sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perlindungan pekerja rentan yang masih jauh dari harapan

Pemerintah menargetkan melindungi sekitar 20 juta tenaga kerja rentan dengan BPJS Ketenagakerjaan.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Rabu, 26 Okt 2022 06:02 WIB
Perlindungan pekerja rentan yang masih jauh dari harapan

Adam Mullah, 34 tahun, melepas lelah. Bersama dua rekannya, ia ngaso di sudut sebuah sekolah swasta di Desa Kabasiran, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (22/10) siang itu. Ketiga kuli bangunan itu baru saja rampung menata genting di atap salah satu ruang kelas di sekolah itu.  

Adam sudah lebih dari lima tahun bekerja sebagai kuli bangunan. Upahnya sehari berkisar antara Rp150-Rp175 ribu. Bapak dua anak itu mengaku menerima upah sepekan sekali. 

Sebagai pekerja informal, nama Adam tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Ia berpikir kewajiban itu hanya berlaku untuk para tukang yang bernaung di bawah satu perusahaan. 

"Karena mungkin enggak termasuk proyek-proyek besar. Kecuali mungkin proyek pembangunan yang menyediakan BPJS. Kayak pembuatan stadion, jalan tol, dan segala macam," ujar Adam saat berbincang dengan Alinea.id

Adam menuturkan pekerjaannya tak tentu. Masa bekerja dan jenis pekerjaan biasanya ditetapkan para mandor atau pemberi kerja. Terkadang, satu pekerjaan ia tuntaskan hanya dalam beberapa hari. Ada kalanya satu pekerjaan memakan waktu hingga berbulan-bulan. 

“(Saya) enggak di perusahaan juga dan waktunya terbatas kalau kuli-kuli bangunan kayak gini. Kuli bangunan rumah kan biasanya satu-tiga bulan selesai,” terang dia. 

Soal BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja rentan, Adam mengaku belum pernah mendapatkan sosialisasi. Ia sama sekali tidak tahu kalau pekerja informal seperti dirinya wajib terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. 

Ketidaktahuan Adam berlaku pula untuk cara pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan. Jika nantinya harus terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, Adam menyatakan bakal patuh. “Karena semua pekerjaan ada risiko. Apalagi, pekerjaan kuli bangunan," imbuh dia. 

Sponsored

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah telah menetapkan adanya kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pekerja miskin, rentan, dan tidak mampu. Targetnya, 20 juta pekerja sebagai peserta PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pada 2024. 

Ada beragam profesi yang termasuk dalam kategori pekerja rentan atau tidak mampu, semisal kuli bangunan, nelayan, petani, pedagang kaki lima, dan pengemudi ojek. 

Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) Oni Marbun, menjelaskan hingga saat ini skema PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pekerja miskin dan tidak mampu masih dalam pembahasan dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait. 

“Sementara untuk draf rancangan peraturan pemerintah (PP) terkait hal tersebut masih dalam tahap harmonisasi di Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia),” ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (23/10). 

Menurut Oni, saat ini sudah ada sebanyak 1,8 juta pekerja informal atau rentan yang terdaftar menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan. Angka itu, kata dia, telah melebihi target tahun 2022, yaitu sebesar 1,7 juta orang. 

“Pencapaian ini merupakan hasil dari kolaborasi BP Jamsostek dengan pemerintah daerah (pemda) dan perusahaan swasta,” katanya. 

Dalam mendongkrak kepesertaan pekerja rentan di BPJS Ketenagakerjaan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Total ada 26 K/L terkait, termasuk kepala daerah, yang diberikan instruksi oleh Jokowi. 

Selain Inpres 1/2021, perlindungan pekerja rentan juga mengacu pada Inpres Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Regulasi-regulasi itu, kata Oni, jadi payung hukum untuk kolaborasi BPJS Ketenagakerjaan dengan perusahaan swasta dan pemda. 

“Hingga saat ini telah banyak perusahaan yang antusias turut serta dalam program ini, tercermin dari 598 ribu pekerja rentan yang telah terlindungi melalui CSR (corporate social responsibility) perusahaan swasta,” terang Oni. 

Pemda, lanjut Oni, digandeng untuk terlibat dalam memberikan perlindungan bagi pekerja rentan via APBD. Menurutnya, kesadaran akan pentingnya perlindungan para pekerja rentan sudah terbangun hingga level pemerintah desa. 

"Melalui gerakan 1 desa 100 pekerja rentan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 41 juta pekerja dengan profesi sebagai petani, nelayan, pekebun dan pedagang di pedesaan yang perlu didata oleh masing-masing pemerintah desa untuk diberikan perlindungan," tutur dia. 

Sejumlah tukang ojek mengangkut pupuk kandang menuju perladangan di lereng gunung Sindoro Desa Sigedang, Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (22/9/2020). /Foto Antara

Belum sesuai harapan

Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Chairul Fadhly Harahap mengatakan tengah menggelar beragam upaya untuk menggenjot kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja rentan sesuai Inpres 2/2021. Salah satunya ialah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

“Kami juga akan membentuk tim terpadu antara Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Ditjen PHI dan Jamsos) Kemnaker bersama dengan BPJS Katenagakerjaan,” ucapnya kepada Alinea.id, Sabtu (22/10). 

Di samping itu, Kemnaker juga akan mengintegrasikan data pengawasan jaminan sosial ketenagakerjaan antara Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan. Strategi lainnya, mengoptimalkan fungsi ekosistem SIAPKerja sebagai sistem terpadu untuk mendorong perluasan kepesertaan jaminan sosial. 

“Salah satu yang menjadi tantangan tentunya adalah bagaimana masyarakat melihat pentingnya jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan ini, karena kalau BPU (bukan penerima upah) atau informal mereka harus membayar iuran secara mandiri,” ujarnya. 

Dalam Inpres 2/2021, Menteri Ketenagakerjaan mendapatkan lima tugas. Pertama, melakukan evaluasi, pengkajian, dan penyempurnaan regulasi dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan. 

Kedua, meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara terhadap program jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketiga, memastikan pemohon pengurusan maupun perpanjangan izin di bidang ketenagakerjaan merupakan peserta aktif dalam program jaminan itu. 

Keempat, melakukan diseminasi dan pelayanan pendaftaran serta pembayaran program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia (PMI) yang ada di luar negeri. Terakhir, mendorong peserta pelatihan program vokasi menjadi peserta aktif dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. 

“Kami juga tengah me-review peraturan perundangan-undangan kita tentang pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan, khususnya terkait pengawasannya dengan melibatkan peran Pengawas Ketenagakerjaan,” kata Chairul.

Adapun terkait kepesertaan PMI, Chairul mengatakan, Kemnaker masih terus berupa memperluas cakupan sosialisasi jaminan sosial PMI di kantong-kantong PMI dan negara penempatan pekerja migran. Kemnaker juga telah meminta BPJS Ketenagakerjaan supaya menyediakan kanal daftar dan bayar di negara penempatan PMI. 

Kemnaker, lanjut dia, terus mendorong pengawas ketenagakerjaan agar lebih aktif melakukan pengawasan program jaminan sosial bersama Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagaimana isi PP Nomor 59 Tahun 2021. 

"Kami juga meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan kewajibannya menyampaikan laporan secara berkala bulanan, triwulan, dan tahunan kepada menteri melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker," jelasnya. 

Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, upaya pemerintah menggenjot kepesertaan kalangan pekerja rentan di BPJS Ketenagakerjaan masih jauh dari harapan. Itu karena pengawasan dan penegakan hukum yang masih terbilang lemah.

“Sebenarnya pekerja informal yang belum ikut jaminan kecelakaan kerja dan kematian, itu bisa kena sanksi di PP 86 Tahun 2013. Di situ, (pemerintah) bisa memberikan sanksi (pekerja) tidak dapat pelayanan publik, misalnya, (pembuatan dan perpanjangan) SIM (surat izin mengemudi)," jelas Timboel kepada Alinea.id, Sabtu (22/10). 

Semua pekerja, kata Timboel, sebenarnya wajib menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, minimal ikut jadi peserta jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. 

Kendati demikian, Timboel tak sepakat jika sanksi serta-merta diterapkan kepada pekerja rentan yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan. Ia menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. 

“Kalau dari sisi biaya iuran, kan hanya Rp16.800. Tetapi, memang banyak pekerja informal kita yang belum teredukasi, sehingga mereka belum tahu. Oleh sebab itu, sebelum memberikan sanksi harus edukasi,” jelasnya. 

Dalam Inpres 2/2021, kampanye dan sosialisasi program jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi bagian dari tugas Menteri Komunikasi dan Informatika. Timboel memandang tugas itu belum serius digarap Kemkominfo. 

"Jadi, memang harus masif. Kemudian, setelah mengetahui dan mereka (pekerja rentan) tertarik (daftar BPJS Ketenagakerjaan). Bagi yang enggak mau juga, baru bisa kena sanksi PP 86 Tahun 2013," tutur dia. 

Petugas BPJS Ketenagakerjaan sedang bekerja melayani pelanggan. /Foto Antara

Evaluasi Inpres 

Lebih jauh, Timboel menilai Presiden Jokowi harus turun tangan mengevaluasi implementasi Inpres 2/2021. Pasalnya, ada 26 K/L yang ditugaskan untuk menggenjot kepesertaan pekerja rentan dalam BPJS Ketenagakerjaan. 

Dia mencontohkan tugas spesifik Kementerian Perhubungan dalam Inpres tersebut. Kementerian itu harus mendorong pemberi kerja dan pekerja di sektor perhubungan darat, laut, udara, dan transportasi online menjadi peserta aktif jaminan sosial ketenagakerjaan.

"Jadi, isi Inpres sudah jelas. Jadi optimalisasi meningkatkan kepesertaan itu, itu harus peran kementerian/lembaga itu yang lebih utama juga,” ucapnya. 

Sementara tugas BPJS Ketenagakerjaan, jelas Timboel, tinggal merespons hasil evaluasi. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga perlu memperkuat koordinasi apabila sewaktu-waktu diminta K/L untuk memberikan materi sosialisasi terkait manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. 

“Bahwa ada 26 (K/L), termasuk BPJS Ketenagakerjaan, yang ditugaskan untuk meningkatkan kepesertaan. Nah, tapi jangan dibilang BPJS Ketenagakerjaan semua, Kemnaker semua. Enggak. Bagaimana (dengan K/L lain)?” ucapnya. 

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher sepakat implementasi Inpres 2/2021 perlu dievaluasi pemerintah. Apalagi, instruksi presiden merupakan regulasi yang kerap tidak “bertaring”. 

“Jadi, evaluasi ini untuk membuktikan bahwa payung hukum ini betul-betul ditaati, diimplementasikan oleh seluruh kementerian, termasuk kepala daerah,” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (22/10). 

Evaluasi, kata Netty, bisa diarahkan untuk melihat capaian jumlah peserta setelah Inpres 2/2021 dirilis. Menurut dia, masih banyak pekerja rentan yang belum terlindungi BPJS Ketenagakerjaan, semisal marbot masjid, guru ngaji, petani, nelayan, dan pedagang.

“Keberadaan mereka penting, tapi bagaimana sistem perlindungannya? Maksud saya perlu diperiksa dan bahkan kita membuat indikator capaiannya,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu. 

Netty juga setuju pemerintah menggejot sosialisasi dan edukasi terkait manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Ia menyebut masih banyak masyarakat di daerah pemilihannya di Jawa Barat yang bahkan tak tahu soal BPJS Ketenagakerjaan. 

“Jangan menunggu secara pasif orang untuk mendaftar, tapi menjemput bola, mendatangi tempat-tempat atau kumpul massa atau mendatangi segmen-segmen yang selama ini, mungkin mendengar pun baru pertama kali ada BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya. 

Terlepas dari itu, Netty menyebut, upaya mendorong pekerja rentan terdaftar BPJS Ketenagakerjaan juga dapat dimanfaatkan untuk mendata data pekerja informal. Momentumnya tepat lantaran BPS tengah menggelar pendataan registrasi sosial ekonomi (regsosek). 

“Seharusnya ini BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi dengan BPS. 
Harus Mulai menentukan grand strategy, peta jalan untuk meningkatkan kepesertaan di kalangan pekerja sektor informal," ucap dia. 


 

Berita Lainnya
×
tekid