sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penipuan First Travel dan opsi hukum mengembalikan hak korban

Putusan Mahkamah Agung terkait aset First Travel yang akan disita negara, menjadi polemik.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 22 Nov 2019 19:32 WIB
Penipuan First Travel dan opsi hukum mengembalikan hak korban

Pada 2016, Yulia mengenal biro perjalanan ibadah umrah PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel dari temannya yang bekerja di sana. Awalnya, ia berangkat berdua bersama temannya tadi ke tanah suci. Sekembalinya dari Makkah, ia mendaftarkan enam anggota keluarganya, dengan biro perjalanan umrah yang sama.

“Tapi yang kedua, saya mengurus sendiri, tanpa teman yang bawa saya,” kata Yuli saat dihubungi Alinea.id, Selasa (19/11).

Ia mengatakan, sudah mempersiapkan segala perlengkapan umrah, tiga bulan sebelum keberangkatan. Akan tetapi, perjalanan diundur, dan tak ada kepastian kapan terbang.

Hingga pada 2017 kabar mengejutkan ia dengar, First Travel melakukan penipuan kepada ribuan calon jemaah umrah. Total kerugian yang dialami Yulia sebesar Rp111 juta.

“Setelah tahu, saya menuntut ganti rugi dengan berbagai cara, dari menyewa jasa pengacara perdata sampai rajin ke sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Depok,” ujar salah seorang korban penipuan agen perjalanan ibadah umrah First Travel asal Bekasi itu.

Kekecewaan pun dialami Mariyam, calon jemaah umrah asal Bogor. Ia juga mendaftarkan keluarganya untuk berangkat umrah dengan jasa First Travel. Namun, setelah orang tua dan iparnya berangkat, Mariyam tak kunjung dapat kabar kepastian akan diterbangkan ke tanah suci.

“Malah saya enggak berangkat. Padahal, cuma berjarak dua bulan,” ujar Mariyam ketika dihubungi, Selasa (19/11).

Kerugian yang dialami Mariyam sebesar Rp17,4 juta. Bersama para korban penipuan First Travel lainnya, Mariyam sudah melaporkan penundaan kewajiban pembayaran utang ke Bareskrim Polri. Ia pun sudah menyiapkan pengacara untuk mengurus kasus yang menimpanya.

Sponsored

“Teman saya kasihan (membayar) dari hasil jualan nasi uduk. Kebanyakan mereka malu kalau bilang korban First Travel. Kami tiga tahun menunggu, enggak ada perkembangan,” ujar Mariyam.

Yulia juga mengkritik Kementerian Agama (Kemenag). Sebab, berbagai kasus penipuan agen perjalanan ibadah umrah, baru terbongkar setelah kasus First Travel mencuat.

“Terus kenapa lingkaran pegawai dalam tubuh First Travel tidak ikut dihukum? Padahal mereka digaji dan diberi komisi dari uang para jemaah korban,” ujar Yulia.

Warga melintas di depan Kantor First Travel Building atas nama Andika di jalan Radar Auri, Depok, Jawa Barat, Rabu (20/11). /Antara Foto.

Aset takbisa dirampas negara

Sejak 2015-2018, berdasarkan situs web Kemenag.go.id, ada 26 penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang mendapatkan sanksi dari Kemenag. Sebanyak 13 biro perjalanan umrah terkena sanksi pencabutan izin, dan 13 lainnya tidak diperpanjang izinnya. First Travel termasuk yang dikenakan sanksi pencabutan izin pada 2017.

Kasus penipuan berkedok perjalanan ibadah umrah First Travel terkuak pada Agustus 2017. Perusahaan yang awalnya bergerak dalam bisnis biro perjalanan wisata ini, menggunakan paket promo untuk mengelabui calon jemaah umrah.

Penipuan ini mulai terendus Kemenag pada Maret 2017, usai First Travel gagal memberangkatkan jemaah umrahnya. Lalu, Kemenag melakukan mediasi dan investigasi. Dalam proses itu, pihak First Travel beberapa kali mangkir.

Pada 21 Juli 2017, Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta First Travel menghentikan penjualan tiket promo karena ada indikasi investasi ilegal.

Pada 3 Agustus 2017, Kemenag mencabut izin operasional First Travel. Dan, pada 9 Agustus 2017 Bareskrim Polri menetapkan Direktur Utama First Travel Andika Surachman dan Direktur First Travel Desvitasari Hasibuan sebagai tersangka dugaan penipuan dan melanggar UU ITE.

Pada 30 Mei 2018, suami-istri pemilik First Travel tersebut divonis 20 dan 18 tahun penjara. Total calon jemaah umrah yang gagal diberangkatkan mencapai 63.000 orang, dengan kerugian sebesar Rp905 miliar.

Babak baru kasus ini bergulir. Pada akhir Mei 2018, Pengadilan Negeri Depok Andika dan Anniesa tak hanya dihukum penjara, tetapi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp10 miliar.

Pada akhir Januari 2019, Mahkamah Agung (MA) menguatkan putusan Pengadilan Negeri Depok, yang menyatakan ratusan aset First Travel dirampas untuk negara. MA memutuskan menolak kasasi jaksa penuntut umum dan terdakwa.

Keputusan itu berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP, yang menyebut barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara. Putusan ini pun berujung polemik. Para korban penipuan First Travel keberatan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menganggap janggal putusan MA, terkait barang bukti.

Item nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 529 yang menyatakan barang bukti dirampas negara, itu tidak linier dengan tuntutan kita yang memintanya untuk dikembalikan kepada yang berhak,” ujar Mukri saat dihubungi, Rabu (20/11).

Namun, ia mengatakan, Kejaksaan Negeri Depok yang akan melelang barang bukti sitaan, sudah benar. Hal itu, menurutnya, dalam ranah melaksanakan keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Karena putusan tersebut memicu kontroversi, maka Jaksa Agung Sinitiar (ST) Burhanuddin memerintahkan untuk menunda eksekusi lelang itu.

Reporter Alinea.id sempat meminta konfirmasi terkait langkah Kejaksaan Negeri Depok. Namun, ketika menyambangi Kejaksaan Negeri Depok di Jalan Boulevard Raya Kota Kembang, Depok, Jawa Barat, tak ada pihak kejaksaan yang bersedia dimintai keterangan.

Sementara itu, pakar hukum tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih mengungkapkan, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), tidak mengatur detail pengembalian aset.

Hal itu, kata dia, sudah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Yenti mengatakan, memang pada kasus tertentu, aset dapat disita atau diserahkan kepada negara. Misalnya, kejahatan korupsi. Namun, dalam kasus penipuan berkedok ibadah umrah yang menjerat First Travel, menurut Yenti, negara tidak dirugikan.

“Sehingga, aneh kalau putusannya dirampas negara,” ujar Yenti saat dihubungi, Rabu (20/11).

Petugas Kejaksaan menunjukkan aset mobil First Travel Nissan X-Trail warna hitam yang terparkir di Halaman Kejaksaan Negeri Depok, Jawa Barat, Kamis (21/11). /Antara Foto.

Terobosan hukum

Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan, jaksa agung bisa menggunakan dua upaya hukum untuk menyelesaikan kasus aset First Travel.

Pertama, upaya hukum biasa melalui kasasi, yang sudah dilakukan dan putus oleh MA. Kedua, upaya hukum luar biasa melalui kasasi demi kepentingan hukum.

“Kasasi demi kepentingan hukum lebih tepat digunakan karena jaksa agung memiliki otoritas penuh, yang berisi risalah dan muatan alasan permintaan yang umumnya tidak boleh merugikan pelapor atau korban,” kata Indriyanto saat dihubungi, Kamis (21/11).

Menurutnya, putusan MA atas dasar kasasi demi kepentingan hukum seharusnya sejalan dengan perintah (imperatif) bagi pihak yang berkepentingan. Sarana peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa, kata dia, tidak cukup memadai sesuai asas legalitas.

“Karena PK (peninjauan kembali) menjadi hak terpidana dan ahli waris, bukan jaksa. Meskipun pendekatan prinsip keadilan membenarkan hal ini,” ujar Indriyanto.

Di sisi lain, Yenti Ganarsih menuturkan, negara tidak boleh diuntungkan dari hasil kejahatan. “Putusan itu berbahaya sekali, tetapi sekarang permasalahannya harus diapakan? Karena, setelah putusan itu sudah buntu,” ujar Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti ini.

Upaya hukum jaksa telah buntu karena terhalang putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2016, MK memutuskan jaksa tidak bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

Mengutip hukumonline.com, putusan ini berdasarkan uji materi Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus hak tagih Bank Bali Djoko S Tjandra sebesar Rp904 miliar.

Menurut Mukri, tidak menutup kemungkinan pihak Kejaksaan Agung tetap mengajukan usaha hukum melalui peninjauan kembali. Saat ini, kata Mukri, Kejaksaan Agung sedang menggodok langkah berikutnya sebagai upaya hukum untuk mengembalikan hak para jemaah korban penipuan First Travel.

“Meskipun MK telah melarang, kita untuk melakukan itu. PK itu salah satu opsinya,” tutur Mukri.

Yenti mendukung kejaksaan melakukan terobosan hukum lewat peninjauan kembali. Sebab, demi kepentingan umum, seharusnya hal itu bisa digunakan.

“Harus berani, ini sudah buntu. PK itu enggak mungkin seharusnya karena untuk terpidana, bukan jaksa. Tapi kali ini terobos saja,” ujar Yenti.

Infografik. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Ia menyarankan, jaksa mengajukan peninjauan kembali berbekal Pasal 263 ayat 3 KUHAP, dengan alasan “ada kekhilafan hakim yang nyata”.

Pasal 263 ayat 2c KUHAP disebutkan, permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Sementara Pasal 263 ayat 3 KUHAP disebutkan, atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2, terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Yenti mengingatkan, kasus First Travel agar tidak membebani negara. Menurut dia, menggelontorkan APBN bukan solusi yang tepat karena masalah ini berada di ranah yudikatif, bukan eksekutif.

“Takutnya akan terulang lagi, negara nalangin lagi. Permintaannya dibagi secara proporsional, kalau kurangnya biarkan saja mereka menggugat secara perdata. Terpenting aset yang disita tidak menjadi permasalahan,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid