sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pledoi ditolak, Aman bersikukuh tak terlibat aksi teror sejak 2016

Menurut jaksa, Aman pernah berkata kepada pengikutnya untuk melakukan amaliah jihad seperti di Paris.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 30 Mei 2018 13:04 WIB
Pledoi ditolak, Aman bersikukuh tak terlibat aksi teror sejak 2016

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam repliknya di sidang lanjutan Aman Abdurrahman hari ini (30/5) tetap menginginkan Aman dituntut hukuman mati. JPU membantah seluruh pledoi Aman dan penasihat hukumnya. 

Aman dalam pledoinya Jumat (25/5) pekan lalu membantah keterlibatannya dalam serangkaian aksi teror dan penyerangan di sejumlah daerah. Rinciannya, bom Thamrin, bom Kampung Melayu, bom Gereja Okumene Samarinda, penusukan pada seorang polisi di Mapolda Sumatera Utara di Medan, hingga penembakan pada seorang polisi di Bima.

Atas pembelaan tersebut, Jaksa menyebut pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD) naif karena mengklaim diri tidak tahu menahu soal bom Thamrin. Padahal, Jaksa mengatakan jika Aman pernah berkata kepada pengikutnya ada pesan dari umara atau pimpinan khilafah di Suriah untuk melakukan amaliah jihad seperti di Paris.

ISIS pernah mengeluarkan seruan untuk pengikut mereka agar melakukan amaliah di negara masing-masing. Amaliah tersebut merupakan tindakan dalam bentuk serangan.

Seperti pengakuan, Syawaluddin Pakpahan yakni pelaku penyerangan di Mapolda Medan mengatakan jika ajaran Aman Abdurrahman di blognya yang dikumpulkan menjadi seri Kitab Materi Tauhid menginspirasinya untuk menyerang polisi. Padahal sehari-harinya, Syawaluddin hanya berjualan rokok. Saat polisi menggeledah rumah Syawaluddin bulan Juni tahun lalu ditemukan dokumen tentang pemahaman ISIS.

Terima putusan 

Di sisi lain, Aman mengaku menerima hukuman mati yang dituntutkan padanya. Bagi mantan pengajar ini apabila dikaitkan dengan prinsip dirinya, ia siap pidanakan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 

Hanya saja, Aman keberatan atas tuduhan JPU yang mengatakan ia mendalangi sejumlah aksi teror dan penyerangan sejak 2016. Bahkan, tidak rela dihukum mati karena tuduhan tersebut.

Sponsored

Sejak Februari 2016, Aman dipindahkan ke Lembaga pemasyarakatan (Lapas) Pasir Putih, Nusakambangan dalam sel yang diisolasi. Sehari-harinya menurut pengakuan Aman, hanya berkomunikasi dengan sipir penjara. Meski mengakui keberadaan demokrasi sebagai syirik, tapi jika dihubungkan dengan bom Thamrin dan bom-bom lain, Aman mengaku tak rela. 

"Jika ia dihukum mati karena khilafah dirinya siap,” jelas Asluddin, penasihat hukum Aman.

Apalagi, kata Asluddin saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan juga menyangkal tuduhan JPU soal keterlibatan Aman dalam serangan bom Thamrin. Pada persidangan Aman pada Maret, Saiful Munthohir alias Abu Gar sebagai saksi Aman dalam persidangan mengatakan jika yang memerintahkannya melakukan kegiatan amaliah adalah Rois atau Iwan Darmawan Mutho.

“Sayangnya Rois tidak pernah dihadirkan dalam persidangan,” keluh Asluddin.

Sebelum Aman, ada Imam dan Kahar

Aman Abdurrahman jelas bukan satu-satunya orang yang dituntut hukuman mati karena kepercayaan ideologinya. Walaupun ia tak terlibat secara langsung dalam teror bom yang terjadi sejak tahun 2016, JPU memandang Aman memiliki peran ideologis dalam memengaruhi para pelaku teror melakukan amaliah.

Pada tahun 1953, terjadi pemberontakan Negara Islam Indonesia atau dikenal juga dengan nama Darul Islam (DI). Gerakan ini menginginkan agar Republik Indonesia yang baru saja merdeka menjadi negara teokrasi atau pemerintahan adalah wakil Tuhan dengan agama Islam sebagai dasar negara.

Para anggota DI meyakini kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam. Serta menolak keras ideologi selain Alquran dan hadis yang mereka dakwa sebagai hukum kafir. Keyakinan anggota DI tersebut mirip dengan apa yang diyakini Aman.

Negara Islam tersebut pertama kali diproklamasikan oleh Daud Beureueh di Daerah Istimewa Aceh yang menyatakan jika Aceh merupakan bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo. Daud Beureueh sendiri pernah menjadi Gubernur Militer Aceh semasa agresi Belanda di 1947.

Sejak proklamasi di Aceh tersebut banyak bermunculan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII. Mulai dari pemberontakan Ibnu Hadjar, Amir Fatah hingga Kahar Muzakkar yang mendirikan Tentara Islam Indonesia. 

Kahar banyak melakukan gerilya ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dalam pemberontakan-pemberontakan DI/TII. Pada akhirnya, baik Kahar maupun pemimpin NII Imam Kartosuwirjo mati mempertahankan prinsip radikal mereka. 

Kahar mati dalam sebuah baku tembak dengan pasukan ABRI pada 3 Februari 1965. Sementara Imam dihukum mati oleh pemerintah Indonesia pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Berita Lainnya
×
tekid