (beyond reasonable doubt). Keyakinan dapat didasarkan pada dua alat bukti.

"Untuk itu, jika hakim tidak yakin dan terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dengan fakta kejadian, maka dua terdakwa tersebut semestinya dibebaskan," terang Kurnia.

Tim advokasi pun mendesak Mahkamah Agung (MA) memberi jaminan, bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan bertindak objektif. Juga meminta Komisi Kejaksaan (Komjak) memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan jaksa penuntut umum (JPU).

Permintaan dilayangkan lantaran banyaknya kejanggalan pada tiap proses peradilan. Pertama, tidak dihadirkannya saksi yang dianggap penting guna mengungkap kejahatan terorganisasi itu.

Kedua, sejumlah barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak ditunjukkan dalam proses persidangan. Ketiga, JPU dinilai berpihak kepada terdakwa karena menyudutkan Novel saat memberikan kesaksian dan tuntutannya dianggap mengikis rasa keadilan.

Keempat, segala tindakan penuntutan di persidangan, termasuk pelayangan tuntutan rendah, lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan. Kelima, pendampingan hukum yang dilakukan Polri terhadap dua terdakwa sarat konflik kepentingan.

Sponsored

Keenam, janggalnya pendampingan hukum langsung dari Polri. Ketujuh, duplik dua pelaku yang dibacakan penuntut menyebutkan, terdakwa menyerahkan diri, bukan ditangkap.

Kedepalan, adanya saksi yang meragukan kedua terdakwa sebagai pelaku yang dilihat sesaat sebelum penyiraman karena gesturnya tidak sama saat dikronfrontasi Polri.

Kesembilan, indikasi keterlibatan pelaku lebih dari dua orang amat kuat. Ini diyakini dari kesaksian para saksi di persidangan yang mengungkapkan, terdapat orang-orang yang melakukan pengintaian di sekitar lingkungan rumah Novel, satu bulan hingga satu minggu sebelum kejadian.

Ke-10, janggalnya kesaksian saksi ahli dalam mengeluarkan pendapat soal cairan kimia yang terkandung dalam barang bukti. Terakhir, terdakwa leluasa keluar-masuk asrama, padahal harus mendapat izin dari atasan hukum terdakwa dulu. Apalagi, hanya ada satu akses pintu di Asrama Brimob, Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat.

Sidang putusan kasus penyiraman air keras kepada Novel oleh kedua pelaku, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, akan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), besok (Kamis, 16/7). Mereka bakal menjalani sidang putusan setelah dituntut hukuman satu tahun penjara.

Dalam pertimbangan yang memberatkan, JPU memandang, perbuatan keduanya dinilai mencederai kehormatan institusi Polri. Sedangkan hal yang meringankan, Ronny dan Rahmat dianggap telah mengabdi di "Korps Bhayangkara" selama dasawarsa dan kooperatif selama persidangan.

Ronny dan Rahmat sebelumnya didakwa melakukan penganiayaan berat dan terencana. Dua anggota kepolisian ini terancam hukuman pidana selama 12 tahun lantaran menyiram air keras atas dasar benci kepada Novel dengan dalih mengkhianati institusi Polri.

Berita Lainnya
×
tekid