sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menanti solusi jitu atasi banjir di Jakarta

Selain macet, banjir merupakan masalah klasik yang kerap menghantui warga Jakarta bila curah hujan tinggi.

Akbar Persada Nanda Aria Putra Robertus Rony Setiawan
Akbar PersadaNanda Aria Putra | Robertus Rony Setiawan Senin, 29 Apr 2019 20:20 WIB
Menanti solusi jitu atasi banjir di Jakarta

Pada Kamis (25/4), Wasqiyah, seorang warga RW 07 di Jalan Bina Warga, Rawajati II, Jakarta Selatan, mendapatkan pesan dari grup WhatsApp agar warga siap siaga terhadap banjir yang kemungkinan datang Jumat (26/4) dini hari.

“Perkiraan 8 sampai 9 jam ada pergerakan arus air dari Bendungan Katulampa, Bogor. (Air) sampai sini kemungkinan jam 4 pagi,” tutur Waqiyah kepada reporter Alinea.id, ketika ditemui di kediamannya, Senin (29/4).

Anomali cuaca

Di wilayah Jakarta, Kelurahan Rawajati termasuk titik banjir terparah. Pada Sabtu (27/4), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, ada 37 titik banjir yang tersebar 14 titik di Jakarta Selatan, 21 titik di Jakarta Timur, dan 2 titik di Jakarta Barat.

Banjir diakibatkan karena tingginya curah hujan yang mengguyur Bogor, Tangerang, dan Jakarta pada 25, 26, dan 27 April 2019. Intensitas hujan tersebut mengakibatkan Sungai Ciliwung, Krukut, Angke, Pesanggrahan, dan Cipinang meluap.

Tak hanya Jakarta. Setelah itu, beberapa daerah juga dilanda banjir. Kepala Subbidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra mengatakan, pemicu terbesar peningkatan curah hujan akhir April ini berkaitan dengan aktivitas madden jullian oscillation (MJO) yang menjalar masuk ke wilayah Indonesia. MJO adalah sebuah pola khatulistiwa anomali curah hujan.

Di Indonesia bagian barat, fenomena ini berinteraksi dengan kondisi cuaca regional. Akibatnya, terbentuk daerah belokan dan pertemuan angin yang signifikan. Hal ini turut dipengaruhi kemunculan badai tropis di Samudera Hindia, yang berdampak pada pola-pola angin di kawasan Indonesia, meski tidak langsung.

Warga Rawajati membersihkan lumpur sisa banjir. Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

“Tidak hanya wilayah pesisir barat Sumatera, Jawa bagian barat dominan dipengaruhi MJO sehingga curah hujan tinggi terbentuk di Jabodetabek. Ini misalnya memicu banjir,” ucap Agie saat dihubungi, Senin (29/4).

Agie menjelaskan, dalam lima hari ke depan, kondisi pengaruh MJO akan terjadi pula di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua. “Gangguan tropis MJO ini sifatnya hanya sementara, 6 sampai 8 hari. Tapi terkadang dampaknya dashyat,” ujarnya.

Usai mendapatkan pemberitahuan itu, Waqiyah, suami, dan ketiga anaknya lantas berbenah. Jumat (26/4) dini hari hingga Minggu (28/4), luapan air setinggi tiga meter menggenangi rumahnya. Keluarga Waqiyah mengungsi di posko pengungsian puskesmas Kelurahan Rawajati II.

Egi Djunaedi, seorang petugas keamanan di puskemas Kelurahan Rawajati I mengatakan, selain di posko puskesmas Kelurahan Rawajati I dan II, warga sekitar Kalibata terdampak banjir juga mengungsi ke Masjid Al-Hikmah, SDN Rawajati 03, dan musala RT 10.

Senin siang (29/4), Waqiyah dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Air sudah surut sejak Minggu (28/4). Posko-posko pengungsian pun sudah tak difungsikan.

Waqiyah mengatakan, daerah tempat tinggalnya memang kerap dilanda banjir. Akan tetapi, kata Waqiyah, banjir pada Jumat dini hari, di luar kebiasaan.

Beberapa Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) dibantu pemadam kebakaran, terlihat membersihkan sisa-sisa lumpur di depan jalan masuk permukiman warga. Warga pun sibuk membersihkan lumpur sisa banjir.

Solusi Pemprov DKI

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersyukur, banjir di beberapa titik di Jakarta tak separah pada 2015. Saat itu, 230.000 warga terpaksa mengungsi. Anies melontarkan hal itu, dengan alasan warga yang mengungsi sejak Jumat (26/4), sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

"Kemarin 1.600 orang (mengungsi), kenapa terjadi, karena volume air dari hulu tidak dikendalikan," ujarnya di Balai Kota Jakarta, Senin (29/4).

Anies menambahkan, berdasarkan laporan yang diterimanya, air di titik-titik banjir akibat luapan Sungai Ciliwung juga sudah surut. “Kini tinggal empat titik (banjir),” kata Anies. “Artinya, air surutnya sudah lebih cepat, dan masyarakat (terdampak) bisa kembali beraktivitas.”

Anies pun mengaku bisa bernapas lega lantaran kondisi air laut di hilir Sungai Ciliwung tak pasang, ketika Jakarta dilanda banjir kiriman dari hulu Sungai Ciliwung di Bogor, Jawa Barat.

"Tapi bila air dari hulu jumlahnya banyak, lalu air di laut pasang, maka Jakarta bisa terendam, dan Alhamdulillah kita kemarin terhindar dari itu," ujarnya.

Berdasarkan hal itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menyimpulkan, banjir di Jakarta tak bisa tuntas hanya dengan metode normalisasi sungai di Jakarta. Usaha ini pun masih terkendala pembebasan lahan.

Dihubungi terpisah, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung dan Cisadane Bambang Hidayah mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu pembebasan lahan yang terus diupayakan Dinas Sumber Daya Air Pemprov DKI Jakarta.

Warga bersandar di jendela usai membersihkan rumahnya dari lumpur pascabanjir di kawasan Kelurahan Rawajati, Jakarta, Senin (29/4). /Antara Foto.

Bambang menuturkan, saat ini sudah mendapatkan data lahan seluas 14 hektare, yang sudah dibebaskan dan sedang dilakukan pendesainan di lapangan peruntukkannya.

“Nanti kita lihat space-nya dulu, yang sudah dibebaskan berapa meter lebarnya. Kalau cuma lebar 50 meter atau kurang dari 50 meter, akan sulit mendesain secara naturalisasi,” katanya saat dihubungi, Senin (29/4).

Lahan yang dibutuhkan seluas 14 hektare tersebut, ada di Kelurahan Gedong seluas 16.112 meter persegi, Kelurahan Balekambang seluas 37.768 meter persegi, Kelurahan Pejaten Timur seluas 71.936 meter persegi, Kelurahan Cililitan seluas 4.727 meter persegi, Kelurahan Cawang seluas 4.813 meter persegi, Kelurahan Kampung Melayu seluas 1.399 meter persegi, Kelurahan Tanjung Barat seluas 3.851 meter persegi, dan Kelurahan Bukit Duri seluas 75 meter persegi.

Menurut Anies, selain mengandalkan pembangunan dua bendungan besar di Sukamahi dan Ciawi, Bogor, yang tengah dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pemprov DKI Jakarta juga terus menjalin kerja sama dengan Pemkab dan Pemkot Bogor.

Kerja sama itu dilakukan untuk memproyeksikan pembangunan waduk-waduk baru. Tujuannya, untuk mengendalikan air dari hulu menuju hilir Sungai Ciliwung.

"Dinas Sumber Daya Air sedang dalam proses pencarian tempat-tempat baru untuk pembangunan waduk-waduk atau kolam retensi," kata Anies.

Sejauh ini, kata Anies, rencana itu masih berjalan. Ia menuturkan, Wali Kota Bogor Bima Arya juga mendukung upaya pencarian lahan baru untuk membangun waduk-waduk pengendali debit air.

Dengan waduk atau kolam retensi itu, Anies meyakini banjir yang selalu menjadi masalah klasik ibu kota dapat teratasi dengan baik. Begitu pun banjir-banjir yang ada di kota penyangga Jakarta, seperti Bekasi dan Tangerang Selatan.

"Dan ini bukan untuk mencari siapa yang salah dan tidak, hulu tidak salah, tapi karena ini hujannya terjadi di hulu, maka kita Pemprov DKI bekerja sama dengan Pemda di sana," tutur Anies.

Solusi lain

Menanggapi hal ini, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Jakarta Nirwono Joga mengatakan, ada empat penyebab banjir yang kerap melanda Jakarta. Pertama, terjadi akibat curah hujan yang tinggi di wilayah hulu, seperti kawasan Puncak Bogor, yang menyebabkan air mengalir ke daerah lebih rendah. Kondisi seperti ini disebut dengan istilah banjir kiriman.

Kedua, banjir yang disebabkan curah hujan tinggi di Jakarta, yang menyebabkan air tergenang di daerah permukiman penduduk. Kondisi ini disebut banjir lokal.

Ketiga, banjir yang disebabkan naiknya debit air laut atau yang lebih dikenal dengan banjir rob. Banjir ini terjadi karena permukaan pesisir pantai lebih rendah dibandingkan dengan permukaan laut. Permukaan tanah turun disebabkan pembangunan yang masif.

Keempat, banjir gabungan tiga penyebab tadi, dalam waktu yang bersamaan. Banjir ini terjadi karena curah hujan yang tinggi di hulu dan hilir, dan secara bersamaan bulan purnama muncul. Hal ini mengakibatkan permukaan air laut meningkat.

“Untuk banjir saat ini yang terjadi di Jakarta berada di level satu, banjir kiriman,” katanya saat dihubungi, Senin (29/4).

Menurut Nirwono, langkah untuk menambah bendungan besar di Sukamanahi dan Ciawi dinilainya tak efektif. Ia berpendapat, selama ini pemerintah pusat dan daerah abai terhadap keberadaan situ, sebagai penampung air, yang sudah ada.

“Situ atau danau di Jabodetabek pada tahun 2009 ada 209, pada 2015 tinggal 183, tahun 2018 tinggal 178 berarti ada pembiaran situ atau danaunya hilang,” katanya.

Nirwono mengatakan, ketika dicek ke lapangan, situ-situ itu sudah beralih fungsi menjadi permukiman real estate dan tengah diuruk untuk menjadi apartemen mewah.

“Buat apa membangun yang baru terus sementara yang sudah ada saja dibiarkan menghilang dengan sengaja,” katanya.

Sejumlah anak bermain air saat banjir melanda permukiman di kawasan Rawajati, Jakarta Selatan, Jum'at (26/4). /Antara Foto.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan kerja yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam kurun waktu dua tahun terakhir untuk mengatasi banjir.

“Dari beberapa hal yang telah saya usulkan Pemerintah DKI, baru pada tahap membuat sumur resapan. Artinya, gubernur belum melakukan antisipasi banjir secara maksimal,” ujarnya.

Nirwono menyarankan sejumlah solusi untuk mengatasi banjir yang kerap menghantui warga bila terjadi curah hujan tinggi. Pertama, saluran air harus terhubung dengan baik, bebas dari endapan lumpur, limbah, dan sampah.

Ia menuturkan, ketika penataan dan pembangunan jaringan kabel bawah tanah, juga harus diikuti pembangunan saluran air yang baik. Saluran bawah tanah, kata dia, bisa ditata dengan membagi saluran berdiameter tiga meter menjadi dua, antara jalur kabel telepon dan serat optik dengan pipa gas, air bersih, dan limbah.

Selain itu, kata Nirwono, Pemprov DKI Jakarta juga harus merevitalisasi menyeluruh terhadap 109 situ, danau, embung, dan waduk di sekitar wilayah Jakarta. Semua itu, kata dia, harus dikeruk dan diperdalam agar daya tampungnya lebih besar.

"Revitalisasi ini dilakukan dengan pendekatan integralistik ekologi hidraulis yang alami dan lestari," ucapnya.

Banjir di Jakarta mudah terjadi karena curah hujan yang tinggi.

Menciptakan ruang terbuka hijau (RTH), menurut Nirwono, juga bisa menjadi solusi penciptaan daerah tangkapan air. “RTH telah lama memberi manfaat ekologis berupa pengendalian banjir, penyuplai air baku, penjaga keseimbangan ekosistem, dan ruang publik bagi warga,” ujarnya.

Ia pun mengatakan, Pemprov DKI Jakarta perlu mengimbau warganya agar tak membuang sampah ke bantaran sungai. Merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai, kata Nirwono, juga harus dilakukan. Keterbatasan lahan menjadi faktor utama kenapa pilihan relokasi harus diambil.

“Keberanian dan ketegasan gubernur sangat ditunggu untuk segera melanjutkan penataan sungai, sehingga warga secara sukarela direlokasi ke tempat terdekat yang aman dari bencana. Menjamin kota bebas banjir bukan merupakan pilihan, melainkan sebuah keharusan," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid