sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penanganan ekstremisme kekerasan dan terorisme butuh proses panjang

Sikap intoleransi menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme.

Satriani Ariwulan
Satriani Ariwulan Sabtu, 30 Jan 2021 23:17 WIB
Penanganan ekstremisme kekerasan dan terorisme butuh proses panjang

Perpres No.7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE), dinilai sebagai langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah di tengah kian tingginya aksi terorisme.

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi mengatakan terbitnya peraturan tersebut menunjukkan pemerintah menganggap ekstremisme kekerasan dan terorisme merupakan bentuk ancaman yang nyata di Indonesia. 

"Secara faktual, selama ini Indonesia dibayang-bayangi ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi terorisme," ujar Islah dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Jakarta, Selasa (30/1).

Rencana Aksi Nasional dalam Perpres yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2021 itu terdiri dari tiga pilar, yaitu pencegahan, penegakan hukum, dan kemitraan. Pencegahan meliputi unsur kesiapsiagaan, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi. Penegakan hukum meliputi penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, serta kerangka kerja legislasi nasional. Sementara kemitraan meliputi peningkatan kapasitas dan instrumen hukum kerja ama internasional dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Meski demikian, Islah menyebut penanganan ekstremisme kekerasan dan terorisme tidak akan selesai dalam waktu yang dekat. Penyelesaian persoalan ini disebut membutuhkan proses yang panjang dan bertahap. 

Menurutnya, pemerintah perlu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap berbagai potensi ancaman secara komprehensif. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus bertindak secara konsekuen dan terukur. 

"Kesiapan internal Polri dari pusat sampai daerah menjadi faktor yang menentukan untuk menghadapi berbagai persoalan intoleransi, radikalisme, ekstremisme berbasis kekerasan, dan berbagai potensi aksi terorisme. Dibutuhkan perencanaan yang matang," ujarnya. 

Menurut Islah, terorisme merupakan kejahatan yang dibentuk melalui sebuah proses. Dia menyebut, aksi bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya dilakukan dalam proses ideologisasi yang bertahap sehingga pelaku yakin dan percaya untuk melakukan aksi terorisme tersebut. 

Sponsored

"Sikap intoleransi menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme, ekstremisme kekerasan dan terkadang mengarah pada aksi terorisme," katanya. 

Sikap intoleransi dan radikalisme terlihat menguat di sebagian kelompok masyarakat dan instansi pemerintah. Hasil survei Alvara Research Center tahun 2017 menyebutkan terdapat 19,4% aparatur sipil negara (ASN) yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila. 

Selain itu, sikap intoleran dan radikalisme di kalangan generasi muda, termasuk siswa sekolah menengah atas (SMA) juga memprihatinkan. Berbagai survei sejak 2011 menemukan potensi intoleransi dan radikalisme yang semakin meningkat di kalangan remaja dan siswa SMA. Di antaranya, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP, 2011), Setara Institute (2015), Kemendiknas (2016), Paramadina (2017), Alvara Research Center (2017), PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2018), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2018), yang menunjukkan semakin meningkatnya potensi radikalisme di kalangan generasi muda.

Berita Lainnya
×
tekid