sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Posisi rentan perempuan dalam pusaran kejahatan narkoba

Menurut LBHM, sepanjang 2019 ada 168 kasus narkotika yang melibatkan perempuan sebagai kurir.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Minggu, 16 Jan 2022 17:56 WIB
Posisi rentan perempuan dalam pusaran kejahatan narkoba

Pada 2011, Rantini Rahayu mengalami hari-hari yang kelam. Bertubi-tubi, masalah menghantamnya.

Kisah berawal pada Oktober 2011. Ketika itu, ia terpaksa bekerja di hiburan malam demi mendapatkan uang untuk berobat ayahnya yang dirawat di rumah sakit karena komplikasi penyakit. Ia tak bisa mengandalkan pendapatan dari suaminya, yang hanya bekerja serabutan.

Terpaksa jadi kurir

Di tempatnya bekerja, perempuan berusia 34 tahun tersebut mengenal seorang WNA asal Afrika. Suatu hari, ia dihubungi dokter yang meminta persetujuan mengambil tindakan operasi terhadap ayahnya.

Biaya operasi yang sangat besar, membuat Rantini kebingungan. Di tengah kegalauan itu, WNA asal Afrika tadi menawarinya pekerjaan.

“Saya ditawarin untuk pergi ke Batam (Kepulauan Riau),” katanya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (13/1).

“Kata dia, nanti saya bisa dapat uang untuk operasi bapak.”

Pekerjaannya relatif mudah. Ia hanya diperintahkan mengambil barang. Rantini, yang tak terlalu paham bahasa WNA dari Afrika itu menganggap barang tersebut adalah buku.

Sponsored

Sesampainya di Batam, ia diminta ke Lubuk Baja atau Nagoya, sebuah kecamatan di Kota Batam. Di Lubuk Baja, ia bersua dengan seorang perempuan yang sudah menunggunya.

Direktorat Tidak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menangkap seorang perempuan, yang merupakan kurir narkoba berinisial MH di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/12/2021). MH kedapatan membawa narkoba jenis sabu-sabu seberat 1 kilogram serta menyimpan 27 kilogram sabu. Foto Humas Polri.

Perempuan tersebut memberikannya empat lukisan, bukan buku. Ukuran lukisan itu berbeda-beda.

Apes baginya. Setelah berjalan beberapa meter meninggalkan perempuan itu, sejumlah orang yang mengaku dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Rantini.

Rantini lantas digandeng masuk ke mobil. Ia dibawa ke sebuah hotel. Di hotel itu, petugas BNN membuka lukisan-lukisan tadi.

“Pas dibuka, saya baru tahu itu (ada sabu-sabu). Saya langsung balik badan, nangis,” ucap Rantini.

Sabu-sabu yang dikemas dalam bungkus lukisan tersebut beratnya 5,6 kilogram. Tak butuh waktu lama, ia dibawa ke kantor pusat BNN di Cawang, Jakarta Timur. Di sana, ia bertemu WNa asal Afrika yang sudah ditangkap pula.

“Saya ngerasa ditipu,” ujarnya.

“Kalau (tahu) disuruh ambil itu (sabu-sabu) juga saya enggak bakal jalan.”

Rantini ditahan sementara satu sel bersama teman WNA asal Afrika. Seminggu mendekam di balik jeruji besi, ia merasa mual. Rantini ternyata hamil. Cobaan tak berhenti sampai di situ. Tiga hari kemudian, ia mendapat kabar ayahnya meninggal dunia.

Usai diizinkan pulang untuk melayat, Rantini kemudian dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Di rumah tahanan khusus perempuan itu, lagi-lagi Rantini harus menerima kenyataan pahit. Setelah diperiksa kesehatan, ia dinyatakan positif HIV.

Rantini diizinkan melahirkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Ia sempat mengasuh anaknya di dalam bui, sebelum akhirnya dititipkan ke mertuanya.

Dalam persidangan, Rantini divonis 17 tahun penjara. Namun, setelah mendapat potongan masa tahanan dan berbagai remisi tahunan, pada Februari 2021 ia menghirup udara bebas.

Rantini merupakan contoh perempuan yang dimanfaatkan sindikat pengedar narkoba. Dalam laporan Novia Puspitasari bertajuk “Kerentanan Kurir Narkotika Perempuan dan Hukum yang Tak Peka” yang dipublikasikan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada 2020 disebutkan, ada 168 kasus narkotika yang melibatkan perempuan sebagai kurir.

Dilihat dari profesi, ibu rumah tangga paling banyak dimanfaatkan sebagai kurir narkotika, yakni 30 kasus. Diikuti karyawan swasta sebanyak 14 kasus dan wiraswasta tiga kasus.

Adapun jenis narkotikanya, yakni sabu-sabu sebanyak 137 kasus, ganja empat kasus, ekstasi tiga kasus, kokain satu kasus, dan kombinasi jenis narkoba 19 kasus.

Sedangkan cara menyembunyikan narkotikanya, antara lain 52 kasus dalam barang bawaan, 45 kasus diselipkan di badan dan pakaian, dan empat kasus ditelan.

LBHM pernah melakukan survei yang melibatkan 307 responden perempuan berstatus narapidana tindak kejahatan narkotika pada 2019. Hasilnya, 30% narapidana mengaku hanya menjadi konsumen, 24% penjual, 16% kurir, dan 8% membeli. Bahkan, ada 9% yang mengaku tak tahu perbuatan yang didakwakannya.

Hasil survei LBHM juga menunjukkan, sebagian besar perempuan yang tersandung kasus narkoba dijerat pidana penjara selama 83 hingga 70 bulan, atau hampir tujuh tahun. Pidana penjara paling rendah adalah satu tahun.

Faktor penyebab dan sistem peradilan

 Konferensi pers pengungkapan peredaran gelap ganja 224,423 kilogram di Gedung Humas Polri, Jakarta, Jumat (26/11/2021). Foto Humas Polri.

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menyebut, kemiskinan menjadi faktor utama yang membuat perempuan rentan masuk ke kejahatan narkotika.

“Kemiskinan diperparah karena sistem jaminan sosial dan dukungan kesehatan,” tuturnya, Jumat (14/1).

“Ini membuat mereka rentan dalam perdagangan narkoba, misalnya (terkena) tipu daya.”

Menurut Andy, kemiskinan membuat perempuan tak punya banyak pilihan untuk menolak pekerjaan terlarang dalam peredaran narkoba.

Sementara itu, pendiri Persatuan Perempuan Residivis Indonesia (PPRI) Nofia Erizka Lubis mengatakan, ada faktor alamiah—selalu mengedepankan perasaan dibandingkan logika—yang lekat pada perempuan, sehingga menjadi kelompok rentan dalam dunia gelap narkoba.

“Kebanyakan perempuan kenal narkoba dari lawan jenisnya,” ujarnya, Jumat (3/12).

“Itu pasti ada rayuan. Akhirnya jatuh cinta, ngerasa nyaman, dan ketarik ke dalam (narkotika).”

Bila mengedepankan logika, Nofia yakin perempuan tak akan terjerumus dalam lingkaran peredaran narkoba.

Di sisi lain, koordinator penanganan kasus LBHM Yosua Octavian menyebut, proses hukum terduga pelaku kejahatan narkotika belum sepenuhnya maksimal. Baginya, mekanisme peradilan di Indonesia masih bersifat subjektif dalam menindak terduga pelaku.

“Sesimpel yang penting ‘barangnya’ ada. Lo yang bawa, ya udah selesai. Tangkap,” ujar Yosua, Kamis (13/1).

Intinya, Yosua menjelaskan, proses hukum belum sampai mencari penyebab mengapa seseorang melakukan tindak kejahatan narkotika. Ia menuturkan, sebagian besar kliennya merasa dijebak sindikat pengedar narkotika, sehingga terpaksa menjadi kurir. Hal itu, kata dia, terjadi lantaran kurir tak punya pilihan akibat terpepet kondisi ekonomi.

Sistem peradilan, kata Yosua, tidak pula memberikan keadilan bagi terduga pelaku kasus narkoba. Hal itu bisa dilihat dari keterangan saksi pelaku (justice collaborator). Ia mencontohkan, dari kasus narkotika yang pernah diadvokasi, majelis hakim tak pernah memberi apresiasi bagi saksi pelaku.

Infografik perempuan dan narkoba. Alinea.id/Firgie Saputra.

“Tujuan saksi pelaku adalah mendapatkan reward karena mereka berani mengungkap kasus kejahatan,” ujarnya.

“Tapi, selama ini (reward) itu enggak pernah terjadi.”

Sewaktu menangani kasus narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yosua pernah bersinggunggan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, LPSK tak mau melindungi saksi pelaku.

“Alasannya, ya (kasus) narkotika. Tapi dia (saksi pelaku) kan mengungkap fakta itu. Jadi, aneh kan,” katanya.

Dengan kondisi tersebut, Yosua menilai, pengungkapan tindak kejahatan narkotika tak pernah tuntas dalam persidangan. Padahal, sambungnya, proses peradilan merupakan tahapan untuk membongkar praktik kejahatan narkoba yang lebih luas.

Dalam menanggapi putusan, Yosua selalu bilang kalau polisi gagal mengungkap kasus narkoba.

“Semua dalam putusan pengadilan negeri, berkas perkara kepolisian, dan tuntutan kejaksaan dalam kasus narkotika, selalu ada DPO (daftar pencarian orang). Faktanya gagal polisi gagal menangkap DPO,” ujarnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid