sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menimbang hukuman mati Mensos Juliari P Batubara

Pasal yang disematkan ke Juliari, tidak terancam dihukum mati. Firli Bahuri tak menyebut kerugian negara sesuai Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 06 Des 2020 16:08 WIB
Menimbang hukuman mati Mensos Juliari P Batubara

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menegaskan, ancaman hukuman mati bagi koruptor bisa saja terjadi. Jika, disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

"Atau dakwaannya harus 'membuat SK penunjukan bagi perusahaan tertentu dengan menitip harga pada setiap unit bansos (bantuan sosial)', sehingga merugikan keuangan negara," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (6/12).

Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, berbunyi dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 2 ayat (1), menyebut memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam naskah yang telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, keadaan tertentu ditafsirkan sebagai alasan pemberatan pelaku tindak pidana korupsi yang praktik lancungnya menyasar dana-dana, seperti penanggulangan keadaan bahaya atau bencana alam nasional.

Penjelasan Fickar tersebut tak lepas dari status Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara (JPB), yang ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Kementerian Sosial (Kemensos) terkait basos Covid-19 untuk Jabodetabek.

Pada perkaranya, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 11 UU Tipikor, mengatur tentang pidana penjara paling singkat satu tahun dan maksimal lima tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji.

Pasal 12 huruf a UU Tipikor, terkait pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal itu diketahui atau diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban.

Sponsored

Pasal 12 huruf b UU Tipikor, berbunyi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal itu diketahui atau diduga diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban.

Berdasarkan sangkaan pasal yang disematkan kepada Juliari, Fickar mengatakan yang bersangkutan tidak terancam dihukum mati. Dalam konstruksi perkara, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri tak menyebut adanya kerugian negara sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Terlepas dari hal tersebut, Fickar mengatakan, sepanjang sistem keuangan negara didasarkan pada proyek-proyek, maka libido korupsi pada birokrasi tidak akan berhenti. "Karena itu proyek-proyek masa pandemi pun tetap menjadi sasaran korupsi," katanya.

Di sisi lain, dalam kasus yang menjerat Mensos Juliari, Fickar menyebut itu sangat ironis. Sebab, program Kemensos seharusnya untuk kemaslahatan rakyat. Kendati tak dijerat Pasal 2 ayat (2), Fickar mengatakan efek jera harus dikedepankan, terlebih perkaranya berkaitan dengan pagebluk Covid-19.

"Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ancaman maksimalnya hukuman mati jika tipikor dilakukan dalam keadaan tertentu, termasuk di dalamnya keadaan bencana alam nasional termasuk bencana pandemi Covid-19. Oleh karena itu, untuk penjeraan kiranya pantas hukuman maksimal diterapkan bagi korupsi yang dilakukan pada masa pandemi ini," jelasnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu, menentang wacana hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi. ICJR, imbuhnya, merekomendasikan pemerintah agar fokus pada visi pemberantasan rasuah.

"Dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya. Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi," jelasnya.

Erasmus berpendapat, selama ini hukuman mati di Indonesia cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. 

Padahal, faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.

"Contoh paling konkret, misalnya, dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini," ucapnya.

Menurutnya, hal senada juga berlaku pada kebijakan pemberantasan korupsi. Selama pembenahan sistem pengawasan pencegahan belum berjalan, maka praktik lancung bisa terus terjadi.

"Hal ini, terbukti dengan terus bermunculannya kasus-kasus korupsi khususnya yang ada di lingkungan Kemensos. Mensos periode sebelumnya yakni Idrus Marham baru pada 2019 lalu terjerat kasus korupsi pembanguan PLTU Riau," katanya.

"Kemudian jauh sebelumnya pada 2011, Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, juga sempat tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit. Fokusnya harus pada pembaruan sistem, tidak hanya berfokus pada hukuman," imbuhnya.

Di sisi lain, Erasmus mengatakan, narasi pidana mati menandakan pemerintah berpikir pendek dalam penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan hukuman itu bagi pelaku rasuah, dinilai akan mempersulit kerja-kerja dalam penanganan praktik lancung.

"Sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati. Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual," ucapnya.

Sebelumnya, usai OTT, Sabtu (5/12) dinihari, komisi antikorupsi menetapkan lima orang sebagai tersangka. Selain Juliari, ada pejabat pembuat komitmen atau PPK Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW).

Selanjutnya, dua pihak swasta diduga sebagai pemberi, Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS). Tiga tersangka sudah ditahan, sementara Juliari dan Adi masih dalam pemeriksaan penyidik KPK usai menyerahkan diri.

Pada perkaranya, Mensos Juliari besama PPK, Adi dan Matheus, diterka menerima sejumlah uang dari pihak swasta, Ardian serta Harry. Firli menjelaskan kasus bermula dari pengadaan bansos Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos sekitar Rp5,9 triliun dan total 272 kontrak selama dua periode. 

Terkait proyek tersebut, imbuh Firli, Juliari kemudian menunjuk Matheus dan Adi sebagai PPK. Pelaksanaan pengadaan itu diterka dengan penunjukan langsung para rekanan. "Diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui MJS," ujarnya.

Fee tiap paket bansos, imbuh Firli, disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu per sembako dari nilai Rp300.000 per paket bansos. Selanjutnya, dua orang itu membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier pada Mei dan November 2020.

"Sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS, dan juga PT RPI (Rajawali Parama Indonesia) yang diduga milik MJS," kata Firli.

Juliari diterka mengetahui penunjukan PT RPI dan Adi menyetujuinya. Sementara pada pelaksaan paket bansos periode pertama, diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Mensos Juliari melalui Adi sekitar Rp8,2 miliar.

"Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N, Sekretaris Kemensos) selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB," ucap Firli

"Untuk periode kedua pelaksaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," imbuhnya 

Sebagai penerima, Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Sedangkan pemberi, Ardian dan Harry disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.

Berita Lainnya
×
tekid