sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pasal pemidanaan advokat di RKHUP perlu ditinjau ulang

Pasal 15 UU Nomor 18 tahun 2003 menyebut advokat bebas dalam membela perkara kliennya sepanjang berpegang pada kode etik profesi.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 23 Jun 2021 08:32 WIB
Pasal pemidanaan advokat di RKHUP perlu ditinjau ulang

Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad, menyebut pasal pemidanaan bagi advokat yang tercantum dalam Pasal 282 dan Pasal 515 draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) perlu dikaji ulang, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

"Dari segi filosofis, urgensi aturan ini perlu didalami lebih jauh. Apakah memang marak terjadi praktik kecurangan oleh advokat yang merugikan pihak lain? Ini perlu ada data yang konkrit dan eksplisit," kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (23/6).

Pasal 282 RUU KUHP menyebutkan bahwa advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V (Rp500 juta).

Pekerjaan secara curang dimaksud, yakni mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau memengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Dalam penjelasan Pasal 282 itu sisebutkan bahwa ketentuan ini ditujukan kepada advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.

Menurut Suparji, secara yuridis, pasal ini cenderung bertentangan dengan undang-undang yang mengatur advokat yakni Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003. Sebab, dalam pasal tersebut menekankan bahwa advokat bebas dalam membela perkara kliennya sepanjang berpegang pada kode etik profesi.

"Sedangkan dalam Pasal 16 di undang-undang yang sama menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan," ujarnya.

Sedangkan secara sosiologis, kata Suparji, harus memperhatikan fenomena penegakan hukum secara umum dan tidak diskriminatif. Misalnya, perlu adanya sanksi atau ancaman bagi pihak kepolisian yang melakukan salah tangkap. "Karena selama ini belum terdengar ada polisi yang diberi sanksi hukuman  atas perbuatan salah tangkap. Padahal ini banyak terjadi," tuturnya.

Sponsored

Suparji menilai, definisi curang dalam Pasal 282 huruf a cenderung multitafsir. Karena bersepakat dengan lawan klien dikategorikan perbuatan curang. "Padahal Kejaksaan sendiri sedang menggaungkan penyelesaian secara restorative justice. Proses tersebut tentu melibatkan pengacara dari dua belah pihak. Jika ini dianggap curang, saya kira cukup berbahaya," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid