sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penyusun RUU HIP tak paham hakikat Pancasila

Pemerintah dan DPR sepakat tak melanjutkan pembahasan RUU HIP setelah menuai kontroversi.

Achmad Rizki
Achmad Rizki Senin, 06 Jul 2020 18:51 WIB
Penyusun RUU HIP tak paham hakikat Pancasila

Politikus Masyumi Reborn, Ahmad Yani, menilai, penyusunan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) melompati (jumping) alur sejarah perumusan Pancasila. Pangkalnya, hanya mengacu pada pidato Soekarno, 1 Juni 1945.

"Dalam RUU HIP ini ada yang jumping, ingin potong alur sejarah," ujarnya dalam webinar "Sekali lagi, Kembali pada Pancasila dan UUD 1945" yang dilaksanakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Jakarta serta Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Senin (6/7).

"Kalau bicara Pancasila, dia tidak di ruang vakum. Dia hasil dialog, pergumulan. Tidak bisa jumping 1 Juni. (Tanggal) 1 Juni itu pidato Bung Karno," sambungnya.

Pernyataan tersebut sekaligus untuk mengkritik penetapan Hari Kelahiran Pancasila setiap 1 Juni. Ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) via Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016.

Dirinya menerangkan, Pancasila secara legal konstitusional lahir pada 18 Agustus 1945, bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau 22 Juni 1945 secara filosofis sosiologis karena sesuai terbitnya Piagam Jakarta. "Tidak bisa ditarik 1 Juni."

Karenanya, Yani beranggapan, penyusun naskah akademik RUU HIP tak memahami hakikat Pancasila. Justru berupaya mengkudeta dan mendegradasi dasar negara menjadi undang-undang.

"Pancasila juga mau dimutilasi karena Pasal 3 tentang Ketuhanan Yang Mahaesa dianggap bagian dari kompromi menjadi yang berkebudayaan. Nilai-nilai transendental, nilai-nilai tauhid juga direlativitaskan menjadi kemanusiaan," papar bekas politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Selain itu, imbuh dia, tafsir Pancasila pun bakal dimonopoli negara melalui presiden. Ini sebagaimana isi draf Pasal 4 RUU HIP. "Lagi-lagi monolitik," kritiknya.

Sponsored

Pandangan serupa disampaikan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli. Dirinya mengungkapkan, monopoli dan penyimpangan tafsir Pancasila telah dilakukan sejak Orde Lama (Orla).

Dicontohkannya dengan Dewan Nasional yang diketuai Presiden Soekarno. "Dia sendiri ketuanya dan tugasnya memberikan nasihat-masukan, baik diminta maupun tidak diminta," ucapnya pada kesempatan sama.

Saat Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto, ungkapnya, pun demikian. Ditandai dengan lahirnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

"Menafsirkan Pancasila monotafsir. Bukan merujuk ajaran Soekarno, tapi Soepomo. Kemudian, melahirkan asas tunggal," terangnya.

Sementara itu, sejarawan Lukman Hakiem menegaskan, Pancasila tidak jatuh dari awang-awang. Namun, melalui proses perdebatan panjang dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan hingga diperdebatkan kembali dalam Konstituante dan berakhir saat Soekarno menerbitkan Dekret Presiden, 5 Juli 1959.

"Kalau bicara dasar negara, jangan berhenti 18 Agustus. Itu masih berproses. Ujungnya adalah dekret (yang pada) tanggal 22 Juli '59 oleh DPR diterima secara aklamasi," urainya.

Karenanya, dia meminta politisi membaca dasar perumusan Pancasila saat menggodok RUU HIP. Tak sekadar mengutip pendapat Soekarno. 

"Kalau (ada yang) ambil pendapat Ki Bagoes (Hadikoesoemo) bagiamana? Kan, sama-sama (disampaikan saat) pidato di BPUPKI. Kan, Bung Karno di rapat (BPUPKI) tidak kurang sebut 10 kali nama Ki Bagoes.

Pada kesempatan sama, bagi Direktur PSIP FISIP UMJ, Ma'mun Murod Al Barbasy, Pancasila sudah sepantasnya tak kembali diperdebatkan. Pangkalnya, pencantumannya dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 menunjukkan adanya konsensus para pendiri bangsa.

"Selagi belum ada kesepakatan baru tentang dasar negara, maka semua harus spakat pd kesepakatan (Pancasila) itu," katanya.

Dia berpendapat, kembali berpolemiknya Pancasila via RUU HIP berawal dari ketakselesaian kelompok sekuler, khususnya ditafsirkan sebagai ideologi. "Sehingga selalu ke mana-mana."

Menurut Ma'mun, hanya kelompok Islam yang sedari pertam konsisten dan berkomitmen dengan Pancasila. Ironisnya, kelompok agamis kini terfragmentasi. Berbeda dengan awal kemerdekaan hingga '70-an.

"Tapi dalam petarungan ideologis tujuh tahun terakhir, tidak sedikit yang berbaju santri, tapi dalam ideologis sudah tidak jelas," ujarnya.

Ada pun mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menegaskan, Pancasila tidak bersifat tekstual, melainkan kontekstual. Baginya, persoalan Pancasila bukan kepada isinya, tetapi pelaksanaannya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

"Yang bersifat dasar ini sebaiknya tidak baik kalau diubah karena bisa muncul masalah baru. Tapi, penafsirannya harus lewat lembaga kesepakatan, tidak bisa secara sepihak oleh rezim berkuasa karena cenderung subjetif dan jadi alat pemuluk," urainya.

Mengenai RUU HIP, pandangannya, berisi tafsir sepihak karena ada kekuatan di DPR dan berpotensi menjadi tirani legislatif. "Oleh karena itu, harus dihentikan," tegas Din.

Yani menambahkan, RUU HIP telah menjadi naskah DPR dan telah diserahkan kepada presiden, bahkan tak dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Karena itu, pemerintah diminta bersikap tegas terkait penolakannya terhadap beleid tersebut.

"Tidak cukup (sikap) hanya (melalui) pernyataan Menko Polhukam. Kita, kan, bernegara, maka pemerintah melalui preisden keluarkan surat resmi, mau lanjut atau tidak. DPR juga. Fraksi-fraksi harus buat pernyataan resmi. Itu harus dibuat mekanisme berikutnya," tuturnya.

Revitalisasi MPR

Di sisi lain, Ketua Program Studi (Prodi) Ilmu Politik FISIP UMJ, Usni Hasanudin, mendorong penguatan Pancasila diawali dengan revitalisasi MPR. Pangkalnya, sekarang hanya diisi orang-orang yang terpilih melalui pemilihan legislatif (pileg).

"MPR menjadi rumah besar Indonesia, tetapi anggotanya diisi melalui elektoral. Kita harus meninjau sistem kepemiluan dan kepartaian," ucapnya.

Pada prinsipnya, urainya, MPR merupakan mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan. Ini selaras dengan gagasan Soekarno dan Muhammad Yani saat merumuskan dasar negara.

"Sehingga ketika aspirasi publik melalui DPR tidak tersalurkan, masih bisa disampaikan ke MPR. DPR sekarang sulit untuk menampung aspirasi publik karena oligarki telah menguasai partai-partai. Kita bisa lihat dengan pengesahan RUU Minerba, RUU Cipta Kerja, dan beberapa RUU kontroversial lain yang pembahasannya terus bergulir. Berbeda dengan tuntutan masyarakat," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid